PADA batu nisan tertulis kalimat No words can explain this
pointless death in Balibo (Tiada kata-kata yang bisa menjelaskan
kematian sia-sia ini di salibo). Di situ, dalam satu liang
lahat, dimakamkan lima jenasah wartawan Australia --Gary James
Cunningham, Gregory John Shackleton, Malcolm Havie Rennie,
Anthony John Stewart dan Brian Raymond Peters. Di Tanah Kusir,
Jakarta, makam mereka-dengan nisan dan salib terbuat dari semen
cor--kelihatan biasa saja.
Kelimanya tewas di daerah pertempuran Balibo, Timor Timur, 16
Oktober 1975. John Stewart, 21 tahun, adalah yang termuda. Tidak
jelas siapa yang menembak mereka yang ketika itu berada bersama
tentara Fretilin. Tapi Asosiasi Wartawan Australia (AJA)
cabangnegara bagian New South Wales tetap menuntut agar Jakarta
mengakui bahwa kelima rekan mereka itu tewas ditembak mati
tentara Indonesia. Belakangan mereka menyebut satu korban lagi,
Roger East yang rewas di Dilli.
AJA cabang negara bagian Victoria dan South Australia juga
mengemukakan pendapat serupa. Ketiganya pekan lalu mengungkapkan
kembali peristiwa 1975 tersebut berkaitan dengan rencana AJA
Pusat mengundang delegasi Persatuan Wartawan Indonesia
mengunjungi Australia pada pertengahan Oktober. Dari Jakarta
kemudian dilayangkan nama Harmoko dan D.H. Assegaff sebagai
Ketua dan Sekjen PWI, Moh. Chudori (Pemimpin Redaksi Antara),
Subagyo Pr, Pemimpin Redaksi Sinar Harapan, dan Abdul Razak,
salah seorang pengurus PWI. Dalam suratnya (14 Agustus), PWI
meminta agar kunjungan dilakukan November, bukan Oktober.
Kenapa? "Pada bulan itu, kami punya program yang harus
dipenuhi," jawab Assegaff. Sedang dalam surat balasannya (3
September), AJA menyatakan mereka akan terlalusibuk dalam bulan
November. Maka kedua pihak tampaknya masih harus menetapkan lagi
saat kunjungan di kemudian hari. "Saya sedih jika antara AJA dan
PWI terjadi kebekuan hubungan," kata Assegaff.
AJA cabang New South Wales, Victoria dan South Australia, tentu
saja senang. Sejak awal ketiganya memang tida menyetujui rencana
AJA Pusat mengundang delegasi PWI. Mengharapkan biaya Tbe
Special Overseas Visitors Fund, Deplu Australia, AJA menulis
undangan itu (14 Juli) sbagai suatu upaya balasan. Delegasinya
pernah diterima dengan baik di Indonesia Oktober 1979.
Ketiga cabang AJA tadi baru bersedia menerima delegasi PWI jika
Jakarta memenuhi sejumlah permintaannya. Antara lain Pemerintah
Indonesia agar mengungkapkan dengan jelas sebab kematian lima
rekannya di salibo, mengizinkan penempatan seorang wartawan
Australia di Indonesia, dan hanya mengirimkan delegasi PWI yang
terdiri dari wartawan bonafide, bukan wakil kepentingan
pemerintah. Jika AJA Pusat memaksakan kehendaknya, "seluruh
wartawan Australia akan memboikot acara kunjungan PWI," tulis
Robin Osborne, koresponden TEMPO di Australia.
Neal Swancott, Presiden AJA, bersikap bersahabat. Sekalipun
peristiwa 1975 itu masih terasa pahit, katanya, "kami merasa
suatu keharusan mengundang PWI ke Australia." Dua tahun lalu,
perutusan PWI pernah mengunjungi Australia. "Dan kami sangat
mengharapkan kunjungan kedua akan terjadi tahun ini juga," kata
Swancott lagi. Bahkan dia menjanjikan delegasi wartawan
Indonesia tidak akan diboikot.
Tapi masih ada saja peristiwa yang mengganggu hubungan baik
kedua organisasi wartawan itu. Misalnya, Jakarta menolak
memberikan visa masuk kepada Josph P. Coman, wartawan Radio
Australia. Alasannya, pemerintah menganggap siaran RA dalam
bahasa Indonesia bersifat "menghasut dan menjurus ke tindak
subversi." Alasan serupa juga dikemukakan ketika Jakarta menolak
memperpanjang izin tinggal wartawan RA, Warwick Beutler, yang
habis masa berlakunya pada 15 Juli 1980.
Dari Jakarta, Beutler terbang ke Singapura dengan visa
kunjungan. Pemerintahan Lee Kuan Yew ternyata tidak menyukai
kehadirannya berlama-lama. Alasannya tidak disebut.
Belakangan ini sikap agresif RA, media siaran luar negeri
Australian Broadcasting Commission (ABC), beralih pula
menghadapi Malaysia. Radio itu mengecam rencana absen PM
Malaysia Dr. Mahathir Mohamad dalam pertemuan para kepala
pemerintahan negara persemakmuran di Melbourne (Oktober).
Komisaris Tinggi Malaysia di Canberra sudah memprotes
pemberitaan tersebut. PM Malaysia dinyatakan tidak bisa
menghadiri pertemuan itu "karena kesibukan tugas di dalam
negeri."
Situasi politik tampaknya masih akan mempengaruhi hubungan baik
AJA dengan rekannya di ASEAN--terutama Indonesia. Namun ketika
bertemu dengan Menlu Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Menlu
Australia Anthony Street menekankan perlunya arus informasi
bebas--secara timbal balik--antara Australia dan Indonesia.
"Kami mempersilakan wartawan Indonesia datang dan menulis
tentang kami," kata Street. Dan berkata pula Swancott: "Kami
tidak ingin menciptakan persoalan baru buat wartawan Indonesia
yang sudah menghadapi kesulitan dengan pemerintahnya."
Suara Swancott sungguh simpatik, sejalan dengan sikap
pemerintahnya terhadap Indonesia. "Kita harus mencoba mengadakan
kerjasama yang maksimum," katanya. Tapi Presiden AJA itu tidak
bisa begitu saja menjinakkan anak buahnya yang galak-galak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini