Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Timbunan abu batu bara sempat mencemari permukiman penduduk di sekitar PLTU Cilacap, Jawa Tengah.
Data Puskesmas di lima kecamatan sekitar PLTU Cirebon, Jawa Barat, menunjukkan peningkatan jumlah penderita gangguan pernapasan
Kalangan profesional mendesak pemerintah mendorong kebijakan energi terbarukan sebagai pengganti energi fosil.
DUA kolam raksasa telantar di ujung lahan pembangkit listrik tenaga uap di Karangkandri, Cilacap, Jawa Tengah. Lokasinya persis di bibir pantai, tak jauh dari muara Sungai Serayu. Kolam dengan kedalaman 3 meter itu dulu adalah area penimbunan material hasil pembakaran batu bara berupa abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash). “Dulu memang ditampung di situ. Tapi tidak digunakan lagi sejak muncul protes dari masyarakat,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap Awaluddin Muuri, Kamis, 4 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Protes terhadap keberadaan area penimbunan (landfill) fly ash-bottom ash (FABA) di PLTU Cilacap muncul sekitar 2018. Penolakan datang dari warga Dusun Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Cilacap. Masyarakat yang tinggal di dusun itu mengeluhkan paparan debu FABA yang beterbangan dan kerap mencemari permukiman mereka. Dampak paling parah dialami oleh mereka yang tinggal di sisi timur dusun tersebut. Jarak rumah warga Winong yang bersisian dengan area penimbunan hanya dibatasi tembok setinggi 4 meter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sadinem, 55 tahun, adalah salah satu korbannya. Menurut dia, debu tumpukan FABA acap berkunjung ke permukiman saat angin berembus kencang pada musim kemarau. Pencemaran mengakibatkan kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan terhadap orang tua ataupun anak-anak. Sadinem mengisahkan pengalaman pahit yang dialami cucunya yang masih berusia 7 tahun. Ketika musibah itu terjadi, cucunya terpaksa keluar-masuk rumah sakit karena gangguan pernapasan. “Dia berulang kali harus diopname,” katanya.
Proses berobat tersebut diakui Sadinem memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak kecil. Selama pemulihan, ia harus menebus obat dua kali dalam sebulan. Pengalaman pahit dialami warga Winong lain yang memiliki anak-anak kecil. Melihat tingginya jumlah pasien gangguan pernapasan di dusun tersebut, Sadinem mengungkapkan, dokter menyarankan anak-anak mereka tak lagi menetap di sana. “Dari 250 keluarga, saat ini tinggal 145 keluarga yang memilih bertahan tinggal di dusun,” ucapnya.
Warga Winong berulang kali melaporkan pencemaran dari FABA ke manajemen PLTU Cilacap. Respons atas laporan itu dianggap tak maksimal. Manajemen hanya memasang paranet untuk menangkal FABA yang beterbangan. Kegaduhan yang tak reda di Dusun Winong menyita perhatian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Gubernur Jawa Tengah. Menurut Awaluddin, Pemerintah Kabupaten Cilacap ikut turun tangan dan menyelesaikan masalah itu dengan meminta manajemen memindahkan penimbunan limbah FABA.
Awaluddin mengatakan rekomendasi pemerintah Cilacap itu dipatuhi manajemen dengan memindahkan lokasi penimbunan ke tempat lain. Belakangan, mereka juga menggandeng pihak ketiga untuk mengelola limbah FABA. PT Sumber Segara Primadaya, operator PLTU Cilacap, bekerja sama dengan PT Solusi Bangun Indonesia, anak perusahaan Semen Indonesia, untuk keperluan pengangkutan dan pengolahan limbah FABA. “Dikelola pihak ketiga,” tutur Sarjoko, anggota staf bagian tanggung jawab sosial PT Sumber Segara Primadaya.
•••
KEGADUHAN serupa muncul di kawasan sekitar PLTU Cirebon, Jawa Barat; dan PLTU Tanjung Jati B, Jepara, Jawa Tengah. Di Cirebon, warga Desa Kanci Kulon, Kanci Wetan, dan Waruduwur berulang kali menggelar aksi menolak keberadaan pembangkit listrik. Keberadaan pembangkit tersebut dianggap memicu banyak persoalan, dari masalah lahan, gangguan wilayah tangkap nelayan, hingga problem kesehatan. “Saya dan tetangga udah gak terhitung mengalami gangguan pernapasan,” ujar warga Desa Kanci Kulon, Riki Rasasonia.
Desa Kanci Kulon hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari gerbang PLTU Cirebon 1. Turbin pembangkit dan cerobong asap terlihat jelas dari desa ini. Menurut Riki, paparan debu FABA dianggap sebagai momok bagi warga tiga desa yang bertetangga langsung dengan area PLTU itu. Dampak pada kesehatan masyarakat sekitar terlihat dari banyaknya jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Masalahnya, kata dia, peningkatan jumlah penderita ISPA tidak pernah diakui berkaitan dengan keberadaan PLTU.
Data penderita ISPA di kalangan anak-anak yang dikumpulkan dari lima pusat kesehatan masyarakat di sekitar area PLTU Cirebon, Astanajapura, Mundu, Pangenan, Sidamulya, dan Pamekang, memperlihatkan tren kenaikan. Pada 2018, jumlah penderita ISPA di lima kecamatan itu mencapai 613 orang. Jumlah itu naik tajam pada 2019 menjadi 1.525 orang. “Memang ada kenaikan. Tapi belum ada kajian yang mengaitkan dengan FABA,” ucap Nanang Ruhyana, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon.
Misnawati, salah satu warga Desa Bondo, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, yang menerima bantuan pembangunan rumah menggunakan batako berbahan FABA, mengaku tidak merasakan gangguan kesehatan. Sejak rumahnya direnovasi oleh PLTU Tanjung Jati B pada Juni tahun lalu, Misnawati dan suami serta dua anaknya sudah setahun bertempat tinggal di sana. "Sekarang lebih nyaman," kata perempuan 34 tahun yang menetap di Desa Bondo sejak 2006 itu. Namun ia mengeluh lantaran rumahnya kerap diterjang debu batu bara karena hanya berjarak 400 meter dari PLTU.
Guru besar ilmu kesehatan lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Budi Haryanto, menjelaskan bahwa riset yang mengaitkan hubungan ISPA dengan paparan debu FABA sejatinya sudah diteliti banyak pakar. Hasil penelitian itu menyimpulkan debu FABA ikut memicu gangguan kesehatan pada saluran pernapasan, stroke, hingga kanker. Itu sebabnya banyak negara di Eropa menutup PLTU batu bara dan mulai beralih ke energi terbarukan. “Kelompok yang rentan terjangkit gangguan itu adalah anak-anak,” tuturnya.
Menurut Budi, energi batu bara banyak digunakan kalangan industri karena alasan ekonomis. Sumber bahan bakunya melimpah dan bisa diperoleh dengan mudah. Cara pandang itu dinilai Budi hanyalah jalan pintas untuk mengambil sebesar-besarnya keuntungan, tapi abai terhadap dampak pada lingkungan dan kesehatan masyarakat. Upaya mereduksi dampak paparan FABA, Budi melanjutkan, sudah dirintis dengan penerapan teknologi penyaring gas buang. Namun penerapan teknologi ini masih terbilang mahal dan dianggap sebagai beban operasional.
Komitmen meninggalkan energi batu bara, Budi menambahkan, pernah dibuat oleh 82 organisasi penyelamat lingkungan dan profesional di bidang kesehatan masyarakat dari 32 negara lewat kesepakatan di Toronto, Kanada, pada 2018. Dukungan atas kebijakan itu juga mereka sampaikan kepada forum pemimpin kelompok negara maju G7. Tak kurang dari 300 orang yang mendukung gerakan itu meminta pemimpin G7 mendorong kebijakan yang memanfaatkan energi terbarukan. “Regulasi yang memanjakan batu bara tak sebanding dengan beban dari sisi kesehatan,” ucapnya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati membantah bila pemerintah dianggap mengabaikan faktor kesehatan. Menurut dia, kebijakan mengeluarkan FABA dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun telah mempertimbangkan banyak kajian dan uji toksisitas. Menurut Vivien, zat berbahaya dalam FABA secara teknis dapat direduksi menggunakan teknologi gas buang. Dampak limbah juga bisa dikurangi dengan pengelolaan yang ramah lingkungan. “Opsi penghematan merupakan pilihan bagi setiap pelaku industri,” ujarnya.
RIKY FERDIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo