Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Monyet ekor panjang berada di ambang kepunahan. Status konservasi primata dengan nama latin Macaca fascicularis itu memburuk, dari rentan atau vulnerable menjadi terancam punah (endangered).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan status ini tertuang dalam laporan terbaru Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) yang didapat dari asesmen mereka pada Maret lalu. Pemantauan atas habitat monyet ekor panjang berlangsung di sejumlah negara di Asia Tenggara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IUCN menyatakan populasi monyet ekor panjang terus turun. Di Kamboja, misalnya, jumlah monyet kra turun 50 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Di Suaka Margasatwa Keo Seima di Kamboja, kepadatan populasinya hanya 0,83 ekor per kilometer persegi. Di seantero Laos, diprediksi hanya ada 300-500 ekor kera ekor panjang. Sedangkan di Bangladesh, primata jenis itu sudah dinyatakan punah.
Penyebab terancamnya spesies ini, IUCN melanjutkan, adalah tingginya perdagangan monyet ekor panjang untuk penelitian biomedis. Penyebab lain adalah pemusnahan sebagai dampak perebutan lahan dengan manusia. Jika tidak ditangani secara cepat, IUCN memprediksi ancaman kepunahan meningkat hingga melampaui 50 persen selama tiga generasi mendatang.
Monyet ekor panjang dikhawatirkan akan mengikuti jejak merpati penumpang (Ectopistes migratorius). Saat bangsa Eropa mulai menempati Amerika Utara pada abad XV, terdapat sekitar 5 miliar merpati penumpang di sana. Burung itu didapati di hampir setiap sudut Amerika Utara. Namun hancurnya habitat dan faktor perburuan membuat burung tersebut punah pada awal abad XX.
Kera yang menghuni kawasan Tawangmangu di Karanganyar, Jawa Tengah. Tempo/Bram Selo
Ahli primata dan ketua komunitas konservasi primata SwaraOwa, Arif Setiawan, mengatakan ancaman terbesar bagi monyet ekor panjang adalah kehancuran habitat akibat konflik lahan dengan manusia. “Biasanya akibat pertanian atau perkebunan,” kata Wawan—panggilannya—kepada Tempo pada akhir pekan lalu.
Sama seperti merpati penumpang di Amerika Serikat pada abad XVIII, monyet ekor panjang dianggap tidak akan habis dari Indonesia. Sebab, primata jenis itu mudah didapati di mana-mana. Adapun data soal jumlah kera jenis ini sangat minim. Padahal, Wawan melanjutkan, ancaman kepunahan terus membayangi monyet ekor panjang. “Laporan IUCN ini menjadi peringatan untuk mengkaji lebih detail tentang spesies yang kita punya,” ujarnya.
Wawan mengajak komunitas peneliti mengkaji populasi monyet ekor panjang di Indonesia. Dengan data yang lengkap, pemerintah dapat mengeluarkan peraturan untuk melindungi spesies tersebut dari kepunahan. Saat ini, dia melanjutkan, belum ada regulasi soal monyet ekor panjang. "Sehingga perdagangan dan pemeliharaannya belum bisa dikendalikan," kata Wawan.
#Info Lingkungan 6.1.1-Monyet Ekor Panjang dalam Angka
Dari kalangan peneliti, Ibnu Maryanto—dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)—meyakini penurunan populasi monyet ekor panjang di Indonesia umumnya hanya berlangsung di Jawa. Penyebabnya adalah pembukaan lahan besar-besaran yang mengusir kera tersebut dari rumahnya. “Di luar Jawa, tidak,” ujar dia.
Menurut Ibnu, laporan IUCN cenderung menyamaratakan kondisi monyet ekor panjang dengan hanya melihat situasi di Kamboja, Laos, dan lainnya. Sebaliknya, Indonesia tak masuk asesmen. "Padahal monyet ekor panjang di negara kita luar biasa jumlahnya," kata Ibnu.
Ibnu meminta kalangan pencinta satwa tidak khawatir akan penurunan status monyet ekor panjang menjadi terancam punah (endangered). “Asal beberapa di antaranya kita budidayakan,” kata Ibnu. Dengan demikian, dia menilai belum ada urgensi untuk menetapkan monyet ekor panjang sebagai satwa yang dilindungi.
ANGGI ROPININTA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo