CINTANYA pada tari klasik Yogyakarta mendorongnya -- bersama
beberapa rekannya -- membentuk wadah yang diberi nama Mardawa
Budaya (MB), Juli 1962. "Bermaksud melestarikan tari klasik
Yogya, yang pada waktu itu terasa mundur, karena banyak pengaruh
kesenian lain," kata Raden Lurah Sasminta Mardawa, hampir 50
tahun, pendiri dan sampai sekarang pemegang pimpinan.
Perkembangan suasana agaknya mendorong Rama Sas, begitu
panggilannya sehari-hari, membentuk wadah yang lain. Pamulangan
Beksa Ngayugyakarta (PBN) dibentuk 14 tahun kemudian setelah MB
berdiri. PBN memang lebih ketat seleksinya. Apabila MB menerima
siswa dari segala usia dan tanpa syarat apa-apa, PBN hanya
menerima mereka yang sudah berijaah SD. Sebab, PBN jga
mengeluarkan semacam tanda tamat belajar. Dan yang menguji tak
hanya dari kalangan PBN sendiri, tapi juga dari Bagian Kesenian
Kanwil Dep. P&K Yogyakarta, para ahli tari Kraton Yogya dan
Sekolah Menengah Karawitan di Yogya. Kini MB mempunyai siswa
sekitar 200-an dan PBN sekitar 150-an. Lama belajar di PBN 3
tahun.
Cara Hidup
"Sikap para pendidik yang penuh pengorbanan dan kesadaran, tak
mementingkan imbalan, itu yang menolong Pamulangan Beksa bisa
lancar berjalan," tutur Rama Sas. Menurut pengakuannya anggaran
sebulan PBN (dengan 8 pengajar, termasuk Rama Sas) hanya sekitar
Rp 100 ribu. Jumlah itu dikumpulkan dari uang sekolah yang kini
besarnya Rp 750 per bulan per murid, plus sumbangan-sumbangan
(antara lain yang agak berarti dari Yayasan Kesenian Tradisi di
Jakarta, yang dibentuk oleh Ford Foundation).
Susah payah Rama Sas dan kawan-kawan itu memang ada dasarnya.
"Bagi saya sendiri, tari klasik Yogya yang saya pelajari sejak
kecil, bukan hanya sekedar tontonan, tetapi sebagai alat
pendidikan," kata Rama Sas kepada TEMPO, Dulu, sopan-santun
pergaulan bisa dididikkan lewat pelajaran menari. Bahkan para
punggawa Keraton yang trampil menari lebih ceat mendapat
kenaikan pangkat daripada yang tidak. Sekarang masyarakat dan
tata pergaulannya berubah, "tetapi saya kira pelajaran menari
sih bermanfaat."
Menurut pengalaman Rama Sas, paling tidak mereka yang paham
gerak tari, cara bergaulnya lebih temata (tahu aturan). "Kalau
ada yang pandai menari tapi tingkahnya tak karuan, itu sala
kedaden (akibat yang tak diharapkan)," kata Rama Sas, tersenyum.
Tapi ada yang lebih penting. Rama Sas pernah setahun mengajar
tari klasik Yogya di UCLA, Amerika Serikat. Seorang siswanya
bertanya, mengapa ia tak bisa seluwes menari seperti orang
Yogya. Jawabnya sederhana: "Kalau mau seluwes seperti mereka,
ya, cara hidupmu harus seperti mereka."
Masalah Lama
Menurut pengamatannya, memang dulu penari-penari tari klasik
Yogya lebih mendalam. "Tapi dulu mereka memang setiap hari
menari," kata Rama Sas. Juga diakuinya kostum sekarang lebih
ramai dan berwarna-warni, sementara "dulu sederhana saja."
Pria tampan setengah umur yang langsing dan berwajah agak
kepucatan ini, dulunya juga mengajar di Akademi Seni Tari di
Yogya, juga mengajar tari klasik pada beberapa sekolah lanjutan.
Juga masih tercatat sebagai pegawai Bagian Kesenian Kraton
Yogyakarta. Begitu pula rekan-rekannya yang bersama-sama
mengasuh MB maupun PBN. Dan karena merasa bahagia bisa
menularkan kepandaiannya, mereka tak begitu menuntut. Seperti
cerita K.R.T. Djogobroto, yang mengajar sehari 2 jam di sebuah
sekolah lanjutan, sebulan hanya menerima imbalan Rp 6.200. Tapi
ini masalah lama, yang konon pernah diperjuangkan ke pemerintah
dan belum mendapat jawaban.
Meski begitu sudah ada gagasan baru Rama Sas: akan menambah lama
belajar di PBN dua tahun lagi, khusus bagi calon guru tari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini