Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Nurcholish yang menarik gerbong

Wawancara tempo dengan nurcholish madjid, salah satu pembaru islam di indonesia, mengenai soal negara islam, partai islam, figur abdurrahman wahid, syiar islam di indonesia, grup sempalan, dst. (ag)

14 Juni 1986 | 00.00 WIB

Nurcholish yang menarik gerbong
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
RUMAH berukuran 122 m2 itu tergolong sederhana. Pekarangannya berukuran 600 m2. Terletak di bilangan Tanah Kusir, Kebayoran Lama, rumah itu berjarak jauh dari keramaian kota. Di sanalah Dr. Haji Nurcholish Madjid, 47, bersama istri dan dua anaknya berdiam. Tapi, kalau penghuni rumah yang baru dua tahun balik dari Chicago itu berharap punya banyak privacy, lantaran letak rumah mereka yang terpencil, mereka boleh kecewa. Tamu yang datang untuk menyampaikan undangan ceramah, atau sekadar ingin kenal, datang tidak henti-hentinya. Nurcholish, sarjana Sastra Arab lulusan IAIN, Jakarta, yang kemudian mengambil gelar Ph.D. pada Universitas Chicago tidak kehilangan akal. "Dengan bantuan teman-teman saya pasang telepon," katanya. Apa malah tidak makin terganggu? Ternyata, tidak. Sebab, kini semua urusan harus dengan perjanjian, dan perjanjian sebaiknya lewat telepon, agar para tamu tidak main selonong saja. "Kapan lagi saya punya waktu untuk baca?" katanya. Kesibukan Nurcholish sejak datang dari Chicago sebaiknya tidak dibaca sebagai kesibukan Nurcholish sebagai Nurcholish. Ini cuma tanda dari sesuatu yang lebih penting, sesuatu yang lebih menarik, sesuatu yang sedang berubah, sesuatu yang mungkin akan mempengaruhi hidup sejumlah besar orang di negeri ini. Jika pembicaraan sudah tiba di sini, orang tentu akan mengerti bahwa yang dimaksud adalah keterlibatan Nurcholish dalam kegiatan pembaruan pemikiran Islam, yang dilancarkannya sejak 1970. Berikut ini cerita Nurcholish, tentang awal kegiatan penting itu: Tahun 1970 itu memang tahun penting. Anak-anak dari keluarga Islam, yang baru setelah Indonesia merdeka mendapatkan kesempatan sekolah, pada tahun itu sudah jadi sarjana. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik sejumlah anak-anak dari keluarga Islam menjadi sarjana. Orang-orang terdidik ini menuntut banyak dari Islam. Dan, muncullah kekecewaan demi kekecewaan terhadap orang-orang tua. Mereka kemudian tiba pada kesimpulan bahwa harus mencari terobosan sendiri. Waktu itu, saya sebagai ketua HMI, dan Utomo Dananjaya menjadi ketua Pll. Sebelum kegiatan tahun 1970 itu dimulai, saya kebetulan mendapat undangan ke Amerika. Selama perjalanan saya berusaha menabung uang saku, yang kemudian saya pakai membiayai perjalanan ke negara-negara Islam di Timur Tengah dan Pakistan. Tentu yang saya amati dalam perjalanan ini tidak langsung saya cerna. Tapi di kemudian hari amat berpengaruh pada pikiran-pikiran saya. Yang meninggalkan kesan mendalam ialah Arab Saudi, yang oleh orang Wahabi telah dibersihkan dari khurafat. Tidak ada yang sakral di sana, kecuali Allah. MENJELANG 1970, terutama sejak 1966, diskusi tentang perlunya pembaruan dalam pemikiran Islam melanda semua kelompok terpelajar Islam di Indonesia. Di samping itu, ada pula usaha, saya ikut di sana, untuk merehabilitir Partai Masyumi. Usaha terakhir gagal. Tapi kegiatan diskusi makin gencar. Pidato saya pada tahun 1970 itu lahir dari kerja sama beberapa ormas Islam, yang dipelopori oleh Utomo. (Utomo Dananjaya, 50 tahun, berasal dari Kuningan, Jawa Barat. Inilah orang yang terus-menerus terpilih dalam kepemimpinan PII, sejak 1964 hingga 1972. Utomo mengalami masa buruk hubungan antara HMI dan PII. "HMI waktu itu menerima Manipol/Usdek, PII menolak," kata Utomo mengingatkan pangkal hubungan buruk itu. Tapi, sejak 1969, kesadaran yang melanda para terpelajar Islam juga tidak menghindari PII, dan Utomo memang melakukan pendekatan. Yang diingat dengan baik oleh Utomo tentang masa-masa awal perkenalannya dengan Nurcholish adalah bahwa "Nurcholish pintar merumuskan pikiran-pikiran kita." Selain itu, Nurcholish juga ahli dalam bidang agama. Tentu saja. Ia lulusan Pondok Gontor, kemudian sarjana dari IAIN. Dengan penguasaan bahasa Arab, Inggris, Prancis, serta Persia secara pasif, sumber-sumber ilmu keislaman dari Barat atau Timur terbuka lebar baginya. Berubahkah Nurcholish setelah belajar tujuh tahun di Chicago? "Tidak," kata Utomo. Ia melihat teman lamanya itu malah makin matang makin dewasa, dan makin yakin akan usaha-usaha dan pikiran-pikirannya.) Tapi, apakah Nurcholish merasa berubah setelah menjadi doktor dalam kajian Islam? Saya makin tua enam belas tahun, tapi dari segi pemikiran saya makin yakin akan apa yang saya katakan dulu. Ya, tentu saja kita harus memperlunak penyampaiannya. Misalnya, penggunaan istilah sekularisme. Istilah itu saya ambil dari ahli sosiologi terkenal Robert N. Bella. Tapi orang lebih melihatnya dalam konteks sejarah Eropa. Yang saya maksudkan dengan itu sebenarnya adalah bahwa tidak ada yang sakral, kecuali Allah. Desakralisasi, itulah yang saya maksud dengan sekularisasi. Nah, partai Islam itu tidak sakral, karena itu salah argumen yang mengatakan bahwa kalau tidak mencoblos partai Islam dalam pemilu, maka kita bukan Islam. Karena itu, saya dulu berseru, "Islam, Yes. Partai Islam, No." Bagaimana dengan soal negara Islam, yang waktu itu masih topik kontroversial? Soal itu sudah dibicarakan dalam HMI sejak zaman Dachlan Ranuwihardjo menyelenggarakan diskusi tentang hal tersebut di UI, menjelang Pemilu 1955. Dan, pimpinan HMI, waktu itu, memilih bukan negara Islam, tapi negara nasional. Bagaimana Anda sampai pada pemikiran menolak partai Islam dan negara Islam? Saya menemukan pemikiran saya sendiri setelah saya kenal HMI. Lewat training yang melibatkan Dachlan Ranuwihardjo, Mar'ie Muhammad, dan lain-lainnya, saya mendapat banyak. Pada masa di HMI itulah, terutama dalam periode Orde Lama, ketika kita terpaksa merumuskan diri kita, saya menyusun sebuah naskah yang berjudul Dasar-Dasar Islamisme. Ini semacam usaha mengimbangi pegangan dasar yang dimiliki CGMI (ormas mahasiswa yang bernaung di bawah PKI - Red.) waktu itu. Tapi, dalam naskah itu, dan naskah berikutnya, Nilai Dasar Perjuangan, masalah negara Islam belum lagi dibicarakan. Soal itu baru menggoda saya dengan hebat setelah kunjungan saya ke Arab Saudi dan Pakistan pada 1968. Dengan latar belakang persoalan dan perdebatan di tanah air, saya ingin lihat bagaimana negara Islam itu dalam praktek. Sangat mengecewakan. Orang-orang terkemuka di Arab Saudi lebih senang memasukkan anak-anak mereka di universitas yang tidak Islam. Sementara universitas yang mengkaji Islam, seperti Universitas Madinah, masih amat terkebelakang. Di sana waktu itu, koran, radio, dan potret masih diharamkan. Kritik Anda terhadap ide negara Islam dan penolakan Anda terhadap partai Islam, dulu maupun sekarang, adalah tindak keberanian. Tidak banyak orang yang berani berbeda pendapat dengan umat. Bagaimana Anda menjelaskan sikap ini? Kalau kita pemimpin, atau mau jadi pemimpin, kita harus seperti lokomotif. Bagian dari kereta api, tapi tidak ditarik oleh gerbong-gerbong yang banyak. Lokomotiflah yang harus menarik gerbong-gerbong. Pemimpin harus menarik umat ke arah yang lebih baik. Sekarang ini jelas keadaannya jauh lebih baik dari masa lalu. Ya, itu tadi, angkatan demi angkatan anak-anak dari keluarga Islam terus datang dari berbagai kampus dan sekolah. Umat Islam sekarang jauh lebih maju dari umat di tahun 1970. Dan makin kecillah jumlah mereka yang menolak apa yang saya dan teman-teman lontarkan sejak 1970 itu. Keterbukaan di kalangan umat sekarang ini jauh lebih besar dibandingkan dulu. Abdurrahman Wahid, tokoh Nahdatul Ulama itu, kini dinilai banyak orang sebagai jauh lebih berani dari Anda dan teman-teman Anda. Apakah bisa pula dikatakan bahwa Abdurrahman bisa muncul setelah Anda dan teman-teman Anda melancarkan terobosan di tahun 1970 ? Sulit menjawab pertanyaan ini. Tapi kami memang mendukung Abdurrahman Wahid. Karena itu, pada Muktamar NU di Situbondo, kami datang dengan kesiapan menjadi sandaran bagi Abdurrahman. Tapi, fenomena Abdurrahman di dalam NU ini tidak bisa dilepaskan dari kultur NU, yang masih menilai tinggi hubungan darah antara Abdurrahman dan pendiri NU, Hadaratuh Syaih Hasyim Asy'ari. Ditambah lagi oleh faktor Abdurrahman sebagai putra Wahid Hasyim, orang paling dicintai dalam NU. Kalau orang seperti saya melakukan pembaruan dalam NU, besar kemungkinan tidak berhasil. Jadi, banyak faktor pribadi yang menguntungkan Abdurrahman Wahid. (Di Hotel Mandarin, Jakarta, di ruangan yang sejuk di lantai empat, sejumlah orang dengan khusyuk melaksanakan sembahyang tarawih. Apakah masjid dan surau-surau sudah penuh? Pertanyaan ini penting, sebab tahun-tahun terakhir ini jumlah langgar, musala, dan masjid yang dibangun berbagai pihak - terutama pemerintah - makin banyak. Masjid, langgar, dan musala mungkin saja belum semuanya penuh, tapi sembahyang tarawih di Hotel Mandarin tampaknya meladeni kelompok tertentu. Dan, Nurcholish adalah salah seorang penceramah pada salah satu malam di sana.) Apakah makin meluasnya syiar Islam di Indonesia, antara lain karena gerakan pembaruan itu? Saya ingin sekali mengakui itu hasil kami. Tapi, yang jelas, siapa pun sekarang ini bebas mengekspresikan keislamannya tanpa harus takut dituduh Ikut partai tertentu atau bekas partai tertentu. Itu memang usaha kami, yakni menjadikan Islam bukan cuma milik golongan tertentu, yang kelihatan keislamannya karena menaikkan bendera golongan Islam. Grup-grup sempalan yang sering terpaksa menggunakan kekerasan, apakah mereka sisa-sisa dari kelompok yang mempertahankan usaha Anda? Begini, Republik Indonesia ini adalah satu negara yang penduduknya mayoritas Islam. Dalam hal demikian secara statistik saja, banyak kejadian, baik atau buruk, dilakukan oleh orang yang beragama Islam. Apakah gerakan mereka itu sesuai dengan ajaran agamanya, itu soal lain. Di negeri yang penduduknya mayoritas Katolik, grup sempalannya juga ya, Katolik. Lihat saja di Filipina, misalnya, di sana ada pastor Katolik yang ikut angkat senjata melawan pemerintah. Di Korea Selatan, pendeta juga ikut angkat suara. Sedangkan di Amerika Latin kita kenal adanya teologi pembebasan. JADI, kalau ada istilah ekstrem kanan jangan lantas menuduh Islam. Sebab, Islam sama sekali tidak ekstrem. Tapi, harus juga disadari bahwa Islam adalah agama yang paling jelas mengajarkan pengikutnya untuk menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agamanya: selain nahi mungkar, ada juga amar ma'ruf, berbuat baik. Ingin saya tambahkan bahwa sikap seperti itu harus juga dilihat dalam perspektif sejarah. Orang Islam itu pada zaman penjajahan selalu memainkan peranan besar dalam perang melawan penjajah. Jadi, mereka terbiasa melihat pemerintah pusat sebagai musuh. Sisa-sisa dari sikap lama itu tentu akan berangsur-angsur hilang juga nantinya. Sebagai orang yang sejak enam belas tahun silam melihat tidak wajibnya ada partai Islam, bagaimana pendapat Anda tentang Pancasila sebagai asas tunggal? Sudah lama saya mengajukan argumen-argumen bahwa Pancasila itu adalah titik pertemuan kita untuk bangsa secara bersama. Mula-mula, saya agak ragu dengan asas tunggal. Sebab, saya konsisten dengan pikiran-pikiran yang lahir setelah tumbangnya Orla bahwa kita ingin dan harus membangun suatu masyarakat terbuka. Tapi, perkembangan menunjukkan, berkat usaha-usaha MAWI, DGI, serta orang-orang seperti Lukman Harun, yang menentang ide permulaan asas tunggal yang bisa membawa kita ke sistem monolitik, akhirnya asas tunggal itu tetap membuka kemungkinan yang besar untuk suatu sistem yang tidak monolitik. Orang Islam masih bisa bergiat dalam NU, Muhammadiyah, Al Washilyah, dan lain-lain. Orang Katolik masih punya MAWI. Orang Kristen masih punya PGI. Dengan demikian, masalah krisis identitas golongan ataupun agama tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Semua golongan yang telah bersepakat menerima asas tunggal ini masih tetap bisa bergiat, bahkan melakukan lobi untuk kepentingan-kepentingan khusus mereka. Setelah Anda menolak gagasan negara Islam, bagaimanakah gambaran masyarakat Indonesia yang Anda inginkan? Yaitu masyarakat yang dijiwai oleh iman, yang, menurut Pancasila itu, berketuhanan yang Maha Esa dan dituntun oleh ilmu-ilmu pengetahuan. Masyarakat yang demikian akan menjadi masyarakat yang dinamis. Artinya, selalu mampu berbuat lebih baik hari ini daripada kemarin. Dalam masyarakat Indonesia yang demikian, pemeluk agama Islam yang mayoritas, yang karena watak Islam yang aktivis, akan memberikan kontribusi sebesar-besarnya. Kontribusi itu tidak dalam term yang eksklusifistik melainkan inklusifistik. Salim Said & Musthafa Helmy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus