Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDUSTRI kayu lapis Jepang sedang menghadapi pukulan paling hebat. Mahalnya harga bahan baku kayu gelondongan menyebabkan sejumlah pabrik kayu lapis di negeri itu gulung tikar. Tahun lalu saja, 13 pabrik bangkrut, dan lebih dari 1.500 buruh kehilangan pekerjaan karenanya. Sejak 1980 hingga tahun lalu, sudah 73 pabrik kayu lapis dinyatakan bangkrut, dan sekitar 8.000 buruh jadi penganggur dari sektor industri itu, yang pernah memberikan kejayaan selama lebih dari satu dekade (Lihat: Grafik). Pemerintah Jepang rupanya bisa memahami kesulitan itu. Tokyo bahkan menganggap kayu lapis eks impor, sekalipun jumlahnya hanya 0,5% dari seluruh produksi kayu lapis lokal, juga merupakan ancaman bagi kelangsungan industri setempat. Maka, demi melindungi eksistensi industri dan buruh setempat, Tokyo menetapkan tarif bea masuk cukup tinggi bagi kayu lapis, terutama dari Indonesia dan Malaysia. Untuk kayu lapis dengan ukuran tebal kurang dari 6 mm, misalnya, hmgga kini masih dikenakan bea masuk 20%. Anehnya, kayu lapis impor dari Amerika dan Kanada hanya dikenai bea masuk 15%. Kebijaksanaan yang diskriminatif itu, tentu, menjengkelkan pihak sini. Apalagi mengingat kayu lapis ekspor dari sini sebagian besar mempunyai ketebalan kuran dari 6 mm. Sudah beberapa kali, baik pemerintah maupun kalangan pengusaha Indonesia berusaha meyakinkan bahwa diskriminasi tarif itu dikhawatirkan bisa mengganggu hubungan dagang kedua negara. Awal bulan ini, Dubes Wiyogo Atmodarminto, bersama sejumlah dubes negara ASEAN (kecuali Brunei), kembali menyinggung soal itu, ketika bertemu dengan Menteri Pertanian Mariyoshi Sato di Tokyo. Jepang rupanya masih belum mau bergeming. Selesai menerima dubes ASEAN itu Menteri Sato menyatakan tidak mungkin bisa menerima tuntutan ASEAN untuk membuka pasar Jepang lebih besar. "Sektor pertanian merupakan basis perekonomian negara, karena itu perlu dilindungi," ujarnya kepada wartawan. Kata seorang pengusaha Indonesia, sikap keras Tokyo itu bukan merupakan hal aneh. "Lobi politik para pengusaha kayu lapis itu cukup kuat," katanya. Bulan lalu, dalam pertemuan tahunan antara Kadin Indonesia dan Keidanren (Kadin Jepang) di Tokyo, soal tarif itu juga sudah disinggung. Para pengusaha kayu lapis Jepang kabarnya keberatan jika penurunan tarif itu dilakukan dalam jangka pendek. Alasannya: untuk beralih ke sektor industri lain, perlu penyesuaian cukup lama. Nah, supaya proses diversifikasi usaha itu berjalan mulus, mereka lebih setuju penurunan tarif dilakukan secara bertahap setiap tahun. Sikap mereka ini tampaknya sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah Jepang, yang ditelurkan dalam persetujuan Multilateral Trade Negotiation atau Tokyo Round 1979. Tapi sejak ltu, baru tarif bea masuk untuk kayu lapis dengan tebal di atas 6 mm saja yang diturunkan dari 20% jadi 19,3%, pada 1982. Jenis kayu lapis ini, setlap tahun, tarif bea masuknya dijanjikan akan turun 0,76%. Hingga pada 1987 nanti, bea masuk itu hanya akan 17%. Kata seorang pengusaha, jika Tokyo mematuhi persetujuan Tokyo Round, tarif bea masuk jenis kayu lapis tadi sesungguhnya bisa lebih rendah lagi pada tahun 1987 itu. Entah mengapa, pekan lalu, komite kabinet untuk urusan luar negeri mendadak mengeluarkan keputusan mengejutkan: mulai April 1985, bea masuk kayu lapis dengan tebal di atas 6 mm diturunkan jadi 17%. Tapi bea masuk untuk kayu lapis kurang 6 mm tidak disinggung sama sekali. Komite yang beranggotakan tujuh menterl itu rupanya masih percaya, Jika bea masuk kayu lapis jenis ini diturunkan, maka akan makin banyak industri kayu lapis Jepang bangkrut. Sebab, kayu lapis eks Indonesla, yang mutunya sama dan lebih murah harganya, diyakini akan masuk dalam jumlah besar. Di pasar Jepang, memang harga kayu lapis Indonesia dijual dengan harga 330 yen per m2, atau lebih murah 10% dibandinkan buatan lokal. "Apa boleh buat, karena kualitasnya sama, siapa pun tentu akan lebih suka beli yang lebih murah," kata seorang pejabat kehutanan Jepang. Tingginya daya saing kayu lapis Indonesia itu, belakangan, bisa menaikkan ekspor hasil industri tadi dari sini. Sampai Oktober tahun ini, ekspornya ke sana, sudah 10 juta m2 lebih, dengan nilai 3,3 milyar yen. Jumlah ini ditaksir meliputi 80% dari seluruh impor kayu lapis Jepang. Jalan panjang tampaknya masih harus dilalui pengusaha Indonesia untuk meningkatkan pasar produksinya di sana. Sekalipun harus rugi, sekitar US$ 50 perm3 untuk kayu lapis terbaik, ekspor toh tetap dilakukan para pengusaha. "Supaya barang kita tetap dikenal," ujar Karsoedjono Sindoeredjo, ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo). Dia yakin bahwa kayu lapis Jepang, dalam jangka tak terlalu lama lagi, akan melenting karena tidak tahan bersaing dengan kayu lapis dari sini. Kenapa? Sebab, biaya produksi mereka kelewat mahal. "Apalagi mulai Januari mendatang, Indonesia akan menghentikan ekspor kayu gelondongan ke sana, mau bikin apa lagi mereka?" kata Karsoedjono. Sampai tahun lalu, impor kayu gelondongan dari sini masih dua juta m3, setelah secara berangsur dikurangi sejak empat tahun lalu. Tekanan terhadap industri kayu lapis Jepang itu akan bertambah hebat karena Malaysia, tahun depan, juga akan menghentikan ekspor kayu gelondongannya. Karena hampir 90% kebutuhan kayu gelondongan industri kayu lapis Jepang dipenuhi dari kedua negara itu, boleh jadi, penghentian itu akan menyebabkan malapetaka cukup hebat. Satu-satunya sumber bahan baku, yang bisa diandalkan, tinggal Filipina. Tapi sebelum malapetaka itu terjadi, industri kayu lapis Jepang secara berangsur sudah mulai mengganti kayu gelondongan eks ASEAN tadi dengan kayu dari pohon berdaun tajam seperti pinus, terutama dari Amerika dan Kanada. Tentu usaha antisipasi semacam itu tak akan berumur panjang. Suplai kayu lapis negeri itu rupanya harus segera diserahkan kepada negeri pemilik bahan baku. Dan anggota Apkindo tak ingin melewatkan kesempatan baik itu. "Kami sudah tahu selera mereka. Karena mesin dan teknisi kami dari Jepang juga," kata Karsoedjono. Soal ukuran yang kini masih memakai standar Eropa dan Amerika, bisa diperkecil sesuai dengan ukuran Jepang. Pengusaha kayu lapis di sini tampaknya sudah tak sabaran lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo