Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis itu datang kepada Rachmawati tujuh tahun lalu. Perempuan 42 tahun ini didiagnosis menderita kanker payudara stadium IIIB. "Saat itu yang terpikir adalah kematian," kata Rachmawati, Selasa pekan lalu. Namun tidak ada yang ingin cepat meninggalkan dunia ini, juga Rachma. Dia ingin sembuh, tapi apa daya biaya pengobatan terlalu mahal. Akhirnya ia kabur dari dokter dan selama lima tahun memilih pengobatan herbal.
Hasilnya? Lebih parah karena kankernya justru meruyak menjadi stadium IV. Jantungnya membengkak dan paru-parunya terbenam cairan. Bukan hanya itu, Rachma malah tak bisa bangun dari tempat tidur selama tiga tahun. Akhirnya dia memutuskan kembali ke dokter. Setelah memeriksa Rachma, pak dokter tidak menyarankan penggunaan kemoterapi. "Jantung saya enggak kuat," ujar warga Duri Kepa, Jakarta Barat, ini.
Jalan lainlah yang dipilih, yakni pengangkatan rahim dan? payudara, dan itu sudah dilakukan satu setengah tahun lalu. Sungguh menggembirakan, ternyata Rachma menjadi lebih baik. Ia tak lagi hanya terbaring di kasur menunggu nasib. Kini perempuan bertubuh kurus itu bisa berkegiatan lagi. Sesekali dia jalan-jalan di mal, berdagang kopi di rumah, dan rutin periksa ke dokter sendiri tanpa mengalami kesakitan. "Enggak nyangka kan kalau saya stadium IV?" katanya sambil tertawa.
Rachma layak bersyukur karena bisa bertahan hingga kini. Angka harapan hidup untuk pasien kanker payudara stadium lanjut sangatlah kecil, yakni sekitar dua setengah tahun.
Apa yang dijalani Rachma ini mungkin bisa diikuti penderita kanker payudara lain, yang jumlahnya sangat banyak. Di seluruh dunia, penderitanya mencapai 1,1 juta dengan angka kematian 410 ribu. Jumlah ini menyumbang 1,6 persen penyebab kematian perempuan di seluruh dunia.
Di negara berkembang, kanker payudara menjadi penyebab kematian utama. Di Indonesia, misalnya, jumlah kasusnya melonjak, dari 16.049 pada 1990 menjadi 53.585 pada 2013. Nah, dengan terapi hormonal, seperti yang dijalani Rachma, harapan memperpanjang hidup terbuka lebih lebar.
Dokter Ramadhan Karsono sudah membuktikan hal itu lewat penelitian untuk disertasinya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kesimpulan yang diperoleh dokter di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta, ini menyebutkan bahwa terapi hormonal mampu membuat pasien stadium IIIB dan IV bertahan selama rata-rata 1.039 hari. Ini lebih panjang dari kemoterapi yang 633 hari. Penelitian dilakukan Ramadhan selama tujuh tahun mulai 2008. Dia membandingkan 28 pasien yang dirawatnya dengan kemoterapi dan 28 pasien lain dengan terapi hormonal.
Dua cara pengobatan ini jelas berbeda. Pada kemoterapi, kata Ramadhan, tubuh pasien diberi obat keras untuk merusak pertumbuhan dan membunuh sel kanker. Sedangkan pada terapi hormonal, produksi hormon estrogen yang memicu kanker dihentikan. Caranya dengan mengangkat indung telur atau diberi obat agar produksi estrogen terhambat.
Hormon estrogen yang diproduksi di indung telur selama ini dikenal sebagai biang keladi pemicu kanker payudara. Estrogen yang "menempel" pada sel dengan bakat kanker bisa membuat sel membelah lebih cepat. Semakin cepat pembelahan, kemungkinan sel tumbuh abnormal dan menjadi bibit kanker semakin besar. Maka stimulasi estrogen yang terus-menerus membuat sel kanker beranak-pinak.
Hormon progesteron yang juga dihasilkan oleh indung telur mempercepat proses tersebut. Maka pengangkatan indung telur dilakukan agar siklus haid berhenti. Dengan demikian estrogen dan progesteron pun tak lagi diproduksi. Walhasil, pertumbuhan sel kanker mandek.
Selain memperpanjang umur, kata Ramadhan, kabar baik lain: efek terapi hormonal tak seseram kemoterapi. Pada kemoterapi, obatnya tak cuma merusak sel kanker, tapi juga sel normal dalam tubuh. Walhasil, pasien bisa mengalami mual dan muntah, rambut rontok, kerusakan ginjal, hingga kerusakan otot jantung. Nah, pada terapi hormonal, pasien hanya mengalami penuaan lebih cepat. Sebab, sang pasien, "Dibikin menopause," kata Ramadhan.
Bagaimana jika pasien ogah rahimnya diangkat? Tidak jadi masalah. Menurut Ramadhan, pasien bisa mengkonsumsi obat-obatan untuk mengurangi produksi estrogen dan progesteron serta memblokade estrogen dan progesteron reseptor. Untuk penderita yang sudah masuk masa menopause alami, indung telur juga tak perlu dilenyapkan. Tapi cukup dengan mengkonsumsi obat agar estrogen yang berasal dari lemak dan jaringan kulit juga dihambat.
Selain tak bisa hamil, pengangkatan estrogen masih berdampak lain, yakni bisa mengakibatkan osteoporosis. Namun, menurut dia, efek ini tak perlu dikhawatirkan, soalnya angka harapan hidup pasien kanker payudara memang tak banyak.
Namun banyak ahli menyebutkan tak semua kanker payudara dipengaruhi hormon estrogen. Hanya sel payudara tipe hormone receptor-positive yang pertumbuhannya terpengaruh. Tapi, menurut Ramadhan, meski reseptornya negatif, perempuan sangat bergantung pada hormon ini. Dia menunjuk, jika produksi hormon dihentikan sebelum masa pubertas, payudara tak bakal berkembang. "Maka hormon yang sangat menentukan perkembangan payudara, baik yang normal maupun yang terkena kanker," ujarnya.
Terapi hormonal sebenarnya bukan hal baru di dunia kedokteran. Bahkan metode ini sudah diperkenalkan jauh sebelum kemoterapi ditemukan. Adalah dokter asal Inggris, George Thomas Beatson, yang mempublikasikan cara tersebut pada 1896. Selang hampir setengah abad kemudian, kemoterapi baru ditemukan. Karena dianggap lebih cespleng, kemoterapi perlahan-lahan menggeser terapi hormonal.
Namun, lantaran dampak sampingnya tak menguntungkan, kemoterapi gantian mulai ditinggalkan. Menurut Ramadhan, banyak dokter di dunia mencari alternatif karena efek negatif tersebut. Mereka pun mulai kembali menggunakan terapi hormonal. "Ini seperti dari masa lalu untuk masa depan," katanya.
Promotor Ramadhan, Teguh Aryandono, mengatakan penelitian yang dilakukan Ramadhan itu menawarkan alternatif pengobatan kanker payudara stadium lanjut. Soalnya selama ini masyarakat kebanyakan hanya mengenal kemoterapi.?Terlebih, menurut guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ini, efek samping terapi hormonal lebih sedikit dibandingkan dengan kemoterapi. Ini sesuai dengan asas pengobatan. "Prinsipnya, meski tak menyembuhkan, jangan lagi menambah beban pasien," katanya.
Biayanya pun lebih murah. Rachmawati membenarkan hal tersebut. Menurut dia, pada 2008, dokter mentotal biaya untuk kemoterapi, pengangkatan payudara, dan radioterapi sebesar Rp 71 juta. Sedangkan pengobatan hormonal dengan pengangkatan indung telur dan payudara serta konsumsi obat hanya berkisar Rp 31 juta. "Memang lebih murah," ujarnya.
Hanya, menurut Teguh, hasil penelitian ini perlu diuji lebih lanjut dengan kasus yang lebih banyak dan periode yang lebih lama. Maka bakal kelihatan apa efek samping dari pengobatan ini.
Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo