Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Merapi 'Memburu' Rekor

Indeks letusan Merapi sudah masuk skala 4. Semburan gas sulfur dioksida masih tinggi. Bahaya belum berlalu.

15 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGINILAH selarik judul berita di salah satu situs berita pada Selasa petang pekan lalu: "Merapi Telah Lewati Fase Berbahaya". Setelah membaca berita itu, Surono benar-benar jengkel. Menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ini, berita itu sangat berbahaya.

"Apakah mereka tidak memperhi­tungkan dampaknya? Bagaimana jika masyarakat, setelah membaca beri­ta itu, kembali ke kampungnya di lereng Merapi dan kemudian jatuh korban lagi?" kata Surono. Dia, yang sudah berpekan-pekan tinggal di Yogyakarta memelototi aktivitas Merapi, meminta media berhati-hati memberitakan se­gala ulah gunung berapi itu. Sebab, se­kalipun frekuensi gempa dan juga luncuran awan panas memang menurun, mungkin saja bala Merapi belum benar-benar berlalu.

Sejak status peringatan dini bencana Merapi dinaikkan dari siaga ke tingkat tertinggi, awas, pada 25 Oktober, ulah Merapi begitu sulit ditebak. Hanya sehari setelah dinaikkan statusnya, Merapi meletus dengan menyemburkan awan sangat panas yang mengha­nguskan Dusun Kinahrejo dan beberapa dusun di sekitarnya. Letusan dahsyat itu rupanya tak benar-benar me­nguras energi di perut Merapi.

Ade Surya Digsinaga dan keluarganya memilih tak mengungsi karena merasa kampung mereka di luar jangkauan awan panas Merapi. Maka, kendati suara gemuruh dan amuk Merapi jelas terdengar dari Dusun Bronggang, Desa Argomulyo, Cangkringan, pada Kamis menjelang tengah malam dua pekan lalu, mereka memilih berdiam di dalam rumah.

Namun kali ini mereka salah berhitung dengan Merapi. Di tengah pekatnya malam, wedhus gembel atau awan panas menyerbu kampung di tepi Kali Gendol itu. Awan dengan suhu 300 derajat Celsius memanggang apa pun yang dilewatinya. Ibu dan adik perempuannya tewas. Demikian pula puluh­an warga Dusun Bronggang. Ade selamat karena bersembunyi di bawah kasur.

Malam itu, awan maut Merapi berembus sedemikian jauh. Sementara pada letusan pertama dan juga erupsi­ pada 2006 awan panas Merapi hanya menjangkau jarak 6-7 kilometer, kali ini awan panas menyembur hingga Dusun Bronggang yang berjarak hampir 15 kilometer dari puncak Merapi. Korban jiwa berjatuhan. Hingga Rabu pekan lalu, bala Merapi memakan korban 191 jiwa.

"Ini luar biasa," kata Surono. Zona bahaya Merapi, yang dua hari sebelumnya diperluas menjadi 15 kilometer dari puncak, pada Jumat dinihari kembali diperlebar menjadi 20 kilometer. Semua warga yang berada dalam ren­tang 20 kilometer dari Merapi di­minta ­me­ng­ungsi. Di tengah siraman hujan abu dan pasir yang demikian pekat, malam itu ribuan orang lintang pukang angkat kaki dari rumah mereka.

Hingga Rabu pekan lalu, menurut Sutopo Purwo Nugroho, Direktur Pengurangan Risiko Bencana di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, ada 322 ribu warga sekitar Merapi yang terusir dari tempat tinggal mereka. Mereka sekarang tinggal berserak di tempat-tempat pengungsian. "Stok logistik kami cukup untuk dua bulan masa pengungsian sekalipun," kata Sutopo.

l l l

Setelah letusan besar pertama pada 26 Oktober petang, Merapi seperti tertidur sejenak. Frekuensi gempa vulkanik berkurang drastis. "Tapi jangan main-main. Aktivitas Merapi turun, tapi bukan berarti sudah berhenti," Surono­ memperingatkan kala itu. Menurut Surono, perut Merapi me­nyimpan energi yang sangat besar, berlipat ketimbang energi letusan pada 1994 ataupun 2006. Peringatan dia terbukti. Hanya berselang dua hari, mulut kawah Merapi kembali menyemburkan wedhus­ gembel ke arah Kali Gendol, di sisi tenggara Merapi.

Sepekan tampak kalem, hanya se­sekali menyemburkan awan panas dengan jangkauan kurang dari lima kilometer, Merapi tiba-tiba mengamuk pada Rabu tengah hari dua pekan lalu. Berbeda dengan letusan pertama yang diawali kenaikan frekuensi gempa vulkanik ataupun guguran, letusan besar yang dimulai pada 3 November lalu itu tak didahului dengan aktivitas yang mencolok (lihat grafik).

Selama tiga hari tanpa henti, Merapi melontarkan awan panas dan material debu, pasir, serta kerikil. Langit Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Magelang pekat oleh hujan abu. Getar­an dan suara gemuruh Merapi terdengar hingga jarak jauh. "Dari Kamis sore sampai Jumat subuh suara gemu­ruh tak berhenti. Pintu-pintu rumah bergemeretak," kata Fitriana, warga Desa Sido Agung, Godean, sekitar 45 kilometer arah barat daya Merapi.

Getaran hebat itu, kata Surono, bersumber dari tekanan magma yang posisinya sangat dalam. Dia memperkirakan letusan besar itu berasal dari aktivitas magma di kedalaman 6-8 kilometer dari mulut kawah. "Kalau tekanannya dangkal, kurang dari 2 kilometer, letusannya tak akan sedahsyat ini," ujar Surono. Tekanan itulah yang melontarkan material dan awan panas hingga jauh.

Letusan dua pekan lalu itu memang sungguh dahsyat. Awan sangat panas yang sebagian besar mengarah ke Kali Gendol dan sebagian ke Kali Woro di tenggara Merapi sudah mengubah total daerah itu. "Awan panas mengalir bebas karena sudah tak ada lagi hambatan," kata R. Sukhyar, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Daerah yang dulu hijau sekarang berubah bak padang pasir. Kali Gendol pun sudah hilang, rata tertimbun pasir. Jarak semburan awan panas kali ini juga paling jauh dibanding letusan-letusan sebelumnya.

Hingga Kamis siang pekan lalu, erupsi Merapi sudah berlangsung sembilan hari tanpa jeda. Sebelumnya, erupsi Merapi tanpa henti paling lama terjadi pada letusan tahun 1872 selama 120 jam. Volume material yang keluar dari perut Merapi juga sudah melewati letus­an 138 tahun lalu itu. Surono menghitung Merapi sudah memuntahkan lebih dari 140 juta meter kubik material dan menghasilkan kawah dengan diameter 400 meter.

Dengan semua "rekor" itu, menurut Surono, skala letusan (Volcanic Explosivity Index) Merapi kali ini sudah masuk kategori 4 atau cataclysmic. Berdasarkan data Smithsonian National Museum of Natural History, selama 500 tahun, baru sekali letusan Merapi me­nembus skala 4, yakni pada 1872. Ketika Merapi meletus pada 1930, yang menewaskan lebih dari 1.300 orang, skala­nya hanya 3.

Indeks letusan Merapi kali ini setara dengan amukan Gunung Galunggung di Tasikmalaya pada 1982 dan Gunung Eyjafjallajokull di Islandia, April lalu. Letusan Eyjafjallajokull membuat langit Eropa diselimuti abu. Selama sepekan, sebagian besar pesawat mangkrak di berbagai bandar udara Eropa. Sebagai perbandingan, letusan dahsyat Gunung Krakatau pada 1883, yang memakan korban lebih dari 40 ribu jiwa, me­nembus skala 6 atau colossal.

Merapi sudah memuntahkan energi dan material sedemikian besar. Tidak seperti judul berita di situs Internet, fase bahaya belum berlalu. Menurut Surono, semburan gas sulfur dioksida masih sangat tinggi, yakni 180 kiloton per hari. Padahal, seminggu sebelumnya, semburan gas sulfur dioksida dari perut Merapi masih di bawah 100 kiloton per hari. Ini menunjukkan aktivitas magma dalam tubuh Merapi masih tinggi. Dia berharap Merapi mencicil melepaskan tekanan gas itu. "Saya berharap Merapi menuruti kemauan saya," katanya dengan nada bercanda.

Surono dan timnya pun tetap mempertahankan status risiko awas.

Sapto Pradityo, Bernada Rurit, M. Syaifullah, Pito Agustin, M. Taufik (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus