Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Karsani. Penampilannya: ndeso. Perawakannya kurus kerempeng, hitam legam. Bocah yang sukarela bergabung dengan pasukan Soedirman ini (diperankan Gogot Suryanto) adalah anggota gerilyawan yang paling lucu. Ada saja tingkah lakunya yang mengundang tawa.
Film ini tak berambisi menjadi satu biopik tentang Soedirman. Film ini ingin menfokuskan periode tujuh bulan perang gerilya Soedirman. Sutradara Viva Westi ingin menyajikan bagaimana Soedirman dengan selusin pasukan dan dokternya, termasuk Karsani (tentu saja ini tokoh fiktif), keluar-masuk hutan. Mereka bertemu dengan pasukan Republik liar, disambut rakyat dari desa ke desa, dan mengalami baku tembak dengan Belanda.
Kita tahu, Soedirman memutuskan masuk hutan melawan Belanda setelah Belanda menyerbu Yogyakarta-pusat pemerintahan kala itu-pada 1948. Soedirman, yang sakit-sakitan, ingin membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada.
Adalah memang dramatis membayangkan betapa Pak Dirman dalam kondisi sakit kronis di hutan diburu pasukan Belanda dan mampu mati-matian melawan. Tantangan sutradara adalah bagaimana secara ketat mampu menyajikan dramaturgi gerilya ini. Tapi, di bagian awal, film dibuka dengan sedikit "rusuh". Secara tergesa-gesa sejumlah tokoh muncul dan menghilang dari layar. Dari tokoh yang cukup populer, seperti Oerip Soemohardjo dan Tan Malaka, hingga yang tak begitu dikenal luas, seperti Duta Besar Amerika Mele Cochran atau penyiar radio yang kelak menjadi Kepala RRI dan Duta Besar Indonesia, Joesoef Ronodipoero.
Tujuan Viva Westi, sutradara sekaligus penulis naskah, bisa dimengerti, yakni menjelaskan konteks sejarah kala itu. Namun penonton yang tak begitu mendalami sejarah bisa jadi malah kebingungan mengikuti awal film ini. Baru setelah kembali pada Soedirman, film menjadi lebih lancar.
Adipati Dolken bermain cukup baik sebagai Soedirman, meskipun masih terlihat terlalu sehat dalam menampilkan sang Jenderal yang baru dioperasi dan bernapas dengan sebelah paru-paru. Di sepanjang film, sebagai orang sakit, Soedirman cenderung ditampilkan ditandu dan digendong ke mana-mana. Sesekali ia diperlihatkan batuk keras.
Cerita tentang penyakit sang Jenderal kurang dieksplorasi. Kondisi tubuh Soedirman hanya dijelaskan lewat perkataan Sukarno (Baim Wong) bahwa ia baru sembuh dari sakit. Tidak dijelaskan separah apa kondisinya. Padahal justru ini salah satu alasan yang membuat gerilya Soedirman menjadi begitu menyentuh dan melegenda.
Baru di bagian akhir diperlihatkan Soedirman mulai ikut tampil, mengatur siasat. Sebelumnya lebih menonjol peran Kapten Tjokropranolo alias Nolly, yang memimpin pasukan Soedirman. Adapun Karsani, yang ditampilkan sebagai pejuang yang lucu, agaknya sebuah resep klise. Selalu ada tokoh demikian, yang kemudian harus mati, untuk menimbulkan efek mengharukan.
Yang menarik adalah adanya beberapa adegan mengenai Tan Malaka. Tan Malaka (diperankan Mathias Muchus, meski terlihat tidak cocok) ditampilkan berpidato dan dieksekusi oleh militer di tengah hutan Kediri, Jawa Timur. Soedirman dan Tan Malaka dikenal dalam sejarah memiliki sikap keras yang sama terhadap Belanda. Mereka sama-sama menginginkan kemerdekaan 100 persen. Mereka tak begitu suka aneka diplomasi, yang mereka anggap cenderung merugikan Indonesia. Bahkan ada sejarawan menyebut "dwitunggal Tan Malaka-Soedirman".
Pada titik ini, kita tak tahu sikap sutradara mengenai hubungan itu. Ada adegan pasukan Soedirman bertemu dengan pasukan kiri yang mengenakan tanda merah di lengan yang ditengarai pro-Tan Malaka. Ada adegan Soedirman diberi info mengenai "move" Tan Malaka. Tapi, ketika Tan Malaka digambarkan ditembak, tak ada adegan yang menampilkan ekspresi Soedirman. Kita tak tahu apakah Soedirman setuju atau marah terhadap eksekusi Tan.
Ratnaning Asih
Jenderal Soedirman (2015)
Sutradara: Viva Westi
Penulis Naskah: Tb Deddy Saifudin, Viva Westi
Pemain: Adipati Dolken, Ibnu Jamil, Mathias MuchuS, BAIM WONG, GOGOT SURYANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo