Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAHYUDI, warga Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, masih mengingat dengan baik kondisi desanya 30 tahun silam. Kala itu rumahnya berjarak kurang-lebih satu kilometer dari bibir pantai. "Antara rumah saya dan pantai ada sawah dan tambak yang luas," ucap pria 57 tahun itu, Jumat, 8 Januari lalu. Kini halaman rumahnya sudah berupa lautan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kehidupan di desanya berubah sejak rob melanda pada 1990-an. Awalnya, rob hanya membanjiri tambak dan sawah. Perlahan air laut menyebar dan menenggelamkan sebagian besar wilayah sehingga memaksa warga Dusun Tambaksari direlokasi pada 1999. Warga Dusun Rejosari menyusul dipindahkan tujuh tahun kemudian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua dusun itu betul-betul telah menjadi laut, tapi masih ada penduduk dalam hitungan jari tangan yang bertahan. Wahyudi salah satu yang tetap bertahan dengan cara meninggikan lantai rumahnya. Ada juga yang tetap tinggal dengan membangun rumah panggung berlantai kayu atau bambu.
Aslor, Sekretaris Desa Bedono, mengatakan desanya dulu dikenal makmur karena tanahnya subur. Warganya bekerja sebagai petani tambak dan sawah. Hasil bumi dan lautnya melimpah. "Ketika itu sebagian besar orang di Demak yang naik haji adalah warga sini," ujarnya.
Keadaan berbalik 180 derajat setelah bencana abrasi datang. Lahan pertanian yang subur itu lalu ditelan air laut. Tambak tidak lagi produktif. "Dulu masyarakat sini tak ada yang merantau. Sekarang ini banyak yang jadi kuli pabrik dan bangunan," ucap Aslor.
Aslor menceritakan, rob menghampiri desa mereka pertama kali pada 1994. Awalnya, rob hanya merendam daratan di ujung utara Bedono sebelum akhirnya meluas. "Daratan yang tersisa kini 20 persen," ujarnya. Ada satu lagi dusun, Mondoliko, yang meminta relokasi, tapi belum disetujui. Rob di Mondoliko cukup parah. Akses ke sana juga dihalangi air laut. Kini penduduk berusaha bertahan dengan menanam mangrove.
Peneliti di Departemen Human Geography, Planning and International Development University of Amsterdam, Belanda, Bosman Batubara, mengatakan, berdasarkan citra satelit Landsat, sejak 1972 sampai 2019 abrasi telah merenggut daratan Sayung seluas 4.274 hektare. Bosman yang tergabung dalam Koalisi Pesisir Semarang-Demak meneliti abrasi di Sayung pada Mei-Desember 2019.
Abrasi di Demak, menurut Bosman, dipengaruhi oleh faktor rob, kenaikan permukaan air, penurunan tanah, dan menyusutnya garis pantai. Menurut Bosman, berdasarkan penelitian pakar kebumian, penurunan tanah di Sayung mencapai 10 sentimeter per tahun. Adapun kenaikan permukaan air laut 0,5 sentimeter setahun. Dua faktor itu lantas menyebabkan masifnya rob yang merendam daerah tersebut.
Peneliti dari Kelompok Keahlian Geodesi Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas, menilai yang terjadi di Demak merupakan pola umum abrasi di pesisir Jawa. Naiknya suhu bumi membuat es di kutub utara mencair, mengakibatkan permukaan air laut naik, juga memicu banjir rob. "Ditambah tanah di pesisirnya turun," ujar Heri, Kamis, 31 Desember 2020.
Penurunan tanah, menurut Heri, bisa disebabkan, antara lain, oleh pengambilan air tanah secara besar-besaran, adanya penambangan minyak dan gas, atau faktor alam berupa faktor tektonis. Dampak yang sama juga ditemukan di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Berdasarkan data yang belum dipublikasikan Heri, penurunan tanah di Muara Gembong hingga Cirebon berkisar 2-10 sentimeter per tahun.
Menurut Ketua Komunitas Muaragembongkita, Yusup Maulana, abrasi parah mulai dirasakan pada 1997-1998 lalu. Saat debit air bertambah, penduduk mulai berpindah karena air laut makin tinggi. Garis pantai diketahui mundur 1-2 kilometer. Setidaknya ada empat desa yang terkena dampak abrasi yang parah. "Sampai sekarang masih kelihatan sisanya. Terlihat ada rumah di tengah laut seperti pulau. Ada juga bekas bangunan hancur," ucap Yusup.
Mundurnya garis pantai juga ditemukan di Kalimantan Barat. Menurut kajian Kiki Prio Utomo, pengajar di Teknik Lingkungan Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura Pontianak, sejak 2008 hingga 2019, garis pantai daerah ini mundur lebih-kurang 220 meter. Penyebabnya, menurut dia, mungkin adalah arus kencang, gelombang tinggi, dan ombak besar yang menyebabkan abrasi pantai.
Muhammad Zulkifli, warga kelurahan Tanjung, Mempawah Hilir, Kalimantan Barat, merasakan perubahan itu. Saat ditemui Tempo pada Rabu, 13 Januari lalu, ia menunjuk ke arah pohon kelapa yang merupakan penanda lapangan bola. Posisinya kini sudah satu kilometer dari bibir pantai dan hanya terlihat sebagian kecil batangnya. "Di situ dulu tempat kami bermain sepak bola," ujarnya.
ABDUL MANAN, JAMAL A. NASHR (DEMAK), ANWAR SISWADI (BANDUNG), ASEANTY PAHLEVI (PONTIANAK)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo