Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Nasib Pulau Yang Terkupas

Bekas penambangan timah di daratan P. Singkep merusak tanah, sehingga tak bisa ditanami apa pun juga dengan bekerja sama dengan litbang Dep. Pertanian, PT. Timah mencoba melakukan penghijauan bekas lokasi.(ling)

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBAGAI danau kecil kehijauan yang menghiasi Pulau Singkep tampak indah dari udara. Di seputarnya, di atas hamparan tanah putih, berdiri rumah penduduk dengan pohon kelapa, nangka, karet atau jambu monyet. Umumnya danau itu--bekas penambangan timah dan disebut kolong--ternyata tak terawat, penuh rawa dan jadi sarang nyamuk, bahkan bisa mengundang bahaya. Sebuah kolong di kawasan Dabo baru-baru ini menelan 2 anak yang tak hati-hati bermain. Penambangan timah di daratan P. Singkep, luas 774 kmÿFD, dilakukan secara terbuka. Kulit bumi yang subur dikuliti sampai kedalaman belasan meter. Lalu dilakukan penyemprotan dengan air. Lewat sebuah pipa, pasir dialirkan ke bak pemisah untuk mendapatkan bijih timah. Dari sekian banyak pasir, hanya sebagian kecil saja bijih timahnya. Pasir dan batuan lain, dengan sendirinya, harus dibuang. Sisa penambangan berupa pasir keputihan ini disebut tailing. Sebuah tambang dengan deposit 40 ton akhirnya bisa merusak tanah sampai 50 hektar. Bayangkan, kulit bumi yang subur terkupas dan tailing dengan ketinggian 34 meter terhampar luas. Rusak Kapal keruk yang digunakan tambang merusak lebih hebat lagi, karena mesti dibuatkan kanal untuknya melintas dari pantai ke tempat penambangan. Jaraknya hanya 1-2 km saja, tapi tailing yang ditimbulkannya lebih luas. Unit penambangan Timah Singkep (UPTS) kini mengerjakan 16 tarnbang semprot dan 3 tambang kapal keruk, termasuk yang ditempatkan di Pulau Kundur dan Pulau Karimun. Karyawannya berjumlah 2.000. Penambangan timah di Singkep dimulai tahun 1812 oleh Sultan Lingga. Tahun 1889 ia beralih ke tangan N.V. Sitem (Singkep Tin Maatschappij) milik Belanda. Sejak 1959, ia jadi milik negara RI dan dikelola UPTS. Setelah sekian lama ditambang, Pulau Sigkep kini (36.000 penduduk) memang sudah rusak. Hampir sepertiga areal pulau itu nyaris tak bisa ditanami apa pun. Di sepanjang jalan dari Dabo ke Sungai suluh atau Kuala Raya, misalnya, hanya tumbuh ilalang. Pepohonan sulit tumbuh, walau tanah dipupuk secukupnya. PT. Timah mencoba--bekerja sama dengan Litbng Departemen Pertanian -- memperbaiki lingkungan bekas penambangan. Tak hanya di Singkep, tapi juga di Banka dan Belitung. Kebun percobaan di Sungai Lumpur, Singkep dibuat sejak L979. Seluas 30 hektar ditanami kelapa hybrida, kapuk, kayu manis, lada dan jambu monyet. Jumlahnya 1.500 pohon. Juga ditanam pinus dan akasia, 2.000 batang jumlahnya. Hasilnya "belum menggembirakan," kata M. Burhanan, Sekretaris UPTS. Sekitar 70% tanaman yang hidup. Kelapa dan jambu monyet menunjukkan prospek yang baik. Tapi banyak yang tumbuh kurus, walau pemupukan sudah so% di atas dosis normal. Tambang yang sudah ditinggalkan 15 tahun, kata Sulaiman, petugas Departemen Pertanian di kebun percobaan, "secara alami sudah bisa ditanami kembali." Tapi tak selalu. Pada areal kebun percobaan yang mengandung tanah liat, tanaman relatif tumbuh lebih baik. Tapi tanah pasir, walau akar menembus lebih dalam, tanaman ternyata kurus. Padahal sebelum penanaman, lubang lebar dibuat dan diisi tanah asli yang masih kaya humus. Menanam di atas tanah bekas umbang baru, menurut Ir. Zahiruddin Saleh dari Pusat Penelitian Agro-Ekonomi, Bogor, "sama saja dengan menanam di atas ubin." Tapi ada juga tanaman penduduk -- terutama yang di atas tanah bekas tambang tua--yang berhasil. Seperti karet dan pisang, bahkan cengkih. Namun tanah bekas tambang tua ini, yang sudah hijau dan dihuni penduduk, suka digali kembali oleh UPTS. Menurut Camat Singkep, Jalil Rasid, hal itulah yang sering membuat penduduk was-was. Di bukit Kabung, misalnya, 300 penduduknya kini gelisah. Di sela kebun mereka, terdengar deru mesin eksplorasi. Contoh lain di Dabo Lama, yang ditinggalkan perusahaan tambang sejak 1925 dan sudah enak dihuni. Di sana baru saja ada penggusuran tanpa penggantian yang sebanding. Penambangan tempo dulu masih memakai peralatan sederhana--bijih timah tak bisa dikeduk semua. Maka, setelah diteliti dan dianggap secara ekonomis bisa menguntungkan, "kami menambangnya kembali," tutur Gocntoro, jurubicara UPTS. Sementara itu belum ada peraturan yang melarang bekas tambang dijadikan tempat pemukiman. Selain usaha penghijauan, pernah dicoba memanfaatkan kolong, yang ditaburi ikan mujair dan nila impor dari Taiwan. Usaha ini tak berhasil. Tingkat keasaman air tinggi sekali hingga ikan tak bisa hidup nyaman. Sedang masyarakat kurang mendukung. "Mereka lebih suka ikan laut," kata Goentoro. Berapa deposit timah di bumi Singkep? Sulit diketahui. Setiap saat, dengan peralatan modern, bisa ditemukan cadangan baru. Deposit lepas pantai diduga lebih besar. Produksi timah Singkep kini sekitar 1.250 ton setahun. Sekitar 55% ditambang di laut. Dalam masa mendatang, penambangan di darat mungkin dikurangi. Kalau usaha penghijauan berhasil, kata Zahiruddin, ada kemungkinan penduduk bisa beralih jadi petani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus