Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Nasib Banteng Menunggu Hujan

Akibat kemarau yang panjang, banteng-banteng dan binatang lainnya di cagar alam pananjung, pengandaran, kelaparan dan kehausan. 5 ekor banteng liar mati. (ling)

18 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMPUTNYA sudah tidak lagi berwarna hijau. Tanda kekeringan tampak. Daun-daunan berdebu. Dari menara pengamat (setinggi 80 m), biasanya kelompok banteng liar dapat dilihat. Tapi akhir-akhir ini binatang itu menghilang, jarang merumput di situ. Dari padang penggembalaan, yang biasanya jadi obyek pariwisata, beberapa ekor yang masih melintas sesekali kelihatan kurus. Bahkan sudah ada yang mati--sedikitnya lima ekor sejak pertengahan November. Jika hujan masih tetap enggan turun, menurut para petugas Cagar Alam Pananjung, Pangandaran, dikhawatirkan akan lebih banyak lagi banteng mati. Cagar alam itu di Kabupaten Ciamis, bagian selatan Jawa Barat, menjadi tempat pembiakan banteng liar sejak zaman Hindia Belanda. Residen J. Eyckman konon memulainya tahun 1922. Sengaja dalam kawasan huun seluas 530 ha itu dulu dibikin padang rumput (kini seluruhnya bersisa 30 ha saja) supaya banteng bisa hidup. Dari sensus Januari 1980 di sana diketahui ada 57 ekor, termasuk sepasang banteng kiriman dari Ragunan, kebun binatang di Jakarta. Selain. memakan rumput, banteng Pananjung juga melahap daun-daunan beberapa Jenis pohon tertentu. Sedang pepohonan di situ tidak berpucuk lagi. Pucuk daun itu justru sangat digemari banteng. Lima ekor yang mati itu berada di padang rumput yang mudah dilihat petugas dari menara udi. Diduga yang mati melebihi jumlah itu. Bukan binatang pemakan rumput saja yang menderita. Juga kera dan burung tampaknya kelaparan. Sejumlah kera yang jinak masih tertolong oleh makanan yang dibawa pengunjung. Petugas cagar alam itu pernah mencoba menyebarkan rumput segar dan jerami yang sudah direndam dengan garam. "Usaha ini tidak banyak artinya," keluh seorang pekerja di sana. : "Banteng itu seperti tidak punya selera makan." Memang bukanlah kebiasaan banteng untuk mengambil makanan yang disediakan. Pernah pula petugas menyediakan air, sekitar 12 drum, untuk menolong banteng yang kehausan. Ini pun kurang berhasil. Tidak banyak banteng yang masih pergi ke padang penggembalaan untuk meminum air itu. Karena kepanasan, mungkin. Atau tenaganya sudah berkurang. Desember ini, usaha menyebarkan rumput dan menyediakan drum air itu dihentikan sama sekali. "Terus terang ini hanya bersifat coba-coba dalam keadaan mendesak, tapi bertentangan dengan peraturan, sebab bisa mengubah tingkah laku binatang," ujar Sasa Saifuddin Majid, Kepala Sub Seksi Perlindungan SBKPA (Sub Balai Kawasan Pelestarian Alam) Pangandaran. SBKPA Pangandaran konon sudah lama melaporkan keadaan gawat di situ. Atasannya belum sempat memperhatikan apakah yang menyebabkan kematian banteng itu. Tapi kalangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam III di Bogor pekan lalu mereka-reka faktor penyebabnya: Pertama, kekurangan air karena kemarau panjang. Sepuluh sungai kecil di kawasan Cagar Alam Pangandaran sudah kering. Kedua, debu sudah cukup banyak tiba sejak Gunung Galunggung di Kabupaten Tasikmalaya meletus April lalu. Debu itu menimbun rumput dan mengotori daun-daunan. "Mudah-mudahan dalam beberapa hari ini Pangandaran juga kebagian hujan supaya rumput dan dedaunan segar kembali," kata Agus Tabrani, kepala balai di Bogor itu. Kemarau panjang pernah juga menyiksa Pangandaran tahun 1977. "Tidak ada binatang mati kelaparan waktu itu," kata Udin Engkon, karyawan SBKPA lainnya. Sekali ini, sesudah mengalami kekeringan--menurut Saifuddin pula-debu Galunggung bukan hanya mencemari makanan banteng, tapi juga menyakiti mata hewan itu. "Matanya membengkak sehingga sulit melihat makanan di depannya." Anehnya, Banjar--hanya 60 km dari Pangandaran--sudah dua kali diguyur hujan lebat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus