Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAJAH dengan gajah bertempur, pelanduk tak mati di tengah-tengah. Yang terjadi malah iring-iringan gajah. Ini bukan peribahasa, tapi kejadian sebenarnya dalam proses pemindahan gajah dari hutan Kenawai dan Pamanisan, Riau. Gajah-gajah ini senasib dengan 12 ribu penduduk dari delapan desa di kawasan yang sama. Mereka telah lebih dulu tergusur, karena pembangunan waduk raksasa PLTA Kotopanjang sudah dikerjakan sejak tahun lalu. Sebegitu jauh prosesnya mulus dan lancar mungkin karena dalam hal ganti rugi, aspirasi penduduk diutamakan. Mereka yang merasa ganti ruginya terlalu rendah, dapat mengadu ke DPR dan Kedutaan Jepang di Jakarta. Pihak yang disebut terakhir ini bersedia didatangi, tak lain karena biaya waduk sebesar Rp 600 milyar berasal dari pinjaman lunak yang dikucurkan Overseas Economic Corporation Fund (OECF), Jepang. Adapun kawanan gajah, tentu, tidak begitu beruntung. Hewan besar ini selain tak punya peluang untuk protes, mereka juga bertarung dulu sebelum dipindahkan. Mengapa? Gajah-gajah liar asal Kenawai menolak digiring oleh gajah jinak yang didatangkan dari Pusat Latihan Gajah Duri, Lampung, dan Aceh. Bahkan, ada tujuh pawang, seorang penembak bius dan juru kamera video yang ikut berperan dalam pemindahan itu. Singkatnya, raja kawanan gajah liar sempat dihadang secara ketat oleh dua ekor gajah jinak. Sang raja yang berbadan kekar tak mudah ditundukkan. Perlawanannya baru terpatahkan setelah peluru pembius menembus punggungnya. Dalam keadaan itulah, rantai-rantai besi dililitkan ke leher dan ke dua kaki belakangnya. Selang beberapa menit, ia pun digiring. Berawal dari hutan Kenawai, gajah jinak yang terbesar segera menarik si gajah liar, sementara dua ekor gajah jinak yang lain mengiring dari belakang. Rombongan hewan berbadan besar ini setapak demi setapak melangkah keluar hutan. Diperlukan waktu dua jam sebelum mereka mencapai jalan kecil milik pengusaha HPH. Di sana, sebuah truk sudah menunggu untuk membawa pemimpin gajah liar ke tempat tinggalnya yang baru di hutan margasatwa Giam Siak Kecil, sekitar 240 kilometer dari Kenawai. Kini, gajah liar, yang oleh penduduk diberi julukan "Datuk Gadang", itu sudah bercampur dengan 50 ekor rekannya. Mereka menghuni hutan margasatwa yang luasnya tak kurang dari 50 ribu hektare. Di sini, sang Datuk yang diperkirakan berusia 15 tahun, tampak tak lagi berbahaya, mungkin karena gadingnya sudah dipotong. Kendati pola pemindahan populasi gajah kali ini agak bertele-tele, tapi pola tersebut akan terus dipakai. Diperkirakan, ada 30 ekor gajah yang masih harus dihijrahkan berdasarkan hasil sensus PLN Proyek Induk Pembangkit & Jaringan Sum-Bar-Riau, Oktober 1991. Pemindahan dengan cara ini dianggap lebih mudah dilaksanakan daripada penggiringan gajah seperti yang dilakukan pada Operasi Ganesha, sembilan tahun lalu di Lampung. Waktu itu, sekitar 170 ekor gajah liar digiring tentara dan transmigran menempuh jarak lebih dari 50 kilometer dari Air Sugihan ke Lebong Hitam. Pemindahan dari hutan Kenawai menempuh jarak lima kali lebih panjang dari pemindahan Operasi Ganesha. Atas dasar itu, pihak Kehutanan mencoba pola pemindahan yang baru. Sebenarnya, pola ini sudah diterapkan ketika menggiring 17 ekor gajah dari Lhok Asan (Aceh) ke Aras Napal (Sumatera Utara), Juli 1990. Bedanya, gajah-gajah asal Aceh sudah tak liar lagi karena telah "mengenyam bangku sekolah" di Pusat Latihan Gajah. Walau masa belajarnya hanya tiga bulan, mamalia ini berhasil dijinakkan dan tanpa kesulitan berarti, gajah itu dapat digiring ke habitat baru. Berbeda dengan gajahgajah Kotopanjang yang memang tidak kenal sekolah. Mereka memang dibiarkan tetap liar. Menurut Marpur Wasuka, Kepala SubBalai Konservasi Sumber Daya Alam Kanwil Kehutanan Riau, hal itu sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara pimpinan proyek PLTA dan pihak OECP Jepang. Perjanjian ini bukan tak mengandung risiko. Hingga kini, baru sang Datuk, satu-satunya yang berhasil dipindahkan, sementara kawanannya terpencar di kawasan hutan berbukit-bukit seluas lebih dari 120 hektare. Upaya pemblokiran jelas tidak gampang. Semula ada usul untuk menghalau mereka dengan helikopter. Namun, kemudian dikhawatirkan bahwa suara helikopter malah akan membuat gajah-gajah semakin liar dan dapat terjatuh ke jurang. Selain itu, pemakaian heli bisa mendongkrak biaya yang ditargetkan Rp 300 juta -- sepuluh juta rupiah untuk setiap ekor gajah. Satu-satunya jalan adalah mendatangi tempat makan gajah liar itu. Dan ini tak mudah, karena fisik gajah liar lebih kuat dari gajah jinak yang dijadikan tunggangan. Walaupun sulit, tim pemindah gajah optimis proyek ini bisa selesai dalam waktu setahun sampai Januari depan. Proyek ini memang harus cepat selesai karena pembangunan waduk terus berjalan dan hutan tempat gajahgajah mencari makan di Muara Sungaitakus dan kaki Bukit Saligi akan terendam di dasar waduk. Tuntutan pembangunan semakin meningkat sehingga bukan mustahil sekali waktu tak lagi tersisa areal hutan yang memadai untuk populasi gajah liar. Kemungkinan ini sebaiknya ikut dipertimbangkan, terutama bagi provinsi yang besar potensi alamnya. Sebelum 4.000 6.000 ekor gajah sumatera menjadi kian terdesak, alangkah baiknya bila pemerintah menyusun strategi pembangunan yang ikut memperhitungkan dimensi pelestarian satwa. Pembangunan tentu perlu, tapi ekosistem tak seharusnya dikorbankan untuk itu. Diah Purnomowati dan Fachrul Rasyid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo