Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bawah terik matahari bercakrawala putih biru, dua perempuan berdiri berhadapan dalam balutan jas hujan kuning. Seorang di antaranya menengadahkan tangan dan yang lain menempelkan tangan di dekat kuping. Dua wadon itu sedang merindukan guyuran air dari langit di tanah lapang kering-kerontang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam suasana yang chaos, tubuh manusia tak utuh berserakan di antara rongsokan. Kepala-kepala menelungkup bersisian dengan mobil terbalik. Memejamkan mata, seorang pria dengan setelan jas dan celana panjang duduk di mobil yang tinggal separuh. Kendaraan biru itu teronggok dan tak beratap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lewat sapuan garis dan warna yang ekspresif, perupa Agus Triyanto Basuki Rahmat menciptakan karya berjudul Waiting for the Rain. Lukisan 2022 itu boleh dibilang paling mewakili kegelisahan pelukis yang lahir di Pacitan, Jawa Timur, tersebut mengenai kerusakan lingkungan yang disebabkan polah manusia. “Bicara hubungan manusia dan alam yang tak seimbang,” ujar Agus Triyanto, Rabu, 26 April 2023.
Karya berukuran 150 x 200 sentimeter yang menggunakan cat minyak itu merupakan satu dari 12 lukisan dalam pameran bertajuk "Paradoxes" di Srisasanti Gallery, Tirtodipuran Link Building A, Yogyakarta, 10 April-14 Mei 2023.
Menggunakan pendekatan realis, alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu membuat karya yang bertolak dari memori dan kehidupan sehari-hari manusia. Selain menggambarkan alam yang rusak, dia banyak menampilkan citraan kuda pada hampir semua karyanya. Mamalia berkaki empat itu terlihat mendominasi.
Agus menyebutkan, kuda menjadi sumber inspirasi dalam melukis karena lekat dengan ingatan semasa bocah di desanya. Di tempat tinggalnya, kuda bukan sekadar hewan untuk transportasi atau andong, tapi juga teman dekat anak-anak. Saat merasa sumpek, dia menjadikan kuda sebagai sahabat. Kuda bisa menjadi pendengar setia atas keluh kesahnya sebagai anak pertama di keluarga yang menuntut dia hidup mandiri dan menjadi tumpuan saudara-saudaranya. Tinggal di Pacitan, Jawa Timur, yang berdekatan dengan pantai, ketika berumur sepuluh tahun, suatu hari Agus melihat seekor kuda yang tiba-tiba rubuh, menggelepar, dan mati di jalan.
Agus sedih bukan kepalang. Kejadian itu membekas kuat di benaknya hingga berpuluh-puluh tahun. Bayang-bayang jaran yang tak bisa ia lupakan itu misalnya muncul pada lukisan berjudul My Little Tragedy berukuran 200 x 200 sentimeter.
Seekor kuda berkulit cokelat terpelanting ke udara dalam sebuah panggung. Kepalanya yang berwarna putih menjuntai di antara tangga. Tubuh manusia yang berotot ikut terjatuh menyongsong lantai yang hendak menimpa tubuh seorang lelaki.
Seorang lainnya seperti tak peduli, mengalihkan pandangan. Pada lukisan ini, Agus kembali memunculkan bagian tubuh yang tak sempurna atau ganjil, yakni dua kaki yang terangkat. Manusia tak utuh itu terjengkang.
Bagi perupa 44 tahun ini, kuda tak hanya menggambarkan ingatan masa kecil, tapi juga menjadi simbol budaya dan politik. Kuda bisa menggambarkan kekuatan dan status sosial. Manusia di daerah tertentu juga menempatkan kuda pada kedudukan yang terhormat sebagai dewa.
Tapi, di sisi lain, manusia juga bisa menjadi eksploitatif dan kanibal. Mereka menjadikan kuda sebagai budak yang diperah tenaganya. Kuda pun menjadi santapan. Pada bagian inilah Agus mengeksplorasi sisi paradoks hubungan manusia dan hewan.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sri Margana, yang dipilih Agus sebagai penulis kuratorial pamerannya, menjelaskan tentang sejarah kuda dan hubungannya dengan karya-karya Agus. Dia sengaja melibatkan Margana yang berlatar belakang sejarawan untuk mendapatkan perspektif yang berbeda.
The Old World karya Agus Triyanto Basuki Rahmat dalam pameran Paradoxes di Yogyakarta, 27 April 2023. Tempo/Shinta Maharani
Menurut Margana, kuda menggambarkan trauma dan nilai-nilai moral Agus terhadap kehidupan binatang. Kuda pada lukisan-lukisan Agus bisa menyimbolkan apa pun dan memiliki landasan atau spirit.
Dalam sejarah, terdapat sebuah gerakan penghapusan kekejaman terhadap hewan, yakni gerakan Phytagorian. Kampanye penghapusan kebiasaan membunuh dan memakan daging binatang itu muncul pada 1640-an hingga 1790-an.
Ide itu berhubungan dengan kesadaran baru tentang animal welfare atau kesejahteraan satwa yang dipengaruhi nilai-nilai Revolusi Prancis. Momentum lain yang memperkuat gerakan itu adalah gerakan anti-perbudakan di Amerika Serikat pada abad ke-19 yang menganggap eksploitasi terhadap satwa sebagai perbudakan.
Indonesia di masa penjajahan atau Hindia Belanda mendapat pengaruh dari gerakan itu. Pada 1896, para penyayang binatang Hindia Belanda membentuk perkumpulan Nederlandsch-Indische Vereeniging Bescherming van Dieren. "Kepedulian terhadap satwa dipicu perlakuan masyarakat jajahan terhadap binatang piaraan mereka, khususnya kuda dan sapi, yang biasa digunakan sebagai penarik delman atau gerobak,” kata Margana.
Lewat lukisan-lukisan itulah Agus mengajak orang merenungkan ironi dan sesuatu yang paradoks. Pada karya berjudul The Old World, misalnya, kuda menyimbolkan kepungan teknologi informasi dan komunikasi. Padahal masyarakat Indonesia belum siap sepenuhnya.
Karya berukuran 200 x 200 sentimeter itu melukiskan kuda yang sedang melompat dari padang rumput ke ruangan yang penuh tumpukan buku di rak. Lompatan kuda itu menyimbolkan kecepatan teknologi.
Pada karya itu, Agus terilhami buku berjudul Dunia yang Dilipat karya pemikir kebudayaan kontemporer Yasraf Amir Piliang. Kemajuan teknologi menghasilkan sampah dalam dunia virtual, kerap banal dan menampilkan narsisisme. Tapi, di sisi lain, revolusi teknologi juga bisa menembus sekat atau batas dan berguna bagi manusia.
Selain gagasan tentang kehancuran lingkungan serta hubungan manusia dan binatang, karya Agus mengeksplorasi ketimpangan sosial sebagai bagian dari kritik sosial. Tengoklah lukisan berjudul Symphony in a Barren Land berukuran 200 x 150 sentimeter.
Seorang pria bertelanjang dada pada lukisan itu dan terlihat sedang memainkan tuts piano. Seorang lainnya berdiri terbalik di atas piano dan seorang lainnya duduk santai menikmati alunan musik. Pohon jumbo tanpa daun yang meranggas tumbuh di sekitar piano itu.
Tanah-tanahnya digambarkan putih tandus. “Gambaran kemiskinan. Indonesia subur, tapi hanya segelintir orang yang sejahtera,” tutur Agus.
Karya Agus lainnya lebih bersifat personal sebagai seniman yang berjuang menghidupi keluarganya. Agus menciptakan semua karyanya di studionya di Desa Tamantirto, Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia menyiapkan pameran itu selama dua tahun.
Menurut Margana, karya Agus terlihat lebih matang secara konsep ketimbang dalam pameran sebelumnya. Dia mencontohkan bagaimana Agus menghubungkan situasi terbaru, misalnya perkembangan teknologi, dengan lukisannya. Agus juga membawa gagasan lingkungan dan humanisme yang relevan dengan situasi sekarang. “Kajiannya lebih komprehensif,” ucap Margana.
Secara visual, lukisan Agus tampak berantakan. Goresan sana-sini tak beraturan dalam warna-warna yang saling bertabrakan. Warna cerah dan gelap dia kombinasikan. Agus menggunakan teknik palet dengan warna cat yang pekat dan tebal dalam melukis. Hasilnya terlihat ekspresif.
Warna yang saling bertabrakan itu, menurut dia, memunculkan sisi tumpang-tindih atau kontradiksi. Komposisi warna yang janggal, termasuk tubuh-tubuh yang janggal atau tak lazim, inilah yang menjadi karakter lukisannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo