Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penambangan pasir ilegal mengakibatkan garis pantai di pantai Morotai Timur dan Morotai Selatan menyusut.
Abrasi pantai mengancam permukiman dan kebun kelapa warga.
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara mengaku tidak mengetahui aktivitas penambangan pasir.
WAJAH Yambes Noel tampak kesal saat melihat dinding belakang rumahnya di Desa Sambiki Baru, Kecamatan Morotai Timur, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, basah tepercik ombak laut. Kala musim gelombang tinggi, pekarangan rumahnya bahkan terendam air asin. Pria 52 tahun itu tak habis pikir, bibir pantai yang dulu berjarak 12 meter dari rumahnya, kini tinggal 3 meter. “Sepuluh tahun lalu di belakang ini masih banyak pohon kelapa dan ketapang,” kata Yambes saat ditemui, Selasa, 17 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yambes bercerita, garis pantai di belakang rumahnya itu menyusut akibat pengambilan pasir yang marak terjadi lima tahun terakhir. Lebar garis pantai yang abrasi bisa mencapai 1-2 meter. Di beberapa titik bahkan sudah mendekati tembok rumah warga. Yang paling parah, kata Yambes, empat tahun lalu saat pasir pantai dekat jembatan Sungai Sambiki Baru terus diangkut, setiap bulan ada saja kabar pohon kelapa di pesisir yang roboh diterjang ombak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat tahun lalu, Yambes mengungkapkan, penambang mengangkut pasir dari Desa Sambiki Baru untuk dipasok ke Daruba—ibu kota Kabupaten Pulau Morotai—menggunakan truk beroda sepuluh yang daya angkutnya 10 ton. Pasir berwarna abu-abu kecokelatan itu untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan proyek infrastruktur di Pulau Morotai, seperti jalan, rumah sakit, dan pasar. Pasir itu juga digunakan untuk mereklamasi kawasan Daruba.
Saat Tempo mengunjungi Sambiki Baru pada pertengahan Januari lalu, aktivitas pengambilan pasir pantai dengan menggunakan alat berat di Morotai Timur sudah tak terlihat. Namun sesekali melintas truk-truk dengan muatan 4 ton pasir di jalan desa. Di sepanjang pantai dapat dijumpai kerusakan lingkungan berupa lubang-lubang bekas tambang dengan diameter 30-50 meter dan kedalaman 3-4 meter yang ditinggalkan penambang. Lubang-lubang itu digenangi air laut dan di beberapa titik mengalami abrasi.
Garis pantai di Kecamatan Morotai Timur sepanjang 10 kilometer juga menyusut dan sudah mendekati jalan raya. Di beberapa lokasi garis pantai makin mendekati permukiman, seperti di Desa Sambiki Baru dan tetangganya, Desa Daeo di Kecamatan Morotai Selatan. Kebun kelapa milik warga juga mengalami abrasi. Tempat wisata pantai Tanjung Pinang yang terletak di ujung Desa Sambiki Baru sudah tak lagi terlihat indah karena pasir dan kawasan mangrove-nya hilang.
Yustus Tata, Kepala Desa Sambiki Baru, mengungkapkan, penambangan pasir di wilayahnya dilakukan perusahaan konstruksi yang beralamat di Pandanga, Morotai Selatan. Pengambilan pasir, Yustus menerangkan, dilakukan sejak empat tahun lalu. Ada dua lokasi penambangan, yaitu di tempat wisata Tanjung Pinang dan bagian hilir Sungai Sambiki Baru. “Tapi sekarang aktivitasnya sudah berhenti sejak warga desa melakukan protes ke DPRD dan Pemerintah Kabupaten,” kata Yustus saat ditemui di Balai Desa Sambiki Baru.
Penambangan pasir di wilayah itu ditengarai tak berizin alias tambang ilegal. Yustus mengimbuhkan, ia mengetahuinya setelah mahasiswa dan warga berkali-kali mendemo kantor Bupati sejak Benny Laos masih menjabat bupati hingga digantikan oleh penjabat Bupati, M. Umar Ali, pada 2022. Selama menjabat kepala desa, kata dia, tak pernah ia memberikan rekomendasi untuk perusahaan apa pun guna menambang pasir. Dari demo masyarakat itu Yustus mengetahui bahwa penambang adalah perusahaan kerabat mantan Bupati Benny Laos.
Fadli Djaguna, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pulau Morotai, menduga ada praktik kotor pada aktivitas penambangan pasir di Morotai Timur dan Morotai Selatan. Pasalnya, perusahaan yang menambang diketahui tidak mendapat rekomendasi dari desa dan izin tambang pasir atau galian C dari Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Menurut Fadli, DPRD Morotai menemukan banyak kejanggalan, termasuk pemilik perusahaan itu berhubungan kerabat dengan mantan bupati.
Kejanggalan lain, menurut Fadli, adalah sikap diam Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pulau Morotai terhadap aktivitas penambangan pasir yang dilakukan perusahaan tersebut. Pemerintah daerah terkesan sengaja membiarkan praktik penambangan dan enggan menindak tegas. “Padahal DPRD sudah berulang kali memberikan rekomendasi untuk menutup aktivitas penambangan pasir di Kecamatan Morotai Selatan dan Morotai Timur. Tapi tetap saja berjalan,” tutur Fadli.
Praktek penambangan pasir membuat abrasi di pesisir utara Pulau Morotai, Maluku Utara, 17 Januari 2023/Tempo/Budhy Nurgianto
Penelitian Rektor Universitas Pasifik Morotai Irfan Hi Abd. Rahman menemukan tingkat kerusakan berat lingkungan akibat pengambilan pasir di Kecamatan Morotai Selatan mencapai 71 persen. Dia meneliti tiga desa, yakni Momujiu, Sabatai Baru, dan Sabatai Tua. Menurut dia, hutan pantai mengalami degradasi yang cukup tinggi sehingga berdampak negatif terhadap ekologi pantai. “Hutan pantai itu merupakan tameng alam untuk menahan lajunya gempuran ombak, intrusi air laut yang masuk ke daratan, dan abrasi laut,” ujarnya.
Pencurian pasir skala besar dengan menggunakan alat berat di Morotai Selatan dan Morotai Timur itu dilakukan oleh PT Labrosco Yal yang berasal dari Halmahera Utara. Perusahaan ini milik Djonny Laos, adik Benny Laos. Djonny yang menjabat direktur utama sebelumnya pernah terseret kasus suap mantan Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional IX Maluku dan Maluku Utara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Amran Hi Mustary. Djonny pernah diperiksa sebagai saksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Djonny Laos, saat dimintai konfirmasi ihwal aktivitas penambangan pasir PT Labrosco Yal di Morotai Selatan dan Morotai Timur, tidak memberi tanggapan. Surat permohonan wawancara yang dikirimkan Tempo ke alamat kantor PT Labrosco Yal tidak dibalas. Tempo juga mengirim surat permohonan wawancara kepada Benny Laos untuk meminta konfirmasi tentang hubungan kekerabatannya dengan Djonny. Sampai artikel ini ditulis, Benny tidak merespons.
Tempo pun mendatangi kantor PT Labrosco Yal di Desa Pandanga, Kecamatan Morotai Selatan. Koordinator Perwakilan PT Labrosco Yal, yang mengaku bernama Semi, membantah jika perusahaannya disebut menambang pasir secara ilegal di Morotai Selatan. “Kami punya izin dari pemerintah. Jadi tidak benar kalau tidak ada izin,” ucapnya tanpa menjelaskan izin yang dimaksud. “Pasir yang kami gunakan pun kebanyakan kami ambil dari Pulau Dodola,” tutur Semi berkilah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara Fachruddin Tukuboya yang dimintai konfirmasi perihal izin PT Labrosco Yal mengaku baru mengetahui ada aktivitas penambangan pasir di Morotai Selatan. Pasalnya, hingga saat ini pihaknya belum mendapat laporan mengenai aktivitas penambangan pasir dari Kabupaten Pulau Morotai. “Saya belum tahu ini, nanti saya coba cek dulu,” ujar Fachruddin.
Siti Samiun Maruapey, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pulau Morotai, saat disambangi di kantornya pada Rabu, 18 Januari lalu, sedang tidak berada di tempat. Ketika dihubungi nomor telepon selulernya, ia tidak merespons. Permintaan wawancara yang dikirim lewat pesan WhatsApp pun tidak kunjung mendapat balasan.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Pulau Morotai Muhammad Jain A. Kadir mengatakan aktivitas penambangan pasir di Kecamatan Morotai Selatan menyalahi tata ruang wilayah. Berdasarkan rencana tata ruang dan wilayah Kabupaten Morotai, Kecamatan Morotai Selatan merupakan wilayah yang hanya difungsikan untuk kegiatan perkebunan dan perikanan. “Setahu saya, ada aktivitas tambang pasir besi, tapi itu kemudian tidak diizinkan,” kata Jain saat ditemui di kantornya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo