Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru kali ini pohon asam jawa tua di pinggir Jalan Raya Wringinanom, Gresik, Jawa Timur, itu diperlakukan secara istimewa. Setelah tanah di sekitar akar pohon digali, pohon berikut akarnya yang sudah tercerabut itu dibungkus dengan dua lapis karung plastik, lalu diikat seutas tali rafia. Kini pohon yang tadinya menjulang setinggi lima meter itu rebah dan tampak lebih langsing, karena dahan dan cabangnya telah dipangkas, menyisakan beberapa dahan kecil dan tunas di dekat bonggol.
Dengan bantuan katrol berantai, Nur Budiyono, 24 tahun, memerintahkan lima anak buahnya perlahan-lahan merobohkan pohon berdiameter satu setengah meter itu. Satu jam kemudian, pohon itu pun sudah naik ke atas truk, siap dipindahkan ke habitatnya yang baru, sekitar 300 meter dari lokasi semula.
Proses menggali, merobohkan, hingga mengangkut pohon asam tua itu hanya menggunakan alat-alat manual. "Kalau menggunakan alat-alat berat malah nanti rusak akarnya," kata Budiyono saat ditemui Tempo di lokasi pemindahan pohon asam di Desa Sumber Rame, Kecamatan Wringinanom, Gresik, Kamis dua pekan lalu.
Sejak akhir Juni lalu, Budiyono dan lima anak buahnya sudah memindahkan 20 pohon asam yang usianya diperkirakan lebih dari satu abad. Direktur Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Prigi Arisandi yang meminta Budiyono menyelamatkan pohon bernama Latin Tamarindus indica itu dari ancaman mesin gergaji.
Menurut Prigi, puluhan pohon asam tua itu merupakan korban proyek pelebaran jalan di Jalan Wringinanom. Jalan sepanjang 6,9 kilometer di dekat perbatasan Gresik dan Mojokerto itu dilebarkan oleh pemerintah daerah Jawa Timur dengan pelaksana proyek PT Adhi Karya. Dengan dana Rp 40 miliar, jalan dilebarkan dari enam menjadi delapan meter. Sisi kiri dan kanan jalan masing-masing ditambah 1,7 meter untuk memperlebar badan dan bahu jalan.
Istimewanya lagi, dari 40 pohon asam yang tersisa di Jalan Raya Wringinanom, 38 pohon telah diadopsi oleh orang tua asuh. "Maksudnya, mereka yang membiayai pemindahan pohon asam dari pinggir jalan tersebut ke lokasi lain," kata Prigi. Kini tinggal dua pohon, dengan garis tengah dua meter, menunggu uluran tangan orang tua asuh sebelum tenggat pembangunan pelebaran jalan, Desember nanti.
Sejauh ini, seorang pemilik rumah makan telah mengongkosi pemindahan dua batang pohon asam jawa itu dan menanamkannya kembali di pekarangan restorannya. Budiyono dan anak buahnya telah memindahkan delapan pohon lain ke bantaran Kali Surabaya di Desa Wringinanom. Sedangkan delapan pohon lain dipindahkan ke sebidang tanah desa di Desa Sumber Rame.
PENYELAMATAN pohon asam ini berawal dari "curhat" dua remaja anak Prigi Arisandi pada pertengahan Mei lalu. Thara Bening Sandrina, 13 tahun, dan Sofi Azilan Aini, 15 tahun, mengungkapkan kegelisahannya kepada ayahnya setelah mendapati para pekerja proyek pelebaran mulai menebangi pohon-pohon asam di sepanjang Jalan Wringinanom di suatu sore pada Mei lalu.
Padahal, selain berusia tua, pohon-pohon asam ini bermanfaat untuk menyerap air dan mengisap karbon dioksida dari asap kendaraan dan pabrik di Gresik dan sekitarnya. Thara sedih melihat pohon asam itu tumbang satu per satu-ada enam pohon asam yang jadi korban mesin gergaji kala itu. "Biasanya jalan kaki ke sekolah bisa terasa teduh karena daun pohon-pohon itu," kata siswa kelas VIII Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Wringinanom itu di rumahnya di Desa Wringinanom, Kamis dua pekan lalu.
"Mendengar mereka sedih, saya dorong mereka menulis soal ini," ujar Prigi, peraih The Goldman Environmental Prize 2011 atas upayanya menghentikan pencemaran Kali Surabaya. Waktu itu aktivis lingkungan ini sempat bertemu dengan Presiden Barack Obama di Gedung Putih, Washington, DC, Amerika Serikat. Pada 15 Mei 2015, Sofi menulis surat kepada Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Di sekolah, ia menggalang tanda tangan untuk menolak penebangan pohon asam. "Aku katakan, kamu enggak eman ta rek (tidak sayang) pohon itu sudah berikan oksigen kita ratusan tahun. Masak, ditebang begitu saja," tuturnya.
Sehari kemudian, Sofi dan beberapa kawannya memasang pita pada pohon-pohon asam yang saat itu telah ditandai akan ditebang. Walau mendapat dukungan dari teman-temannya, gurunya menentang, dan meminta menghentikan langkahnya. "Aku dibilang menghambat pembangunan. Akhirnya kertas tanda tangan teman-teman aku robek saja," ujarnya.
Tentangan itu tak menyurutkan langkahnya. Dengan dukungan ayah dan beberapa teman, dia menggelar unjuk rasa di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, 24 Mei lalu. Mereka mengibarkan bendera Komunitas Pecinta Pohon Asem (KPPA). Pekan sebelumnya, Lembaga Kajian Ekologi Konservasi Lahan Basah (Ecoton), Komunitas Nol Sampah, Rakyat Miskin Indonesia, dan Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan berdemonstrasi, memprotes penebangan pohon asam di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur.
Bersama kelompok aktivitas lingkungan, Prigi akhirnya diundang dalam rapat terbatas dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga Jawa Timur serta Adhi Karya. Dalam pertemuan itu, pejabat Dinas Pekerjaan Umum menyampaikan alasan pemotongan pohon untuk pelebaran jalan. Setelah berdebat panjang, Dinas Pekerjaan Umum akhirnya sepakat?tidak menebang pohon asam tua. Tapi mereka tidak menyediakan anggaran.
Sekarang perjuangan Prigi dan anaknya terpusat pada penggalangan dana. Komunitas Pecinta Pohon Asem mengirimkan surat ke DPRD Jawa Timur dan Gubernur Jawa Timur untuk menutup biaya pemindahan pohon asam. Tapi hasilnya nihil. Pada 9 Juni, Prigi dan anaknya kembali mengirimkan surat ke Gubernur Soekarwo. Surat berukuran raksasa itu dikirim melalui Biro Umum Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Namun, empat hari setelah surat dikirim, PT Adhi Karya serta Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga Jawa Timur tetap menebang sejumlah pohon. "Itu yang membuat kami kembali sedih," kata Sofi.
Tak menemukan solusinya, pada 23 Juni, dengan dana terkumpul Rp 126 ribu, Prigi berinisiatif membuat simulasi memindahkan pohon beringin karet di kampungnya di Wringinjaya. "Setelah beringin berhasil hidup, saya yakin pohon asam yang terancam itu bisa hidup juga bila dipindahkan," tuturnya.
Awalnya Prigi kebingungan ketika akan memindahkan pohon-pohon berusia seratusan tahun ke tempat yang lebih aman. Dari berbagai literatur, ia memperoleh pengetahuan tentang kiat memindahkan pohon tua dan berukuran besar. "Tapi saya bingung, di Wringinanom sini siapa yang bisa melakukannya?" kata lulusan biologi Universitas Airlangga ini.
Dia berkonsultasi dengan dosennya, ahli struktur dan perkembangan tumbuhan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Hery Purnobasuki. Menurut Hery, pohon-pohon tua bisa dipindahkan dengan selamat asalkan akar-akar serabutnya bisa dipertahankan semaksimal mungkin. Akar serabut berfungsi menyerap air dari tanah. Dari Nur Budiyono yang sudah berpengalaman memindahkan pohon dalam proyek-proyek perumahan, Prigi juga mendapatkan banyak masukan. "Pohon asam ini termasuk yang tidak sulit dipindahkan," ujar Budiyono.
Tapi pemindahan pohon masih tersandung masalah dana, hingga akhirnya Prigi menemukan jalan keluar di dunia online. Lewat situs kitabisa.com, dia mengkampanyekan konservasi pohon sekaligus menggalang donasi dengan slogan "#SavePohonAsem Berusia 100 tahun". Dia secara terbuka menyatakan satu pohon asam membutuhkan biaya pemindahan Rp 5 juta. Rinciannya Rp 4 juta untuk penggalian, pengangkutan Rp 500 ribu, pembelian katrol seharga Rp 2 juta, dan sisanya untuk perawatan pohon. Sampai Rabu pekan lalu, penggalangan dana lewat dunia maya baru terkumpul Rp 2,2 juta dari target Rp 20 juta.
Salah satu yang bisa diajak oleh Prigi adalah Hendro Hadi, pengusaha es krim di Surabaya. Hendro membiayai pemindahan 14 pohon asam dari Jalan Wringinanom. Dua pohon sudah dia pindahkan ke restoran miliknya di Waru, Sidoarjo. Keduanya kini berdiri gagah di depan restoran tersebut, bersanding dengan beberapa gubuk makan vegetarian. "Kami beri nama Arimbi dan Werkudara. Ditaruh ke sini sebagai pengingat dan edukasi kepada pengunjung dan anak-anak," kata Hendro.
Menurut laki-laki 56 tahun itu, 12 pohon lain yang sudah diadopsi akan ditanam kembali ke sejumlah tempat, antara lain di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, taman Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), UPN Veteran Jatim, dan hutan kota Balas Klumprik Surabaya. "Segelintir upaya dari saya ini mungkin hanya akan memperlambat, dampaknya tidak terlalu besar," kata pengusaha yang vegetarian ini.
Menghadapi aneka perkembangan ini, Adhi Karya akhirnya bersedia mengadopsi sepuluh pohon, tiap pohon menelan biaya Rp 4 juta. Sebenarnya, menurut anggota staf teknik proyek Adhi Karya, Henry Widodo, memindahkan pohon bukan bagian dari pekerjaan proyek. Namun akhirnya mereka menyerah. "Kami bayar separuh dulu. Bila pohon yang sudah dipindahkan tumbuh, kami akan membayar separuhnya sisanya," kata Henry saat dihubungi dari Jakarta, Kamis pekan lalu. Adhi Karya menganggarkan dana tersebut dari corporate social responsibility.
Bina Marga juga telah menyediakan anggaran untuk memotong dan mengganti pohon. UPT Bina Marga Surabaya adalah koordinator proyek pelebaran jalan raya Legundi-batas Kabupaten Mojokerto, termasuk Jalan Wringinanom. Anggaran pemotongan telah diserap di awal proyek, sedangkan anggaran penggantian pohon akan cair pada Oktober nanti. "Bila masih kurang, akan diajukan lagi tahun depan," ujar Kepala Seksi Jalan UPT Bina Marga Surabaya Saiful Rochim. "Setiap satu pohon yang dipotong harus diganti dengan tiga pohon baru setinggi 2 meter. Intinya, semua pohon yang sudah dipotong kami ganti tiga kali lipat jumlahnya."
Ahli struktur dan perkembangan tumbuhan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Hery Purnobasuki, mendukung pemindahan pohon asam yang tergusur proyek pembangunan jalan itu. Sebab, selama ini tak ada yang berani bersuara. Keberhasilan memindahkan pohon juga bukan hal yang mustahil. "Trennya sekarang rumah-rumah mewah itu menanam pohon yang sudah besar. Sebab, kalau menanam dari pohon berbatang kecil, rindangnya lama," ujar doktor lulusan Tokoku University, Jepang, itu.
Menurut Hery, pohon asam merupakan pohon dengan bentuk atap daun bermodel kanopi melebar (fungsi meneduhkan). Untuk itu, sebaiknya pucuk-pucuk daun yang masih muda dan bagus dipertahankan buat menumbuhkan tunas kehidupan.
Bagi masyarakat Jawa, pohon asam bukan hanya tanaman, melainkan telah melebur menjadi bagian dari budaya manusia sekitarnya. Asam masuk budaya lokal yang semua bagian tubuhnya dapat dimanfaatkan. "Tak hanya sebagai obat, juga untuk sandang, pangan, senjata, bahkan alat ritual religi," katanya.
Pohon memang mudah sekali tumbuh di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Namun mempertahankannya hingga usia tua sangat penting. "Sebuah prestasi jika pohon itu bisa tumbuh hingga ratusan tahun," ucap Hery.
Ahmad Nurhasim, Artika Farmita (gresik)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo