ANAK piatu itu tak lagi membolos karena takut bertemu guru yang
menagih uang BP3. Minggu lalu Thalib pun sudah melunasi uang
foto dan pendaftaran THB. Beberapa hari sebelumnya dia sempat
menangis di pangkuan ibunya yang tak mampu membayarkan syarat
ujian akhir itu, Rp 950. "Sekarang saya dapat bantuan Walikota,"
katanya.
Murid kelas 6 SD Soka di Bandung Thalib terpilih jadi "anak
angkat Korpri Pemda Kodya Bandung," suatu gagasan menghimpun bea
siswa untuk mereka yang tidak mampu. "Ini hanya proyek
kecil-kecilan," kata Walikota Husen Wangsaatmadja, pencetus ide
ini. Baru saja dia menyerahkan bea siswa yang terkumpul kepada
10 murid SD, 5 siswa SMP dan seorang mahasiswa, masing-masing Rp
3.000, Rp 5.000, dan Rp 10.000 tiap bulan. Mereka adalah anak
pegawai rendah (golongan I) di lingkungan Pemda Kodya Bandung,
salah satu syarat untuk jadi "anak angkat" itu.
Dana bea siswa diperoleh dari sesama pegawai kodya juga, tapi
yang sudah termasuk golongan III dan IV. "Pegawai golongan itu
dianggap sudah bisa hidup layak," menurut Husen. Begitu pun
mereka tak dipaksa menyumbang, dan jumlahnya seikhlas hati.
Jadi, dari 289 pegawai jenis itu (2 di antaranya gol.IV) hanya
80 yang bersedia jadi donatur, kebanyakan hanya Rp 1.000 per
bulan. Masih ada sedikit tambahan dari bunga deposito uang kas
Korpri setempat.
Setiap bulan Korpri mengutip uang itu, lalu mengkoordinasikan
pemberian bea siswa, sekaligus mengawasinya apakah dimanfaatkan
secara benar. "Kalau dibelikan radio bantuannya diputus," kata
Walikota.
Ide ini muncul dua tahun yang lalu, semula direncanakan semacam
adopsi, yaitu para pejabat mengangkat anak dan membiayai
pendidikan putra-putri "si rendahan". Belakangan terpikirkan,
pelaksanaannya sulit. Maka dipilih bentuk sekarang yang lebih
sederhana. Yang penting, menurut Rusmana, Ketua Korpri Unit
Pemda Kodya Bandung, "yang kuat menolong si lemah."
Di Pemda Kodya Bandung terdapat 3.400 pegawai gol. I, tapi dana
baru tersedia hanya untuk 21 anak. Karena itu dipilih hanya
anak-anak yang punya prestasi belajar. Nyatanya repot juga, lima
paket Rp 7.500 sebulan per orang untuk SLA sampai sekarang belum
terpakai. Rupanya sulit mencari anak upas kantor, tukang angkut
sampah, penjaga gudang, dan sejenisnya itu yang sekolah sampai
SLA.
Thalib, misalnya, baru masuk SD setelah umur 9 tahun itu pun
secara sambilan berjaja pisang gnreng dan ubi rebus di sekolah.
lnak itu masih beruntung dibandingkan dengan 4 kakaknya yang
tak lagi bersekolah. Ayahnya, Soepardi, penjaga gudang
kotamadya, meninggal 3 tahun lalu tanpa pensiun. Sang ibu, Ny.
Onih berjualan ubi dan pisang rebus menghidupi anak-anaknya.
Beruntunglah Thalib terpilih. Sejak kelas 1 ia menonjol dalam
pelajaran. "Saya rajin belajar karena ingin jadi montir,"
katanya.
Yang lain, Diat (murid kelas 2 SD Cikadut), tahun lalu malah
juara kelas. Ayahnya hampir mencabut Diat dari sekolah, karena
"tak ada biaya," ujar pcgawai yang menjaga kuburan Cina di
Cikadut, Bandung. Honornya Rp 21.700 per bulan.
Sri Rahayu, meski anak pegawai gol. 1, tahun ini bisa kuliah di
IKIP Bandung. Ayahnya, Tjutju, montir mobil di bengkel Pemda.
"Sekarang saya tak minta ongkos colt lagi dari ibu," kata Sri
Rahayu yang dibiayai Korpri Rp 10.000 sebulan.
Pihak penyumbang pun rupanya gembira. "Sumbangan itu tak
memberatkan kami," ujar Oekasah Soehandi, Kabag Umum Kodya
Bandung. Makanya, kata Husen, bea siswa itu akan diteruskan
selama anak-anak itu bersekolah dengan baik. "Mana tahu, di
antara mereka nanti ada yang jadi walikota." Dan Walikota
Bandung itu tertawa lebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini