Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELEWATI bagian depan rumah mantan dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Achmad Charris Zubair, yang berpagar tembok tinggi, ada sebuah bangunan bertingkat yang unik. Di lantai pertama, terdapat bangunan tembok bercat putih yang tampak lusuh. Sisi selatannya seperti teras yang bisa dipakai pengguna jalan untuk berteduh dari hujan dan panas. Sisi utara berpintu kayu lipat model kuno berwarna hijau tua berliris kuning.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun lantai dua berupa bangunan kayu jati tua yang tampak usang pula. Bangunan kayu ini dikenal dengan sebutan Langgar Dhuwur Boharen. Bangunan itu disebut “langgar” karena menjadi tempat salat umat Islam. Terdapat bangunan kotak menjorok ke barat yang menandakan mihrab atau tempat imam berdiri memimpin salat. Sedangkan sebutan “dhuwur” alias tinggi karena lantai bangunan kayu itu hampir 3 meter dari permukaan tanah. Tinggi bangunan kayu juga sekitar 3 meter. “Ini berangka tahun 1330 Hijriah,” kata Charris, 71 tahun, saat ditemui Tempo di pendapa rumahnya yang satu halaman dengan langgar tersebut di Kampung Boharen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta, Rabu, 19 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah rumah berarsitektur dan bertata ruang Jawa. Angka tahun "1330 H" ditulis dengan huruf hijaiah pada dinding atas langgar dengan cat hitam, menandakan tahun pembangunan langgar tersebut. Charris menghitung, dalam tahun Masehi, tahun pendirian langgar itu berkisar 1910-1915. Pada lantai kayunya terpasang semacam paku payung berderet-deret yang membentuk batas-batas saf. Pada ujung lantai belakang, sejumlah paku payung disusun membentuk angka 1954. Charris menduga tahun itu adalah tahun pembaruan arah kiblat.
Material kayu di bagian dalam bangunan Langgar Dhuwur Boharen di Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta, 19 April 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Charris berkisah, pendiri langgar tersebut adalah kakeknya, Haji Muhsin. Ia salah satu pendiri Syarikatul Mubtadi yang merupakan titik penting dalam berdirinya Muhammadiyah di Kotagede. Meskipun berada di halaman rumahnya sehingga terkesan privat, langgar tersebut bisa digunakan untuk salat berjemaah tetangga sekitar. Di langgar itu, Muhsin bersama jemaahnya acap mengkaji kitab hadis Imam Buchori sehabis salat magrib hingga menjelang salat isya. Langgar itu pun pernah disebut “Langgar Bukhorian”. “Lidah Jawa menyebutnya Mbah Ren. Lama-lama jadi Boharen,” ucap Charris, yang mendapatkan kisah itu dari orang-orang tua dulu.
Setelah Muhsin meninggal pada 1948, rumah tersebut dihuni ayah Charris, Haji Zubair Muhsin, hingga wafat pada 1988. Charris yang merupakan anak kedua dari enam bersaudara kemudian menempatinya sembari menemani ibunya yang tinggal di sana seorang diri. Ia menetap di Kotagede sejak 1990. Bangunan langgar berbentuk L dengan ukuran 10 x 6 meter itu bisa menampung 50 orang.
Untuk naik ke langgar tersebut, ada anak-anak tangga dari kayu pula. Bangunan kayu yang menyerupai rumah panggung tapi lebih tinggi itu dihiasi ornamen khas Melayu, seperti hiasan melengkung dari kayu yang bentuknya mirip kubah masjid dan dipasang di bawah atap di sisi pinggir. “Saya baru tahu ketika teman saya orang Malaysia datang ke sini. Dia bilang ini seperti bangunan khas Melayu,” ujar Charris, yang kini menjabat Ketua Dewan Pengarah Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede.
Kini langgar itu tak lagi difungsikan. Sebab, jumlah masjid dan musala sudah makin banyak di Kotagede. Terakhir kali bangunan itu digunakan untuk salat tarawih berjemaah pada Ramadan 2017. “Dan orang-orang tua sudah kesulitan naik-turun tangga,” kata penggagas Living Museum Kotagede yang kini dikelola Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta tersebut. Apalagi tinggi tiap anak tangga sekitar 30 sentimeter. Ruang tempat anak-anak tangga itu pun terbilang sempit sehingga orang harus bergantian untuk naik-turun. “Tangga itu pernah direnovasi pada 2010 dari BPCB DIY (Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta),” kata Charris.
Achmad Charris Zubair, pewaris Langgar Dhuwur Boharen di Kotagede, Yogyakarta, 19 April 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Namun bangunan langgar lain belum mendapat bantuan perbaikan. Padahal balok-balok penopang lantai langgar sudah lapuk dan tak layak dipakai. Charris pun mewanti-wanti ketika Tempo naik ke lantai atas langgar. Sebab, ada lantai yang lapuk di lokasi kentongan digantung. Langgar dhuwur bersifat privat karena dibangun orang secara pribadi dan dimiliki secara pribadi pula lantaran menjadi satu bagian dengan rumah kediaman meskipun boleh digunakan warga sekitar. Sifat privat tersebut tak lepas dari tata ruang bangunan Jawa yang mengadopsi konsep tata ruang Hindu.
Di depan rumah kediaman yang merupakan rumah adat dibangun sanggar pemujaan. Sanggar itu dibuat lebih tinggi daripada rumah. Adapun istilah “langgar” berasal dari “sanggar”. Rumah kediaman Charris sendiri adalah joglo yang lengkap dari pendapa di bagian depan, pringgitan, ndalem ageng, gadri, hingga peturasan di belakang. “Jadi akulturasi budaya Hindu dan Islam sudah lama ada di Kotagede,” tutur Charris.
Sayangnya, bangunan langgar dhuwur di Kotagede tinggal dua. Selain di kediaman Charris, ada satu langgar di kediaman (almarhum) Haji Dalhar Aniem di Kampung Celenan, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul (kawasan Kotagede terbagi dua antara Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul). Saat Tempo datang ke sana, rumah dan langgar itu tertutup rapat. Lokasinya berada di lorong Jalan Soka yang lebarnya hanya 2 meter. Bangunan mihrab dari kayu di langgar itu tampak menonjol dan diapit dua jendela kayu kecil dengan jeruji besi. Tampak Langgar Dhuwur Jagalan itu dibangun menempel pada dinding pagar.
Adapun pada 1990-an, Charris mendata, masih ada tujuh langgar dhuwur yang eksis. Seiring dengan waktu, tak ada lagi langgar dhuwur fungsional. Kemudian ada pergeseran nilai dan kebutuhan, juga pembagian warisan lantaran langgar dhuwur adalah bangunan privat. Namun lima sisanya sudah hilang atau beralih fungsi. Ia mencontohkan, bangunan langgar dhuwur di Kampung Karanglo berubah menjadi toko listrik. Kemudian langgar di Kampung Alun-alun telah dirobohkan menjadi rumah. “Jadi tinggal dua. Itu pun sudah tidak lagi difungsikan. Tinggal sejarah,” ucap Charris.
•••
KEHADIRAN langgar dhuwur di Kotagede, menurut budayawan dan sastrawan kelahiran Kotagede 69 tahun lalu, Mustofa W. Hasyim, tak lepas dari situasi seusai Perang Diponegoro (1825-1830) yang juga dikenal sebagai Perang Jawa. Sejumlah pengikut Diponegoro yang selamat dan tersebar di berbagai daerah kembali ke Jawa. Mereka antara lain pulang ke Kotagede, yang merupakan ibu kota pertama Mataram. Apalagi Kotagede adalah daerah "aman" alias tidak menjadi lokasi perang saat itu.
“Karena Pangeran Diponegoro menghormati leluhurnya, dia tidak masuk Kotagede sehingga Belanda tidak menyerang ke sana,” kata Mustofa, yang aktif di Lembaga Seni Budaya Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, saat dihubungi Tempo melalui telepon, Rabu, 19 April lalu. Strategi itu diambil berdasarkan pengalaman Diponegoro. Dalam perang itu, ia pernah menjadikan bekas wilayah Kerajaan Mataram di Pleret sebagai markas. Belanda lantas menyerbu daerah itu.
Bangunan Mushola Mafaza yang dahulu merupakan salah satu langgar pendek di Kampung Prenggan, Kotagede, Yogyakarta, 27 April 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Di Kotagede, para pengikut Diponegoro yang punya uang kemudian membangun rumah dan langgar dhuwur untuk beribadah. “Langgar juga untuk pos pengamanan dan pengintaian. Mungkin, lho,” tutur Mustofa. Pengintaian yang dimaksudkan adalah terhadap serangan pasukan Belanda, bisa juga untuk keamanan sehari-hari, semacam sistem keamanan lingkungan. Sebab, menurut dia, mudah mengumpulkan orang untuk salat berjemaah. “Lalu ngobrol. Berita-berita kan disampaikan dari langgar ke langgar. Cepat sekali. Jadi langgar juga buat pengamanan,” kata Mustofa.
Pada saat kondisi gawat, ada orang yang berjaga di langgar. Tatkala kondisi aman, langgar difungsikan seperti sediakala untuk salat berjemaah dan pengajian anak-anak. Selain itu, karena lokasinya di ujung, lorong, atau pinggir rumah, Langgar Dhuwur Jagalan di barat, misalnya, dapat digunakan untuk melihat kondisi di sisi utara dan selatan. Langgar Dhuwur Boharen yang berada di timur bisa digunakan untuk melihat ke arah Pasar Kotagede yang berada di sebelah baratnya. Kemudian Langgar Dhuwur Alun-alun yang berada di tengah bisa dipakai untuk mengawasi sisi timur dan barat.
Itulah alasan langgar-langgar tersebut dibangun mengelilingi Kotagede, menjadi semacam benteng pertahanan. Sementara di tingkat Kerajaan Mataram ada istilah masjid patok nagoro, di Kotagede ada istilah langgar patok ulama. Bangunan tinggi itu pun digunakan untuk melakukan pemantauan apabila ada suatu peristiwa. “Jadi ada kesadaran untuk membangun pertahanan masyarakat,” ujar Mustofa. Sedangkan Achmad Charris Zubair mengaku belum pernah mendengar informasi bahwa langgar dhuwur di rumahnya digunakan untuk mengintai pasukan Belanda. Sebab, Kotagede tak tersentuh Perang Jawa. “Dan tidak ada lubang khusus untuk meneropong. Umumnya langgar ya terbuka seperti ini,” ucapnya.
Namun, Charris melanjutkan, tak tertutup kemungkinan langgar dhuwur digunakan untuk mengawasi orang yang lewat atau gerakan mencurigakan, misalnya orang yang hendak mencuri. Hanya, dia yakin menjadi tempat pengawasan bukan tujuan pendirian langgar. “Tapi setelah dibangun ternyata langgar yang tinggi bisa dipakai untuk mengawasi,” dia menambahkan.
Selain terdapat langgar dhuwur yang berketinggian sekitar 3 meter, di Kotagede dibangun langgar endhek alias langgar pendek yang tingginya 0,5-1 meter. Langgar pendek bersifat umum, bukan milik pribadi. Bentuknya juga berupa rumah panggung dari kayu. Salah satunya berada di Kampung Pekaten, Kelurahan Prenggan, Kecamatan Kotagede, yang kini menjadi Musala Mafaza.
“Dindingnya dari gedek (anyaman bambu). Dulu di kolongnya buat nyimpan perabot, seperti meja-kursi,” tutur Nunik Sumedi, yang kediamannya berseberangan dengan langgar tersebut, Kamis, 27 April lalu, saat ditemui Tempo. Setahu Charris, bagian kolong langgar pendek juga menjadi tempat penyimpanan bandusa alias keranda jenazah. “Itu menunjukkan, selain untuk salat, langgar mengingatkan kita pada kematian,” kata Charris.
Bagian ujung belakang bangunan Langgar Dhuwur Boharen untuk menggantungkan kentongan di Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta, 19 April 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Langgar Mafaza dibangun dengan beton. Ada bagian dinding luarnya yang bercat hitam dengan ketinggian sekitar 1 meter. Cat hitam menjadi penanda ketinggian langgar pada masanya. Namun Nunik menyebutnya dengan langgar dhuwur. “Itu langgar sedhengan (cukupan). Banyak yang seperti itu. Jadi langgar panggung. Termasuk langgar endhek namanya,” ucap Mustofa. Langgar pendek juga digunakan untuk beribadah. Kini sudah banyak langgar pendek yang direnovasi menjadi musala atau masjid dengan material beton. Selain Langgar Mafaza, ada Langgar Dolahan, Langgar Kidulan, Langgar Basen, Langgar Citran, Langgar Ngledok, dan Langgar Kleco.
Namun ada juga langgar pendek yang dibangun dari langgar dhuwur yang diturunkan ketinggiannya. Misalnya langgar dhuwur di alun-alun. Saat ini, menurut data Mustofa, dari 50 masjid yang terdapat di Kotagede, ada yang semula adalah langgar atau musala, ada juga yang sejak awal memang dibangun sebagai masjid.
Ihwal langgar yang konon didirikan oleh pengikut Diponegoro, sejarawan Peter Carey memberikan pandangannya. Ia memulainya dari masa seusai Perang Diponegoro. Menurut dia, momen penangkapan Diponegoro menjadi awal dan akhir diaspora pengikut atau prajurit Diponegoro seusai Perang Jawa.
Mereka berjalan ke timur menyusuri pantai selatan Jawa melalui pedalaman yang masih liar dan tidak berpenghuni di Pacitan, Trenggalek, Kediri, Malang, dan Blitar. Perang terus-menerus berkecamuk di Oosthoek (ujung timur Jawa) sejak 1676 (pemberontakan Raden Trunojoyo). Saat itu hutan belantara diubah Belanda menjadi perkebunan dengan sistem tanam paksa.
Di lingkungan baru Jawa Timur ini, mantan prajurit Diponegoro mendirikan komunitas baru, seperti Djojodigdan di Blitar. Mereka membuat budaya sendiri berdasarkan gerakan pertempuran resimen elite Diponegoro. “Tarian reog bulkio’ di Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok, Blitar,” ujar Carey. Ada pula kode-kode rahasia, seperti sawo kecik ditanam di sebelah kiri rumah mereka di pelataran depan untuk menunjukkan keluarga yang membangkang dan menentang Belanda.
Dalam kronik-kronik yang dikoleksi pesantren tua di Jawa timur dijelaskan bahwa para pengikut Diponegoro yang terpencar keluar dari wilayah tengah-selatan Jawa memiliki konsepsi penting untuk tetap menegakkan nilai-nilai Islam di mana pun mereka berada. Konsepsi tersebut adalah sawwu shufufakum yang artinya “rapatkan barisanmu” (menukil hadis Nabi Muhammad) dengan perwujudan menanam pohon sawo (Manilkara kauki) di depan masjid atau pusat peribadahan yang mereka dirikan.
Seusai Perang Jawa, pengikut Diponegoro mengubah perang fisik menjadi perang dakwah di wilayah Jawa Timur. Seperti yang dilakukan Kiai Hasan Muhyi (Raden Ronowijoyo), pendiri Pondok Pesantren Kapu di Desa Pagu, Kecamatan Pagu, serta Kiai Mohammad Ilyas, anggota laskar Diponegoro pendiri Pondok Pesantren Jatirejo di Desa Damarwulan, Kepung. Selain itu, murid Kiai Nawawi menyebarkan agama Islam di Kediri timur hingga perbatasan Malang. Ada juga Kiai Siroyudin dari Pondok Miftahul Ulum (1843) di Desa Tertek, Pare; Kiai Mohamad Sai yang mbabat alas wilayah Kediri-Gurah ke Plosoklaten; serta Tumenggung Sonokarijo (Sonokaryo) yang lari ke Kediri dan mbabat di Desa Ngetrep, Mojo. Mereka mementingkan pendidikan yang merangkap ilmu agama.
Peter Carey menyebutkan ada sebuah langgar yang didirikan oleh bekas anggota laskar Diponegoro di Sanan Timur. Langgar itu bukan langgar dhuwur seperti yang ada di Kotagede. Langgar itu disebut langgar gantung, berdiri di pokok-pokok tonggak setinggi kurang-lebih 1 meter dari tanah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dian Yuliastuti berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Artikel ini terbit dalam edisi cetak dengan judul " Langgar Dhuwur, Napas Islam-Hindu".