Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu jarum suntik berukuran sedang cukup memuat seluruh isi botol heparin sodium sebanyak 5 mililiter. Di kotak pelindung botol Heparin Sodium Injection tertera label harga ecerannya, Rp 88 ribu. Sejak ditemukan pada 1930-an, heparin dikenal sebagai obat anti-penggumpal dan pencegah perpanjangan gumpalan dalam darah. Namun, pertengahan Juli lalu, fungsi heparin dinyatakan bertambah. Obat itu ternyata bisa mengatasi sepsis atau peradangan.
Adalah dokter spesialis penyakit dalam Khie Chen yang menemukan fungsi kedua itu. Hal ini ia tuangkan dalam disertasi berjudul "Pengaruh Terapi Heparin terhadap Proses Inflamasi pada Sepsis Berat: Suatu Kajian terhadap Peran Faktor Transkripsi dan Sitokin Proinflamasi". Disertasi itu, pada 15 Juli lalu, mengantarkan pria 45 tahun ini mendapat gelar doktor dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal ini dia temukan setelah satu dekade bergelut dengan heparin. "Peran heparin sebagai antiradang pada sepsis belum pernah dibuktikan pada manusia," ujarnya.
Sepsis atau septicaemia adalah kondisi ketika begitu banyak bakteri hadir di dalam darah. Mereka membagi diri secara aktif, hingga menyebabkan disfungsi pada organ tubuh. Hal itu bisa menyebabkan terganggunya sirkulasi darah, depresi jantung, dan kelainan metabolisme. Seluruh tubuh meradang dan mengalami infeksi.
Rabu dua pekan lalu, Tempo menemuinya di ruang kerjanya, di Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia lalu mengutip data dari Sepsis Handbook (2007) yang menyatakan sepsis menjadi pembunuh terbesar bagi pasien di unit gawat darurat rumah sakit. Angka kematiannya mencapai 30 persen untuk pasien sepsis ringan dan 50 persen untuk pasien sepsis berat. Artinya, satu dari dua pasien dengan kondisi sepsis berat di ruang gawat darurat bisa meninggal.
Pasien sepsis banyak ditemukan di unit gawat darurat karena biasanya pasien yang masuk unit ini sudah dalam kondisi parah. Mereka biasanya sudah terinfeksi pneumonia atau terinfeksi lewat saluran kemih atau melalui luka di kulit. Apalagi kebersihan di negara berkembang, seperti Indonesia, masih belum baik.
Khie Chen berfokus pada peradangan karena dari sinilah efek domino gangguan fungsi organ pada pasien sepsis dimulai. Kalau organ sudah terganggu, kematian hanya tinggal menunggu. Sepsis, kata dokter spesialis penyakit dalam Candra Wibowo, juga berkontribusi terhadap kejadian gagal ginjal. Pasien dengan kondisi sepsis rata-rata 80 persen mengalami gangguan ginjal. "Tapi, kalau bisa dikelola sepsisnya, fungsi ginjal bisa pulih seratus persen," kata dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Mitra Kemayoran ini.
Candra menuturkan, sepsis yang terlambat ditangani itu seperti bola salju. Bersama aliran darah, kuman-kuman penyebab infeksi gencar menyerang organ lain. Diawali dari ginjal, ke hati, kemudian ke otak, dan berujung di jantung. "Kalau sudah kena jantung, 95 persen terjadi kematian," ujar Candra.
Menurut Candra, ada empat kriteria pasien masuk kondisi sepsis, yang dikenal dalam istilah medis sebagai SIRS—systemic inflammatory response syndrome. Pertama, suhu tubuhnya kurang dari 35 atau lebih dari 38 derajat. Lalu jumlah sel darah putih (leukosit) berada di luar interval 4.000-12.000 per liter darah, dengan jumlah hitung jenis sel batang—bagian dari sel darah putih—lebih dari 10 persen. Ketiga, frekuensi napas lebih dari 20 kali per menit atau sudah menggunakan alat bantu pernapasan. Terakhir, denyut nadi pasien lebih dari 100 kali per menit. "Kalau ditemukan dua dari empat tanda itu, beserta satu sumber infeksi, berarti pasien sepsis," kata penulis Pengelolaan Sepsis Berat Terkini Berdasarkan Evidence Based Medicine yang terbit pada 2005 itu. Sumber infeksi bisa berupa luka di kaki atau infeksi di paru.
Tentu saja dunia kedokteran sudah punya protokol untuk menangani sepsis. Pasien dengan kondisi sepsis ringan, yang dicirikan dengan gangguan pernapasan, berkurangnya jumlah sel darah putih, dan penurunan kesadaran, menurut Khie Chen, cukup ditangani dengan antibiotik plus obat pendukung untuk menyembuhkan sumber infeksi. Namun pasien dengan sepsis berat, yang mulai mengalami gangguan organ hingga perlu menyandarkan diri pada mesin penyangga kehidupan, perlu terapi anti-peradangan demi menghentikan proses kerusakan berantai.
Obat yang terbukti ampuh untuk peradangan dan banyak digunakan di luar negeri adalah activated protein C. Harga protein yang mampu berfungsi sebagai anti-peradangan dan anti-pembekuan itu, kata Khie Chen, tidak terjangkau. Satu kali terapi bisa menghabiskan Rp 100 juta. Di bawah protein tersebut, ada terapi antitrombin III. "Tapi obat ini belum terbukti menurunkan kematian dan mahal pula." Untuk memakai jenis antitrombin, pasien perlu merogoh hingga Rp 60 juta buat terapi. Ada pula jenis kortikosteroid, yang masih menjadi kontroversi. "Pada dosis tinggi, ia bisa menimbulkan efek perdarahan," Candra menambahkan.
Di sinilah arti penting penemuan Khie Chen. Menurut dia, heparin sudah terbukti secara laboratorium mampu menurunkan peradangan. "Kebetulan ini murah dan relatif bisa menjangkau luas," katanya. Sebab, harganya per botol tak sampai Rp 100 ribu. Botol kecil ini juga mudah ditemukan di rumah sakit kelas C atau di tingkat kabupaten.
Dosis yang diberikan cukup rendah, 10 unit per kilogram berat badan per jam, sehingga kurang-lebih separuh botol cairan suntik heparin per hari untuk pasien dengan berat badan 50 kilogram. Waktu tiga hari merupakan periode dengan hasil optimal. "Kalau satu hari, obatnya belum memberikan pengaruh," ujarnya. Heparin memerlukan waktu untuk bekerja mengikat perangsang peradangan.
Obat ini diberikan ketika sepsis baru berkembang. "Saya bermain di area awal sepsis. Kalau di area ini sudah bisa dikendalikan, tidak perlu perawatan lebih lanjut," kata Khie Chen. Tentu juga bisa menekan biaya dan mempercepat pemulihan kondisi pasien.
Agar temuannya teruji klinis, Khie Chen melakukan penelitian yang melibatkan 115 pasien sepsis berat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, dan Rumah Sakit Persahabatan selama 15 bulan. Hasil penelitian menunjukkan heparin mampu menurunkan kematian hingga 30 persen pada pasien sepsis berat yang diterapi selama tiga hari.
Khie Chen menerangkan mekanisme penyembuhannya. Ketika tubuh mulai kemasukan kuman dan terjadi infeksi, dinding kuman akan menghasilkan sel bernama tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha). Kehadiran TNF-alpha dalam jumlah banyak inilah yang memicu proses peradangan. Ketika heparin dimasukkan ke tubuh lewat tabung infus, ternyata terjadi penurunan jumlah TNF-alpha pada pasien. Heparin, ia menjelaskan, mengikat induk TNF-alpha, sehingga produksinya menurun. Maka manfaatnya sebagai anti-peradangan pun teruji.
Namun, karena heparin berfungsi sebagai pengencer darah, obat ini tidak bisa sembarang diberikan. Efek samping berupa perdarahan bisa terjadi dengan jumlah kecil. Jika terjadi perdarahan, Khie Chen tak menganjurkan terapi diteruskan. Tapi, dengan segala manfaat yang ada, kalau risikonya bisa dikendalikan, heparin masih rasional untuk digunakan. Apalagi pengaruh heparin dalam darah itu hanya enam jam. Setelah waktu tersebut, heparin tidak akan bersifat mengencerkan darah. Obat ini bisa diberikan lagi kalau perdarahan teratasi atau operasi selesai dilaksanakan.
Khie Chen berharap temuannya bisa dijadikan protokol penanganan sepsis. Namun, untuk menjadi pedoman, diakuinya perlu pengujian dengan skala yang lebih besar--buat meyakinkan bahwa temuannya memberikan hasil yang konsisten. "Kami sedang mengarah ke sana," kata Ketua Tim Penyusun Panduan Sepsis RSCM ini.
Dianing Sari
Peradangan Seluruh Tubuh
Definisi: Kriteria 1. Suhu tubuhnya kurang dari 35 atau lebih dari 38 derajat.
Cara Heparin Menyerang Sepsis
Sepsis atau septicaemia: kondisi ketika begitu banyak bakteri hadir di dalam darah. Mereka membagi diri secara aktif, hingga menyebabkan disfungsi pada organ tubuh. Hal itu bisa menyebabkan terganggunya sirkulasi darah, depresi jantung, dan kelainan metabolisme. Seluruh tubuh meradang dan mengalami infeksi.
Kalau ditemukan dua dari empat tanda di bawah ini, beserta satu sumber infeksi, itu berarti pasien masuk kondisi sepsis atau SIRS.
2. Jumlah sel darah putih (leukosit) berada di luar interval 4.000-12.000 per liter darah, dengan jumlah hitung jenis sel batang—bagian dari sel darah putih—lebih dari 10 persen.
3. Frekuensi napas lebih dari 20 kali per menit atau sudah menggunakan alat bantu pernapasan.
4. Denyut nadi pasien lebih dari 100 kali per menit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo