IKAN dan udang kini menghilang dari Sungai Kapias dan Sungai Son Guan. Hewan peliharaan tewas setelah meminum airnya. Penduduk sepanjang tepi sungai itu pun terserang gatalgatal. Ada apa? Selama ini, kedua sungai itu merupakan urat nadi kehidupan bagi penduduk. Mereka biasa mandi, mencuci, dan mengambil air minum di sana. Tapi sekarang, air Kapias dan Son Guan berbau apak serta lengket di kain. Sabun yang biasanya berbusa, di saat mencuci, kini tak berbusa sama sekali. "Jangankan diminum, untuk mencuci pun sulit," keluh Jusmiati, penduduk kelurahan Sumbersari, yang dialiri sungai tersebut. Di kawasan itu, bermukim 1.800 kepala keluarga dengan 6.000 jiwa. Ratarata terserang penyakit kulit. Seorang warga memperlihatkan kedua tangannya yang penuh kurap. "Yang kasihan anak-anak. Banyak di antara mereka menderita gatal-gatal," tutur Jusmiati. Penduduk menaruh syak kepada PT Kilang Bangun. Perusahaan ini terletak di Sumbersari, tak jauh dari titik temu antara Sungai Kapias dan Son Guan. Ia beroperasi sejak tahun 1962 dan merupakan satu-satunya pabrik di Kecamatan Tualangraso, Kodya Tanjungbalai, Sumatera Utara. Kilang Bangun memproduksi minyak goreng kelapa sawit, sabun cuci, dan karnel. Sebagian limbahnya ditumpahkan ke Sungai Son Guan melalui sebuah kanal, sebagian lagi mengalir di dasar Sungai Kapias lewat pipa sebesar batang kelapa. "Limbah yang dibuang biasanya masih panas," gerutu Hamdan, yang bermukim di tepi ujung kanal. Tak heran bila sesekali terlihat bebek menggelepar, lalu mati ketika berenang di atas limbah yang mengambang -- karena mengandung minyak. Pada akhir Februari lalu, kekesalan penduduk meletus. Diperkuat puluhan pemuda, sekitar 200 kaum ibu menggedor pintu gerbang Kilang Bangun. Banyak ibu menggendong bayi, sementara yang lain mengarak sejumlah poster, di antaranya berbunyi "Bayi kami butuh air bersih". Mereka juga minta supaya pencemaran dihentikan. Hasilnya lumayan. Phok Tuan, Direktur Kilang Bangun, berjanji membangun tiga bak besar yang akan diisi air bersih dari sumur bor milik pabrik. Akhir Maret berselang, bak-bak mulai dibangun. Sebenarnya, protes itu bukanlah yang pertama. Enam tahun silam (1984), penduduk pernah meminta agar Kilang Bangun mengatur pembuangan limbahnya. Setelah bermusyawarah, ditemukan jalan tengah. Penduduk membolehkan Kilang membuang limbah, asal jadwalnya tetap, yakni setelah salat magrib. Sebelum atau jauh sesudah magrib, giliran penduduk yang turun ke sungai. Kilang pun wajib membuat sumur bor untuk menyediakan air bersih bagi penduduk ketika pabrik sedang membuang kotoran. Namun, sejak dua tahun lalu, sumur bor rusak. Penduduk kembali menggantungkan diri pada sungai. Dua tahun mereka menunggu Kilang memperbaiki sumur bor. Selama itu pula mereka berkejaran dengan magrib, turun ke sungai sebelum atau sesudah Kilang menyetor limbahnya. Sejak Februari lalu, Kilang membuang limbahnya sepanjang waktu, tak kenal siang dan malam. Padahal, sumur bor masih rusak. Akhirnya, penduduk melakukan unjuk rasa. Saat itu, Phok Tuan, Direktur Kilang Bangun, mengakui belum dapat memperbaiki sumur bor. Alasannya, keuangan perusahaan sedang payah. Tapi ia menyangkal jika pabriknya dituduh mencemari sungai. "Limbah kami tidak kotor. Paling-paling cuma air ketel uap untuk memasak minyak goreng," katanya. Ia memastikan air limbah itu bebas dari minyak dan bau. Katanya, dalam proses pengolahan minyak goreng, ada sistem untuk memisahkan kandungan minyak dan kandungan air. Dengan demikian, air limbah yang dibuang ke sungai tidak mengandung minyak. Baunya pun telah dilenyapkan dengan zat asam lemak bebas. Itu sebabnya Kilang tak membuat unit pengolah limbah (UPL) -- hal yang wajib dibuat oleh pabrik di tepian sungai. Awal Maret lalu, Komisi D DPRD Tanjungbalai meninjau Tualangraso. Berdasar hasil pemeriksaan Balai Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kanwil Perindustrian Sumatera Utara, DPRD melihat sungai tempat Kilang membuang limbah memang sudah tercemar. Dalam hasil pemeriksaan BPPI bertanggal 22 Oktober 1991 itu dipersoalkan kadar minyak dan lemak dalam air sungai yang mencapai 89 miligram/liter, sementara kadar hidrogen sulfidanya 1,02 miligram/liter. Menurut Ketua Komisi D, Harismah Hasnan, kadar minyak dan lemak itu terlalu tinggi, jauh di atas ambang batas yang ditentukan Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, yakni 30 mg/l. Begitu pula kadar hidrogen sulfida. Ambang batasnya adalah 1 mg/l (limbah Kilang Bangun mencapai 1,02 mg/l). "Dengan melihat dua parameter ini saja, kita dapat mengatakan air Kapias dan Son Guan dalam kondisi mencemaskan," ujar Harismah. Seminggu setelah protes, Pemda Sumatera Utara menyurati Kilang supaya segera membuat UPL. "Penyelesaian masalah limbah sungai tidak cukup dengan hanya menyediakan air bersih buat penduduk," ujar Endam Tarigan, Sekretaris Subtim Pengendalian Pencemaran Sungai Sumatera Utara. Kasus di Kecamatan Tualangraso itu sebenarnya hanya satu dari sejumlah pencemaran sungai di Sumatera Utara. Menurut laporan tim pelaksana Program Kali Bersih (Prokasih), di sana ada empat sungai yang tercemar, yaitu Sungai Asahan, Deli, Semayang, dan Merbau. Keempat sungai itu menampung limbah paling tidak dari 30 pabrik. Tapi, hanya 12 pabrik yang betul-betul memiliki UPL kategori baik. Pabrik dengan UPL sederhana 12, dan 6 sisanya sama sekali belum memiliki UPL. Selain itu, ada 19 pabrik pengolah ikan asin dan terasi yang menyebar limbah ke Sungai Asahan. Padahal, penduduk mengambil air minum, mencuci, dan mandi di sana. Tentang ini, Harismah Hasnan hanya dapat berkata, "Sungguh memprihatinkan." Priyono B. Sumbogo (Jakarta) dan Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini