Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kontroversi Kunjungan Muhibah PWI

PWI diundang aja ke Australia, tapi asosiasi mereka di tiga negara bagian menolak. Mereka mau menerima delegasi PWI bila Indonesia mau mengungkapkan kematian 5 wartawan yang tewas di Timtim.

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA batu nisan tertulis kalimat No words can explain this pointless death in Balibo (Tiada kata-kata yang bisa menjelaskan kematian sia-sia ini di salibo). Di situ, dalam satu liang lahat, dimakamkan lima jenasah wartawan Australia --Gary James Cunningham, Gregory John Shackleton, Malcolm Havie Rennie, Anthony John Stewart dan Brian Raymond Peters. Di Tanah Kusir, Jakarta, makam mereka-dengan nisan dan salib terbuat dari semen cor--kelihatan biasa saja. Kelimanya tewas di daerah pertempuran Balibo, Timor Timur, 16 Oktober 1975. John Stewart, 21 tahun, adalah yang termuda. Tidak jelas siapa yang menembak mereka yang ketika itu berada bersama tentara Fretilin. Tapi Asosiasi Wartawan Australia (AJA) cabangnegara bagian New South Wales tetap menuntut agar Jakarta mengakui bahwa kelima rekan mereka itu tewas ditembak mati tentara Indonesia. Belakangan mereka menyebut satu korban lagi, Roger East yang rewas di Dilli. AJA cabang negara bagian Victoria dan South Australia juga mengemukakan pendapat serupa. Ketiganya pekan lalu mengungkapkan kembali peristiwa 1975 tersebut berkaitan dengan rencana AJA Pusat mengundang delegasi Persatuan Wartawan Indonesia mengunjungi Australia pada pertengahan Oktober. Dari Jakarta kemudian dilayangkan nama Harmoko dan D.H. Assegaff sebagai Ketua dan Sekjen PWI, Moh. Chudori (Pemimpin Redaksi Antara), Subagyo Pr, Pemimpin Redaksi Sinar Harapan, dan Abdul Razak, salah seorang pengurus PWI. Dalam suratnya (14 Agustus), PWI meminta agar kunjungan dilakukan November, bukan Oktober. Kenapa? "Pada bulan itu, kami punya program yang harus dipenuhi," jawab Assegaff. Sedang dalam surat balasannya (3 September), AJA menyatakan mereka akan terlalusibuk dalam bulan November. Maka kedua pihak tampaknya masih harus menetapkan lagi saat kunjungan di kemudian hari. "Saya sedih jika antara AJA dan PWI terjadi kebekuan hubungan," kata Assegaff. AJA cabang New South Wales, Victoria dan South Australia, tentu saja senang. Sejak awal ketiganya memang tida menyetujui rencana AJA Pusat mengundang delegasi PWI. Mengharapkan biaya Tbe Special Overseas Visitors Fund, Deplu Australia, AJA menulis undangan itu (14 Juli) sbagai suatu upaya balasan. Delegasinya pernah diterima dengan baik di Indonesia Oktober 1979. Ketiga cabang AJA tadi baru bersedia menerima delegasi PWI jika Jakarta memenuhi sejumlah permintaannya. Antara lain Pemerintah Indonesia agar mengungkapkan dengan jelas sebab kematian lima rekannya di salibo, mengizinkan penempatan seorang wartawan Australia di Indonesia, dan hanya mengirimkan delegasi PWI yang terdiri dari wartawan bonafide, bukan wakil kepentingan pemerintah. Jika AJA Pusat memaksakan kehendaknya, "seluruh wartawan Australia akan memboikot acara kunjungan PWI," tulis Robin Osborne, koresponden TEMPO di Australia. Neal Swancott, Presiden AJA, bersikap bersahabat. Sekalipun peristiwa 1975 itu masih terasa pahit, katanya, "kami merasa suatu keharusan mengundang PWI ke Australia." Dua tahun lalu, perutusan PWI pernah mengunjungi Australia. "Dan kami sangat mengharapkan kunjungan kedua akan terjadi tahun ini juga," kata Swancott lagi. Bahkan dia menjanjikan delegasi wartawan Indonesia tidak akan diboikot. Tapi masih ada saja peristiwa yang mengganggu hubungan baik kedua organisasi wartawan itu. Misalnya, Jakarta menolak memberikan visa masuk kepada Josph P. Coman, wartawan Radio Australia. Alasannya, pemerintah menganggap siaran RA dalam bahasa Indonesia bersifat "menghasut dan menjurus ke tindak subversi." Alasan serupa juga dikemukakan ketika Jakarta menolak memperpanjang izin tinggal wartawan RA, Warwick Beutler, yang habis masa berlakunya pada 15 Juli 1980. Dari Jakarta, Beutler terbang ke Singapura dengan visa kunjungan. Pemerintahan Lee Kuan Yew ternyata tidak menyukai kehadirannya berlama-lama. Alasannya tidak disebut. Belakangan ini sikap agresif RA, media siaran luar negeri Australian Broadcasting Commission (ABC), beralih pula menghadapi Malaysia. Radio itu mengecam rencana absen PM Malaysia Dr. Mahathir Mohamad dalam pertemuan para kepala pemerintahan negara persemakmuran di Melbourne (Oktober). Komisaris Tinggi Malaysia di Canberra sudah memprotes pemberitaan tersebut. PM Malaysia dinyatakan tidak bisa menghadiri pertemuan itu "karena kesibukan tugas di dalam negeri." Situasi politik tampaknya masih akan mempengaruhi hubungan baik AJA dengan rekannya di ASEAN--terutama Indonesia. Namun ketika bertemu dengan Menlu Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Menlu Australia Anthony Street menekankan perlunya arus informasi bebas--secara timbal balik--antara Australia dan Indonesia. "Kami mempersilakan wartawan Indonesia datang dan menulis tentang kami," kata Street. Dan berkata pula Swancott: "Kami tidak ingin menciptakan persoalan baru buat wartawan Indonesia yang sudah menghadapi kesulitan dengan pemerintahnya." Suara Swancott sungguh simpatik, sejalan dengan sikap pemerintahnya terhadap Indonesia. "Kita harus mencoba mengadakan kerjasama yang maksimum," katanya. Tapi Presiden AJA itu tidak bisa begitu saja menjinakkan anak buahnya yang galak-galak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus