ROMBE dan kelompoknya terbiasa sarapan roti dan susu. Siang hari
mereka makan nasi dengan super mie campur mentega. Gizinya
memang jauh lebih baik ketimbang penduduk pribumi yang tinggal
di sekitar tempat mereka hidup. Tapi kemanjaan hidup itu mungkin
akan berakhir tidak lama lagi. Nasib mereka akan tergantung pada
budi baik beberapa orang di Bogor.
Kabar suram Rombe -- nama untuk orang utan (Pongo pygmaeus)
jinak yang diliarkan kembali -- datang dari kawasan Suaka
Margasatwa Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Beberapa yayasan
luar negeri seperti Van Tienhoven Stichting (Belanda) dan
National Geography Society (Amerika) selama ini memberikan
bantuan keuangan pada proyek rehabilitasi orang utan di sana.
Jumlah bantuan itu sudah semakin berkurang, bahkan mungkin
terhenti sama sekali.
Dr. Birute Marija Filomena Galdikas, wanita ahli orang utan,
yang konon sukarela mengelola proyek itu sudah risau dalam soal
keuangan. Akibatnya, orang utan yang manja itu mungkin akan
merana. Kalau hal itu terjadi, upaya rehabilitasi orang utan
yang dimulai sejak 10 tahun silam akan sia-sia saja.
Di Tanjung Puting inilah 60 ekor orang utan -- yang semula
dikerangkeng dan yang makanannya disuapkan oleh manusia --
dicoba diliarkan kembali ke hutan. Kendati dilepas,
perkembangan mereka masih tetap diawasi. Dr. Galdikas di proyek
itu turun tangan juga membuat makanan dan minuman buat orang
utan yang belum mampu mencari makanan sendiri.
Biaya hidup orang utan ini, menurut Dr. Galdikas yang mengatur
pemakaian dana proyek itu, sekitar Rp 1,5 juta/bulan. Itu belum
mencakup biaya hidup Galdikas dan suaminya, Rod Brindamour
dengan seorang anaknya, serta beberapa pembantu.
"Omong kosong kalau Rp 1,5 juta sebulan," sanggah Ir. Lukito
Darjadi, Direktur Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) di
Bogor. "Beberapa mahasiswa Universitas Nasional Jakarta, yang
pernah tinggal di sana agak lama, menilai biayanya tidak sebesar
itu."
Sesudah 10 ekor berhasil diliarkan PPA menaksir biaya hidup 50
ekor orang utan, sekitar Rp 200.000/bulan. Tapi siapa yang akan
menyediakan dana itu, bila benar bantuan yayasan asing terhenti?
Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Margasatwa Indonesia, menurut
Lukito, menyanggupi akan membantunya. "Mulai tahun ini kita
harus jadi tuan di rumah sendiri," kata Lukito.
Selama ini PPA merisaukan cara Dr. Galdikas "meliarkan kembali"
orang utan itu. PPA sesungguhnya mengetahui tujuan wanita
Amerika itu ke sana ialah untuk melakukan riset. Di Tanjung
Puting itulah dia mengumpulkan bahan disertasi untuk gelar
doktornya.
Anak Sendiri Terlantar
PPA berpendapat bahwa sarjana itu terlalu berlebihan dalam
melayani kebutuhan makan binatang tadi. "Dia terlalu sayang pada
orang utan, sampai anaknya sendiri terlantar," ungkap Usman,
petugas PPA yang membantunya. Bahkan ia konon membiarkan turis
asing yang memberi makan di luar waktu makan. Ia dikabarkan pula
mengajar hewan tadi bertingkah laku seperti manusia.
Metode rehabilitasi seperti itu tentu saja bertentangan dengan
upaya konservasi yang ditempuh PPA. Menurut Drs. N.J. van
Strien, ahli konservasi yang pernah ditempatkan World Wildlife
Fund (WWF) di Suaka Margasatwa Ketambe, Aceh, "dalam
rehabilitasi harus diusahakan tempat hidup dan pemberian makan
orang utan sealami mungkin." Pendeknya, soal makan dan minum,
menu dan gizinya harus mirip dengan persediaan yang ada di
hutan, selaras dengan kehidupan liarnya. "Susu dan makanan lain
yang bergizi tinggi hanya diberikan bila si orang utan itu sakit
dan belum mampu cari makan sendiri," lanjut Strien.
Strien juga menganjurkan supaya pemberian makanan dalam hutan
itu tiap setengah tahun berpindah tempat. Metode Galdikas
rupanya berbeda. Wanita itu lebih sering memberi makan orang
utan di kamp, tempat tinggalnya. Akibatnya, menurut PPA Bogor,
"sedikit sekali yang jadi liar kembali ke hutan."
Tapi mungkin pula Dr. Galdikas mengalami kesulitan psikologis.
Sebab sebagian besar orang utan yang dicoba diliarkan kembali
tadi, sedikitnya 2 - 4 tahun pernah tinggal bersama manusia.
Cara hidup mereka mungkin sudah mirip dengan manusia. "Apalagi
bila sudah terbiasa makan lotek dan minum bir, mereka akan susah
naik pohon, menyesuaikan diri dengan keadaan hutan," kata Drs.
Effendy Sumardja, staf ahli WWF Bogor. "Orang utan yang ikut
manusia sejak bayi, daya tahan tubuhnya biasanya di hutan jadi
lemah."
Hidup Bersama
Menurut Effendy, orang utan yang pernah hidup bersama manusia
itu, bisa juga kejangkitan penyakit serupa manusia: TBC, mencret
atau flu. "Yang kami takutkan, mereka yang membawa penyakit ini
akan jadi vektor (perantara), menularkan penyakitnya kepada yang
lain," sambungnya.
Contoh rehabilitasi orang utan yang berhasil barangkali hanyalah
di Bohorok, Sumatera Utara. Di situ dari 112 orang utan yang
pernah hidup bersama manusia, kini tinggal sekitar 30 ekor yang
masih perlu ditolong. Kendati sebagian besar berhasil diliarkan
kembali, kebun buah-buahan penduduk masih sering terganggu. Juga
di Ketambe, Aceh, kawasan rehabilitasi orang utan yang pernah
ditangani Strien, kini dijadikan tempat riset.
Bagaimana selanjumya Tanjung Puting? PPA kini bertekad
menjadikannya sebuah Taman Nasional -- selain tempat usaha
rehabilitasi orang utan. Izin menetap Dr. Galdikas di sana
mungkin tidak akan diperpanjangnya. PPA menyediakan dana tahun
anggaran 1980-81 sebanyak Rp 120 juta, dan berupaya menempatkan
tenaga ahlinya di sana.
Sementara itu kawasan Tanjung Puting -- seluas 305.000 ha dan
terbentang di Kecamatan Kumai dan Kuala Pembuang -- terancam
bahaya lain. Entah bagaimana awalnya, pemegang Hak Penguasaan
Hutan PT Bina Samakta sampai merogoh hampir separuh kawasan ini
di sebelah Utara. Juga dari Barat Daya dan Tenggara, PT Hesubaza
dan PT Mulung Basidi sudah mencekiknya. Padahal selain orang
utan, di sini hidup juga satwa lindungan seperti owa
(Helobatidae), bekantan (Nasalis larvatus), kelasi (Prebitis
rubicundus), dan beberapa jenis burung rangkong, enggang, pecuk
liar, punai serta mandar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini