Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Merebut marunda dengan rencana

Pantai marunda terus terkikis. masjid al alam yang dibangun faletehan tinggal 5 meter lagi dari batas pantai. diduga akibat penggalian pasir. pemda sedang merencanakan penyelamatan. (ling)

14 Juni 1986 | 00.00 WIB

Merebut marunda dengan rencana
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
POHON asam yang tinggal satu itu, cuma separuh akarnya yang mencengkeram tanah. Selebihnya mengambang di air. Di kaki pohon, berderet tulang belulang dan bagian tengkorak manusia - tampaknya sengaja disusun oleh yang menemukannya. Satu kuburan, yang terletak persis di bawah pohon, sebagian telah amblas. "Hampir tiap hari kami menemukan tulang yang berserakan di tepi laut," ujar Abdillah, yang menguburkan tulang belulang itu kembali setelah dikumpulkan. Tulang yang berserakan itu berasal dari kuburan yang terletak di halaman masjid Al Alam, Kampung Marunda Besar, Cilincing, Jakarta Utara. Ombak yang menghantam menggerogoti terus pantai tersebut. Dan Abdillah, penjaga masjid Al Alam, yang merangkap bekerja sebagai nelayan, harus selalu mengumpulkan tulang-tulang itu. Pantai Marunda memang dalam bahaya. Dari tahun ke tahun, pantainya terus terkikis. Kini masjid Al Alam, misalnya, cuma tinggal 5 meter dari batas pantai. "Padahal, kalau nggak salah, waktu zaman Jepang, lebih dari 500 meter ke laut masih daratan," ujar Abdillah, seorang penduduk asli Marunda kepada wartawan TEMPO, Moebanoe Moera. Ada yang menganggap abrasi (erosi laut) itu karena penggalian pasir yang konon dimulai sejak 1958. Penggalian itu makin dahsyat seiring dengan meningkatnya pembangunan di Ibu Kota. Akibat penggalian yang serampangan, abrasi mulai menggerogoti kawasan yang terletak di Jakarta Utara itu. Apalagi pantai ini tak mempunyai pelindung seperti Tanjungpriok yang mempunyai pelindung Kepulauan Seribu. Sehingga arus laut langsung menghantam pantai paling timur kawasan DKI Jakarta ini. Ketika abrasi makin mengganas, sekitar lima tahun lalu, penggalian pasir dilarang. "Tapi pencari pasir itu orang yang berani mati," kata seorang nelayan setempat. Seorang penduduk yang pernah melarang penggali pasir tewas bulan lalu. Akibatnya, tak ada yang pernah berani mengusik penggalian pasir itu. Pemerintah Jakarta bukannya tidak menempatkan petugas keamanan khusus. "Tapi petugas kalah gesit oleh mereka," kata Wakil Gubernur Jakarta, Anwar Ilmar, tatkala mengunjungi Marunda bulan lalu. Luas Marunda 746,304 hektar, terdiri atas tiga bagian: Marunda Kelapa, Marunda Besar, dan Marunda Pulau. Jumlah penduduk, menurut catatan pada 1983, 2.786 jiwa. Tidak jelas asal usul nama Marunda. Ada yang mengatakan berasal dari kata "merendah", maksudnya penduduk di situ sifatnya suka merendah. Ada juga yang beranggapan asalnya dari kata "menunda". Konon, tatkala bala tentara Sultan Agung mau menyerang Batavia pada abad ke-17, mereka sempat tertunda di daerah itu untuk menyusun strategi. Penduduk Marunda mencari nafkah di dua tempat, darat dan laut. Sebanyak 60 persen kawasan Marunda berupa lahan pertanian tadah hujan. Jika tidak musim tanam penduduk melaut sebagai nelayan, atau mengerjakan tambak bandeng, yang menyita 30 persen dari kawasan ini. Diduga Marunda mulai dihuni sekitar abad ke-16 itu. Tidak heran di tempat itu banyak tempat dan benda yang bernilai sejarah, seperti guci, piring, makam, dan masjid kuno. Masjid Al Alam yang berlantai ubin kuno berwarna merah anggur itu, misalnya, konon dibangun oleh Faletehan. Dilihat dari bentuk arsitekturnya, masjid tersebut memiliki arsitektur abad ke-17 atau ke-18. Di kawasan ini juga terdapat Rumah Si Pitung, pahlawan rakyat yang konon merampok tuan-tuan tanah Belanda dan membagikan hasilnya untuk si miskin. Rumah panggung yang berusia 103 tahun ini dijadikan benda bersejarah sejak 1972. "Karena itulah sebagai situs sejarah, dari segi arkeologi atau bangunan, Marunda perlu dipertahankan kelestariannya," kata Idik Muthalib, Kepala Bagian Urusan Sejarah Pemda DKI Jaya. Dulu di halaman masjid Al Alam, terdapat banyak pohon asam. Kini tinggal sebatang yang tinggal. Di belakang masjid, di arah timur, hanya tinggal beberapa depa saja sisa tanah. Selebihnya rawa dan kolam tambak, "Pemiliknya orang-orang kota," kata beberapa penduduk. Di selatan masjid, berderet 11 rumah, termasuk rumah Abdiliah. Seperti juga masjid, rumah-rumah ini juga terancam musnah oleh abrasi. Tanpa ada pencegahan yang memadai, laut akan menelan bangunan-bangunan itu. Apakah perkampungan Marunda ini akan sirna? "Kami mempunyai program jangka pendek dan jangka panjang untuk mengatasi erosi ini," jawab Gustav Panjaitan, Kepala Biro BKLH (Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup) Pemda DKI Jakarta. Untuk jangka pendek, dipasang patok kayu yang tahan air laut dan cerucuk bambu. Direncanakan juga untuk menanam rumput di bibir pantai setelah dihampari lapisan plastik dan diberi tebaran batu untuk penahan ombak. Gustav juga menyebut rencana penanaman bakau di sepanjang pantai yang rawan. "Ini pun masih harus dipelajari, sebab pohon bakau yang ada di sekitar pantai ternyata sulit berkembang. Pokoknya, katanya, perlu dicari pemecahannya agar abrasi bisa berkurang dalam tempo dua atau tiga tahun. Menurut dia, penanganan Marunda dititikberatkan pada Marunda Pulau. Marunda Kelapa kini diawasi langsung oleh Angkatan Laut yang menggunakannya sebagai gudang peluru, sedang Marunda Besar akan ditangani PPL Marunda yang akan membangun pelabuhan kayu di tempat itu. Pelabuhan kayu ini, konon akan menjadi pelabuhan kayu terbesar di Asia Tenggara. Direncanakan rampung pada 1988, pelabuhan kayu ini akan menjadi pusat niaga kayu mulai yang untuk korek api sampai bahan pembuat kapal. Pabrik-pabrik mebel yang kini berada di kompleks industri Pulogadung akan dipindahkan ke kawasan yang luasnya 410 hektar ini. Pemerintah Jakarta, menurut Wakil Ketua Bappeda Tb. Mohamad Rais, telah menyediakan dana Rp 200 juta dalam tahun anggaran 1985/1986 ini bagi penyelamatan Marunda. Apakah dengan begitu tanggul penahan abrasi akan segera dibangun? Ternyata, tidak. Dana tersebut adalah untuk biaya pertama serangkaian langkah penyelamatan, yakni untuk penelitian Dinas PU DKI Jakarta yang bekerja sama dengan UGM. Tim ini diharapkan bisa memulai penelitiannya bulan depan. Penanganan Marunda, kata Syamsu Romli, Kepala PU DKI Jakarta, pada Yusroni Henridewanto dari TEMPO, cukup kompleks karena menyangkut banyak faktor, seperti besarnya ombak dan kemiringan pantai. Sejauh ini besarnya abrasi juga belum diketahui. "Kita tunggu laporan dari tim," kata Syamsu. Beberapa langkah alternatif sudah dipikirkan instansinya. Misalnya memasang pancang bambu, atau bahkan memindahkan bangunan bersejarah di daerah tersebut. Rencana pemindahan masjid Al Alam pernah ditolak penduduk. Alasan mereka: kalau dibangun masjid baru, yang membuat 'kan manusia. Padahal, mereka percaya Al Alam dibangun oleh Faletehan hanya dalam waktu satu malam dengan bantuan jin. Banyak yang beranggapan bahwa Al Alam sama keramatnya dengan masjid Demak di pantai utara Jawa Tengah. Apalagi Faletehan adalah menantu Sultan Demak. Lalu, apakah masjid Al Alam tidak akan lenyap? Soalnya, penelitian untuk penyelamatan itu sendiri akan memakan waktu paling tidak dua tahun, sedang pengikisan laut berjalan begitu cepat. Seorang ahli kelautan dari Inggris, Clifford D. Hall, yang secara singkat pernah meneliti Marunda, mengatakan, secara fisik efek erosi di pantai ini sebenarnya tidak terlalu berat, karena kekuatan arus dan tinggi gelombang tidak begitu besar. Menurut dia, pendekatan seharusnya dilakukan secara alamiah dengan mempelajari sifat-sifat laut itu sendiri. Kekuatan arus, misalnya, tidak efisien bila dilayani secara frontal dengan membangun tembok. Yang lebih efektif adalah dengan memecah energi gelombang sedemikian rupa, hingga tinggal sisanya yang lebih lemah yang bisa ditahan dengan bangunan yang lebih lunak. Erosi besar-besaran, menurut Hall, karena yang tergerus bagian bawah, hingga lama-kelamaan tanah bagian atas akan ambrol. Ini bisa ditanggulangi dengan batu-batuan dan pembangunan lereng-lereng guna penahan empasan ombak. Namun, semuanya itu masih rencana, yang entah kapan dilaksanakan. Sementara itu, arus dan ombak setiap hari terus menggerus serta menggigit Marunda. Abdillah, tampaknya, masih harus terus memunguti tulang-tulang yang berserakan. Mungkin sampai rumahnya sendiri digusur laut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus