Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Orang Utan, Kok Jadi Manja

Di tanjung puting, kal-teng, yang jinak diliarkan kembali dan mendapat bantuan keuangan dari lembaga luar negeri. ada juga wanita ahli orang utan tenaga sukarela. (ling)

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROMBE dan kelompoknya terbiasa sarapan roti dan susu. Siang hari mereka makan nasi dengan super mie campur mentega. Gizinya memang jauh lebih baik ketimbang penduduk pribumi yang tinggal di sekitar tempat mereka hidup. Tapi kemanjaan hidup itu mungkin akan berakhir tidak lama lagi. Nasib mereka akan tergantung pada budi baik beberapa orang di Bogor. Kabar suram Rombe -- nama untuk orang utan (Pongo pygmaeus) jinak yang diliarkan kembali -- datang dari kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Beberapa yayasan luar negeri seperti Van Tienhoven Stichting (Belanda) dan National Geography Society (Amerika) selama ini memberikan bantuan keuangan pada proyek rehabilitasi orang utan di sana. Jumlah bantuan itu sudah semakin berkurang, bahkan mungkin terhenti sama sekali. Dr. Birute Marija Filomena Galdikas, wanita ahli orang utan, yang konon sukarela mengelola proyek itu sudah risau dalam soal keuangan. Akibatnya, orang utan yang manja itu mungkin akan merana. Kalau hal itu terjadi, upaya rehabilitasi orang utan yang dimulai sejak 10 tahun silam akan sia-sia saja. Di Tanjung Puting inilah 60 ekor orang utan -- yang semula dikerangkeng dan yang makanannya disuapkan oleh manusia -- dicoba diliarkan kembali ke hutan. Kendati dilepas, perkembangan mereka masih tetap diawasi. Dr. Galdikas di proyek itu turun tangan juga membuat makanan dan minuman buat orang utan yang belum mampu mencari makanan sendiri. Biaya hidup orang utan ini, menurut Dr. Galdikas yang mengatur pemakaian dana proyek itu, sekitar Rp 1,5 juta/bulan. Itu belum mencakup biaya hidup Galdikas dan suaminya, Rod Brindamour dengan seorang anaknya, serta beberapa pembantu. "Omong kosong kalau Rp 1,5 juta sebulan," sanggah Ir. Lukito Darjadi, Direktur Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) di Bogor. "Beberapa mahasiswa Universitas Nasional Jakarta, yang pernah tinggal di sana agak lama, menilai biayanya tidak sebesar itu." Sesudah 10 ekor berhasil diliarkan PPA menaksir biaya hidup 50 ekor orang utan, sekitar Rp 200.000/bulan. Tapi siapa yang akan menyediakan dana itu, bila benar bantuan yayasan asing terhenti? Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Margasatwa Indonesia, menurut Lukito, menyanggupi akan membantunya. "Mulai tahun ini kita harus jadi tuan di rumah sendiri," kata Lukito. Selama ini PPA merisaukan cara Dr. Galdikas "meliarkan kembali" orang utan itu. PPA sesungguhnya mengetahui tujuan wanita Amerika itu ke sana ialah untuk melakukan riset. Di Tanjung Puting itulah dia mengumpulkan bahan disertasi untuk gelar doktornya. Anak Sendiri Terlantar PPA berpendapat bahwa sarjana itu terlalu berlebihan dalam melayani kebutuhan makan binatang tadi. "Dia terlalu sayang pada orang utan, sampai anaknya sendiri terlantar," ungkap Usman, petugas PPA yang membantunya. Bahkan ia konon membiarkan turis asing yang memberi makan di luar waktu makan. Ia dikabarkan pula mengajar hewan tadi bertingkah laku seperti manusia. Metode rehabilitasi seperti itu tentu saja bertentangan dengan upaya konservasi yang ditempuh PPA. Menurut Drs. N.J. van Strien, ahli konservasi yang pernah ditempatkan World Wildlife Fund (WWF) di Suaka Margasatwa Ketambe, Aceh, "dalam rehabilitasi harus diusahakan tempat hidup dan pemberian makan orang utan sealami mungkin." Pendeknya, soal makan dan minum, menu dan gizinya harus mirip dengan persediaan yang ada di hutan, selaras dengan kehidupan liarnya. "Susu dan makanan lain yang bergizi tinggi hanya diberikan bila si orang utan itu sakit dan belum mampu cari makan sendiri," lanjut Strien. Strien juga menganjurkan supaya pemberian makanan dalam hutan itu tiap setengah tahun berpindah tempat. Metode Galdikas rupanya berbeda. Wanita itu lebih sering memberi makan orang utan di kamp, tempat tinggalnya. Akibatnya, menurut PPA Bogor, "sedikit sekali yang jadi liar kembali ke hutan." Tapi mungkin pula Dr. Galdikas mengalami kesulitan psikologis. Sebab sebagian besar orang utan yang dicoba diliarkan kembali tadi, sedikitnya 2 - 4 tahun pernah tinggal bersama manusia. Cara hidup mereka mungkin sudah mirip dengan manusia. "Apalagi bila sudah terbiasa makan lotek dan minum bir, mereka akan susah naik pohon, menyesuaikan diri dengan keadaan hutan," kata Drs. Effendy Sumardja, staf ahli WWF Bogor. "Orang utan yang ikut manusia sejak bayi, daya tahan tubuhnya biasanya di hutan jadi lemah." Hidup Bersama Menurut Effendy, orang utan yang pernah hidup bersama manusia itu, bisa juga kejangkitan penyakit serupa manusia: TBC, mencret atau flu. "Yang kami takutkan, mereka yang membawa penyakit ini akan jadi vektor (perantara), menularkan penyakitnya kepada yang lain," sambungnya. Contoh rehabilitasi orang utan yang berhasil barangkali hanyalah di Bohorok, Sumatera Utara. Di situ dari 112 orang utan yang pernah hidup bersama manusia, kini tinggal sekitar 30 ekor yang masih perlu ditolong. Kendati sebagian besar berhasil diliarkan kembali, kebun buah-buahan penduduk masih sering terganggu. Juga di Ketambe, Aceh, kawasan rehabilitasi orang utan yang pernah ditangani Strien, kini dijadikan tempat riset. Bagaimana selanjumya Tanjung Puting? PPA kini bertekad menjadikannya sebuah Taman Nasional -- selain tempat usaha rehabilitasi orang utan. Izin menetap Dr. Galdikas di sana mungkin tidak akan diperpanjangnya. PPA menyediakan dana tahun anggaran 1980-81 sebanyak Rp 120 juta, dan berupaya menempatkan tenaga ahlinya di sana. Sementara itu kawasan Tanjung Puting -- seluas 305.000 ha dan terbentang di Kecamatan Kumai dan Kuala Pembuang -- terancam bahaya lain. Entah bagaimana awalnya, pemegang Hak Penguasaan Hutan PT Bina Samakta sampai merogoh hampir separuh kawasan ini di sebelah Utara. Juga dari Barat Daya dan Tenggara, PT Hesubaza dan PT Mulung Basidi sudah mencekiknya. Padahal selain orang utan, di sini hidup juga satwa lindungan seperti owa (Helobatidae), bekantan (Nasalis larvatus), kelasi (Prebitis rubicundus), dan beberapa jenis burung rangkong, enggang, pecuk liar, punai serta mandar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus