Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGI itu, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta memulai tahun ajaran baru. Mahasiswa anyar berseliweran di tiap sudut kampus. Tak sedikit yang kongko-kongko di sudut kampus, sarapan di kantin, atau bersenda gurau di depan kelas menunggu perkuliahan pagi dimulai.
Masa orientasi mahasiswa baru memang sudah selesai pada pekan sebelumnya. Tapi mereka masih mudah dikenali dari setelan putih-hitam dan jaket almamater hijau lumut yang kerap terlihat disampirkan di bahu. "Untuk laki-laki wajib cepak," ujar Randu Hasudungan, mahasiswa angkatan 2015 Jurusan Komunikasi, saat ditemui Tempo di kampusnya, Senin pekan lalu.
Bagi Randu, yang lulusan SMA Negeri 98 Jakarta Timur, pagi 24 Agustus 2015 itu memang hari pertamanya menyandang gelar mahasiswa. Bagi pihak kampus, hari itu maknanya lebih spesial. "Hari pertama kami menyelenggarakan pendidikan sebagai perguruan tinggi negeri," kata Eddy Siradj, Rektor Universitas Pembangunan Nasional Jakarta.
Sebetulnya universitas yang lebih dikenal dengan Kampus Veteran Jakarta ini menyandang status negeri sejak 6 Oktober 2014. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga menyulap dua Kampus Veteran di Yogyakarta dan Jawa Timur yang semula berstatus swasta menjadi perguruan tinggi negeri. Sejak saat itu pun ketiganya berada di bawah Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi.
Untuk menjadi perguruan tinggi negeri, banyak persyaratan dan prosedur yang harus ditempuh. "Pertama, pihak pengelola perguruan tinggi swasta, dalam hal ini yayasan, mengusulkan untuk dinegerikan," ujar Patdono Suwignjo, Direktur Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Perguruan Tinggi Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. Kedua, pihak pengelola wajib menyerahkan seluruh asetnya, termasuk staf pengajar dan pegawai, ke Kementerian. Selama ini Kampus Veteran Jakarta dikelola Yayasan Kesejahteraan, Pendidikan, dan Perumahan.
Meski begitu, prosesnya terbilang singkat: rata-rata selesai dalam setahun. Urgensi "penegerian", kata Patdono, adalah membuka akses serta meningkatkan kualitas pendidikan di daerah terluar dan tertinggal, juga wilayah yang belum memiliki perguruan tinggi negeri. Perubahan status ini juga bertujuan meningkatkan angka partisipasi pendidikan sebagai bagian dari pembangunan daerah.
Selain tiga Kampus Veteran, belakangan ada 26 perguruan tinggi swasta lain yang di-negeri-kan pemerintah. Di antaranya, Universitas Singaperbangsa, Karawang; Universitas Siliwangi, Tasikmalaya; dan Universitas 19 November, Kolaka. Semua kampus tersebut menyusul Universitas Bangka Belitung dan Universitas Borneo, yang menjadi negeri pada 2010. Bedol deso status kampus, bisa dibilang begitu.
Di luar perguruan tinggi swasta yang di-negeri-kan, pemerintah membangun tujuh perguruan tinggi negeri baru. Jadi total perguruan tinggi negeri yang baru terbentuk berjumlah 36 institusi. "Keajaiban" itu benar terjadi. Begitu terdaftar sebagai salah satu pilihan dalam seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri pada Maret lalu, kampus-kampus negeri baru itu langsung diburu calon mahasiswa. Misalnya Kampus Veteran. Calon mahasiswa baru yang mendaftar ke kampus ini melebihi jumlah pendaftar tahun sebelumnya. "Hampir 10 ribu orang," ucap Eddy Siradj. Namun, menurut peraturan, Kampus Veteran Jakarta tak boleh menerima mahasiswa baru lebih dari 1.500 orang. Hal itu terkait dengan rasio perbandingan dosen-mahasiswa yang ditetapkan pemerintah 1: 30.
Universitas Singaperbangsa mengalami lonjakan popularitas yang sama. Wakil Rektor Bidang Kerja Sama Universitas Singaperbangsa Ade Momon Subagio mengklaim ada 10 ribu calon mahasiswa yang mendaftar ke lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Tapi pihaknya hanya bisa menerima 1.592 mahasiswa baru.
"Memilih kampus negeri jadi kebanggaan tersendiri," kata Wawan Kurniawan, mahasiswa baru Jurusan Manajemen Universitas Singaperbangsa. Dia lulusan SMK Al Fatah, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Selain prestise, memang banyak fasilitas yang didapat setelah universitas menjadi negeri. Pemerintah otomatis harus mengucurkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tiap tahun. "Dana itulah yang akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan sumber daya dosen," Ade menambahkan. Sejak menjadi perguruan tinggi negeri, Universitas Singaperbangsa mendapatkan suntikan dana dari pemerintah sebesar Rp 69 miliar tiap tahun. Sedangkan Kampus Veteran Jakarta menerima dana sekitar Rp 108 miliar tiap tahun.
Meski begitu, proses penegerian tak selalu berjalan lancar. Ada kendala yang menghadang pemerintah setelah menyulap sebuah perguruan tinggi swasta menjadi negeri. Patdono menyebutkan salah satunya adalah masalah status kepegawaian, khususnya dosen. Sebab, para pegawai yang semula pegawai honorer tak otomatis akan menjadi pegawai negeri. Setidaknya ada 4.000 lebih pegawai perguruan tinggi negeri baru.
"Statusnya masih dibicarakan," ujarnya. Dia berharap masa transisi selama lima tahun dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Kendala itulah yang menyebabkan penundaan penegerian beberapa perguruan tinggi swasta lain. Salah satunya Universitas Trisakti. Padahal Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Trisakti Yuswar Zainul Basri mengklaim, "Sudah disetujui Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, sejak 2014." Kini, dia mengatakan, tinggal menunggu disahkan presiden saja. Selain Nuh, Yuswar mengatakan, dukungan penegerian datang dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta. "Meski memang tanpa surat resmi."
Sebaliknya, Ketua Pembina Yayasan Trisakti Harry Tjan Silalahi membantah pernah mengirim surat pengajuan penegerian kepada pemerintah. "Itu bisa-bisanya pihak rektorat saja," ucapnya. Memang, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 95 Tahun 2014, pihak badan pengelola yang biasanya berbentuk yayasanlah yang berhak mengajukan penegerian.
Jika melihat imbas yang ada, Satrio Soemantri Brodjonegoro, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi periode 1999-2007, menilai penegerian tak selalu berdampak baik. "Tak mendesak untuk dilakukan karena risikonya tak sebanding dengan hasil akhir," kata pria yang juga menjadi guru besar di Institut Teknologi Bandung ini.
Selain menambah beban anggaran negara, Satrio memprediksi, soal kepegawaian pasti akan memakan waktu panjang. Kalau alasannya kualitas pendidikan, dia beranggapan pemerintah bisa membantu dalam bentuk penempatan dosen yang bagus. Atau pemberian beasiswa dan membangun infrastruktur, sehingga tak perlu sampai menegerikan perguruan tinggi swasta. "Proses penegerian bukan hal main-main."
Amri Mahbub, Hisyam Luthfiana (karawang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo