DALAM perkara megaproyek, kalau Menko Ekuin Radius Prawiro sudah bilang setuju, maka lancarlah urusannya. Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Tanjungpriok adalah contoh yang tepat. Proyek ini sempat menjadi biang keributan nasional, bahkan DPR minta agar proyek ini ditender ulang. Sebabnya tak lain karena keunggulan Asea Brown Boveri (ABB) Swiss, Marubeni, dan PT Abdi Bangun Buana (Murdaya Group, yang jadi tangan ABB di Indonesia) sebagai pemenang dianggap meragukan. Kini, semua beres. Rabu pagi pekan silam, kontrak kerjanya ditandatangani di kantor PLN Pusat, Jakarta. Dengan demikian, surat Secretary of Commerce AS, Barbara Franklin (bertanggal 2 Maret) kepada Dubes AS di Jakarta, John Monjo, agaknya hanya akan menghiasi arsip kedutaan. Dalam surat itu terselip pesan, agar Monjo kembali mendekati Menko Ekuin Radius Prawiro, -- tentu untuk urusan PLTGU Priok. Surat itu ada kaitannya dengan kepentingan General Electric, perusahaan AS yang kalah dalam tender. Sebagai rasa syukur atas keberhasilan mitranya, bos ABB Indonesia, Murdaya Widyawimarta, Rabu malam mengadakan pesta di Grand Hyatt Hotel Jakarta. Hal ini wajar-wajar saja untuk sebuah PLTGU bernilai tak kurang dari US$ 683 juta dan berkapasitas 1.180 megawat. Kabarnya, harga proyek lebih murah US$ 10 juta dibandingkan harga saat menang tender. Sedangkan komponen lokalnya, yang minimal harus 25%, juga sudah terpenuhi, karena kini sudah menjadi 26,8%. Manajer Abdi Bangun Buana, Ekajanto Supatra, menyatakan, dulu penawaran diserahkan tergesa-gesa sehingga kurang dapat mengoptimalkan kandungan lokalnya. Kandungan lokal itu -- setelah penawaran diperbaiki -- ternyata bisa berupa minyak, tatakan kabel, panel listrik, elevator, pekerjaan sipil, batu, dan semen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini