RUMPUTNYA sudah tidak lagi berwarna hijau. Tanda kekeringan
tampak. Daun-daunan berdebu. Dari menara pengamat (setinggi 80
m), biasanya kelompok banteng liar dapat dilihat. Tapi
akhir-akhir ini binatang itu menghilang, jarang merumput di
situ.
Dari padang penggembalaan, yang biasanya jadi obyek pariwisata,
beberapa ekor yang masih melintas sesekali kelihatan kurus.
Bahkan sudah ada yang mati--sedikitnya lima ekor sejak
pertengahan November. Jika hujan masih tetap enggan turun,
menurut para petugas Cagar Alam Pananjung, Pangandaran,
dikhawatirkan akan lebih banyak lagi banteng mati.
Cagar alam itu di Kabupaten Ciamis, bagian selatan Jawa Barat,
menjadi tempat pembiakan banteng liar sejak zaman Hindia
Belanda. Residen J. Eyckman konon memulainya tahun 1922. Sengaja
dalam kawasan huun seluas 530 ha itu dulu dibikin padang rumput
(kini seluruhnya bersisa 30 ha saja) supaya banteng bisa hidup.
Dari sensus Januari 1980 di sana diketahui ada 57 ekor, termasuk
sepasang banteng kiriman dari Ragunan, kebun binatang di
Jakarta.
Selain. memakan rumput, banteng Pananjung juga melahap
daun-daunan beberapa Jenis pohon tertentu. Sedang pepohonan di
situ tidak berpucuk lagi. Pucuk daun itu justru sangat digemari
banteng.
Lima ekor yang mati itu berada di padang rumput yang mudah
dilihat petugas dari menara udi. Diduga yang mati melebihi
jumlah itu.
Bukan binatang pemakan rumput saja yang menderita. Juga kera dan
burung tampaknya kelaparan. Sejumlah kera yang jinak masih
tertolong oleh makanan yang dibawa pengunjung.
Petugas cagar alam itu pernah mencoba menyebarkan rumput segar
dan jerami yang sudah direndam dengan garam. "Usaha ini tidak
banyak artinya," keluh seorang pekerja di sana. : "Banteng itu
seperti tidak punya selera makan." Memang bukanlah kebiasaan
banteng untuk mengambil makanan yang disediakan.
Pernah pula petugas menyediakan air, sekitar 12 drum, untuk
menolong banteng yang kehausan. Ini pun kurang berhasil. Tidak
banyak banteng yang masih pergi ke padang penggembalaan untuk
meminum air itu. Karena kepanasan, mungkin. Atau tenaganya sudah
berkurang.
Desember ini, usaha menyebarkan rumput dan menyediakan drum air
itu dihentikan sama sekali. "Terus terang ini hanya bersifat
coba-coba dalam keadaan mendesak, tapi bertentangan dengan
peraturan, sebab bisa mengubah tingkah laku binatang," ujar Sasa
Saifuddin Majid, Kepala Sub Seksi Perlindungan SBKPA (Sub Balai
Kawasan Pelestarian Alam) Pangandaran.
SBKPA Pangandaran konon sudah lama melaporkan keadaan gawat di
situ. Atasannya belum sempat memperhatikan apakah yang
menyebabkan kematian banteng itu. Tapi kalangan Balai Konservasi
Sumber Daya Alam III di Bogor pekan lalu mereka-reka faktor
penyebabnya:
Pertama, kekurangan air karena kemarau panjang. Sepuluh sungai
kecil di kawasan Cagar Alam Pangandaran sudah kering. Kedua,
debu sudah cukup banyak tiba sejak Gunung Galunggung di
Kabupaten Tasikmalaya meletus April lalu. Debu itu menimbun
rumput dan mengotori daun-daunan. "Mudah-mudahan dalam beberapa
hari ini Pangandaran juga kebagian hujan supaya rumput dan
dedaunan segar kembali," kata Agus Tabrani, kepala balai di
Bogor itu.
Kemarau panjang pernah juga menyiksa Pangandaran tahun 1977.
"Tidak ada binatang mati kelaparan waktu itu," kata Udin Engkon,
karyawan SBKPA lainnya. Sekali ini, sesudah mengalami
kekeringan--menurut Saifuddin pula-debu Galunggung bukan hanya
mencemari makanan banteng, tapi juga menyakiti mata hewan itu.
"Matanya membengkak sehingga sulit melihat makanan di depannya."
Anehnya, Banjar--hanya 60 km dari Pangandaran--sudah dua kali
diguyur hujan lebat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini