Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Beras varietas rojolele sudah dikenal enak sejak dulu. Namun kini ada padi varietas baru, yaitu Rojolele Srinar dan Srinuk yang dikembangkan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional atau Batan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika varietas rojolele induk hanya bisa menghasilkan 4,2 ton per hektar, Srinar dan Srinuk bisa berpotensi menghasilkan 9,75 ton per hektar (rata-rata 8,42 ton). Umur padi dari tanam hingga panen juga lebih singkat. Padi rojolele induk dipanen pada umur 155 hari, Srinar dan Srinuk hanya membutuhkan 120 hari saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Penelitian dimulai pada 2013. Masyarakat Klaten (Jawa Tengah) meminta agar Batan dapat memperbaiki varietas rojolele yang sangat disukai oleh masyarakat,” kata peneliti Batan, Sobrizal, Selasa, 22 Oktober 2019.
Setelah dilakukan perbaikan terhadap varietas rojolele dengan radiasi sinar gamma pada dosis 200 Gy, menurut Sobrizal, dihasilkan varietas baru yakni rojolele Srinuk dan rojolele Srinar yang lebih unggul.
Tinggi tanaman rojolele Srinar dan Srinuk sekitar 105 sentimeter sehingga tidak mudah rebah. Sedangkan tinggi tanaman induknya mencapai 155 sentimeter yang selalu rebah sebelum panen karena terlalu tinggi.
Sobrizal mengaku, kedua varietas ini mempunyai ketahanan hama penyakit lebih baik dan produksinya lebih tinggi. Selain itu, mutu fisik beras dan mutu organoleptik (rasa nasi, aroma dan lain-lain) setidaknya sama dan bahkan cenderung lebih baik dibandingkan induknya.
Srinar tahan hama WBC (wereng batang coklat) biotipe 1,2 dan tiga. Sedangkan Srinuk tahan WBC tipe 1. Sedangkan rojolele induk peka terhadap wereng coklat. Bobot per 1.000 butir Srinar 28,56 gram. Bobot Srinuk per 1.000 butir 28,64 gram. Bobot rojolele induk per 1.000 butir 32 gram.
Kedua varietas ini sudah lolos sidang pelepasan varietas pada akhir Juni 2019. Saat ini sedang menunggu Surat Keputusan Pelepasan dari Menteri Pertanian.
"Harapannya kedua varietas ini bisa ditanam masyarakat tani di Klaten secara luas dengan produksi dan kualitas beras tinggi, karena berasnya bagus bisa dijual lebih mahal, dan akan dapat meningkatkan penghasilan petani," kata dia.
Batan melalui Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) telah berhasil memperbaiki varietas padi rojolele yang terkenal dan disukai masyarakat ini. Keberhasilan ini diwujudkan dengan panen perdana varietas rojolele Srinuk dan rojolele Srinar di Kawasan Agro Techno Park (ATP), Kabupaten Klaten, Selasa, 22 Oktober 2019.
Kepala PAIR, Totti Tjiptosumirat mengatakan, keberhasilan ini merupakan komitmen Batan dalam memanfaatkan teknologi nuklir untuk tujuan damai, khususnya di bidang pertanian. Selain itu, keberhasilan ini dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa pemanfaatan teknologi nuklir tidak hanya untuk senjata dan energi saja, tetapi dapat dimanfaatkan untuk berbagai bidang.
"Hasil perbaikan varietas padi lokal rojolele ini merupakan suatu bukti komitmen Batan dalam memanfaatkan teknik nuklir untuk kesejahteraan masyarakat,” kata dia.
Selain itu, Batan juga membuktikan bahwa teknologi nuklir bukan hanya dikenal sebagai pemusnah massal dan juga hanya energi nuklir, yang hingga saat ini banyak masyarakat yang mempunyai persepsi negatif pada energi nuklir. Namun teknologi nuklir dapat dimanfaatkan di bidang lain, seperti pengembangan pangan.
Batan, kata dia mempunyai peran penting di bidang pertanian yakni dalam menghasilkan varietas unggul dengan memanfaatkan teknologi nuklir. Meskipun banyak varietas padi lain, namun varietas padi mutan Batan diharapkan menjadi varietas unggul dan disukai oleh masyarakat, dan dapat mendukung program ketahanan pangan nasional.
Harga beras rojolele induk per kilogram Rp 12 ribu hingga Rp 14 ribu. Namun, beras rojolele Srinar dan Srinuk mencapai Rp 18 ribu.
Kristina, Penyuluh Pertanian Lapangan Gempol, Karanganom, Klaten menyatakan bentuk Srinar lebih bulat daripada pada Srinuk. Soal rasa sama enaknya, sama wanginya dan sama pulennya serta lembut.
“Rencana per kilogram dijual Rp 18 ribu. Untuk penjualan sudah ada link. Bahkan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sudah ada kerjasama lima ton per bulan,” katanya.