Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shrek The Third Pengisi suara: Mike Myers, Cameron Diaz, Antonio Banderas, Eddie Murphy Sutradara: Chris Miller dan Raman-Hui Penulis naskah: Andrew Adamson Produksi: DreamWorks, 2007
PANGGUNG resto-teater itu bak gambaran kehidupan Pangeran Tampan: gagal dan terhina. Maka, diiringi caci-maki penonton yang kecewa, sang Pangeran Tampan pun dipaksa berhenti bermain. Di belakang layar, ia mengutuk diri sendiri yang tak jua mereguk bahagia untuk selama-lamanya—happily ever after.
Kesumatnya mengarah ke satu nama: Shrek (Mike Myers). Makhluk hijau besar dan buruk rupa inilah yang menjegal kebahagiaannya. Setelah menikahi Fiona (Cameron Diaz), Shrek kini bakal jadi raja menggantikan mertuanya, Raja Harold, yang mangkat karena sakit. Amarah pun kian menjejali hati sang Pangeran. Ia bersumpah akan merenggut kembali apa yang “dicuri” Shrek darinya.
Padahal, di Kerajaan Nun Jauh di Sana, sang calon raja justru uring-uringan. Shrek si ogre tak cuma kehilangan hutan dan rawa joroknya tercinta, tapi juga dipaksa melakoni hidup yang tak diinginkan: menjadi raja. Jangankan mengikuti ritual ini-itu, memakai kostum raja saja ia amat tersiksa. Untunglah, sebelum meninggal, Raja Harold sempat membisikkan nama ahli waris lain yang juga berhak jadi raja: Arthur alias Artie. Shrek pun bergerak mencari calon raja baru itu.
Dari dua adegan inilah film animasi Shrek The Third bergulir. Sebelum mulai menonton, harapan sudah melambung tinggi. Maklum, kesuksesan dua film pendahulunya, yang mengalir, menghibur, dan penuh dialog cerdas, sudah begitu melekat di hati. Film
Shrek 2 membuktikan bahwa film kedua bisa lebih bagus dari yang pertama.
Sayang, stamina ini tampaknya hanya bertahan sampai film kedua. Shrek The Third bagai kehilangan napas menjaga semua kesuksesan serial ini. Karakter dan dialog tokoh-tokohnya kurang tajam. Tokoh Puss in Boots (Antonio Banderas) dan keledai (Eddie Murphy) bagai kehilangan nyawa. Padahal, di film sebelumnya, dua binatang sahabat Shrek inilah yang menghidupkan seluruh film dengan celetukan dan pertengkaran mereka.
Pangeran Tampan si tokoh antagonis pun bagai kehabisan akal. Dalam film Shrek 2, misalnya, dia sukses tampil menjengkelkan tapi tetap lucu, terutama saat berkolaborasi dengan ibunya, Ibu Peri si penyihir jahat. Tapi kini, ia tampil datar. Untunglah, masih ada segerombolan tokoh kejam—dari Kapten Hook sampai saudara tiri Cinderella—yang menyuguhkan dialog ringan, cerdas, dan mengundang tawa. Ada pula tokoh Merlin si penyihir gagal yang menjadi penyelamat suasana. Setiap kali ia muncul, film kembali menjadi segar.
Pasangan Shrek dan Fiona bukannya tak menyuguhkan apa-apa. Dua karakter ini tetaplah yang terpenting dalam film ini. Namun, Shrek yang konyol dan ceroboh di dua film sebelumnya kini tampak terlalu serius dan dingin. Fiona justru tertolong oleh sederet putri negeri dongeng—Cinderella, Putri Tidur, Putri Salju, dan Rapunzel. Mereka tampil mengundang tawa saat ciri khas masing-masing ditampilkan secara berlebihan. Misalnya, Putri Tidur yang sedikit-sedikit menggeletak ngantuk. Atau Putri Salju digambarkan memiliki tato bertulisan nama kurcacinya.
Meski begitu, Shrek The Third bukan sebuah kegagalan yang total. Ia tetap layak ditonton sebagai hiburan asalkan Anda tidak terlalu membanding-bandingkannya dengan dua film sebelumnya. Tak perlu juga terlalu risau dengan berseliwerannya tokoh dan adegan di luar cerita utama—ala sinetron Indonesia yang laris lalu dipanjang-panjangkan ceritanya. Meski banyak adegan yang membingungkan bagi mereka yang tak menonton Shrek 1 dan 2, ya nikmati saja. Tak usah juga terlalu berharap Shrek 3 bakal menggondol Oscar sebagai film animasi terbaik seperti film pertama.
Bagaimanapun, tren membikin sekuel memang tak kunjung padam. Pertengahan tahun ini saja, kita disuguhi sedikitnya tiga film di luar Shrek, yakni Spiderman 3, Pirates of The Carribean 3. Kesuksesan film sebelumnya memang menggiurkan dan sangat potensial jadi tambang duit. Tapi seharusnya mereka berhenti pada saat sedang jaya.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo