Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hasil CGI: Utang Baru, Masalah Baru

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sjahrir *)
*) Pengamat ekonomi

BARANGKALI tidak ada kalangan yang menyatakan bahwa Indonesia sukses dalam pertemuan CGI di Tokyo, pekan lalu, yang menghasilkan pinjaman baru sebesar US$ 4,8 miliar serta hibah lebih dari US$ 500 juta. Bahkan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli pun tidak mau menyebutnya sebagai sukses, kendati ia memberikan embel-embel bahwa betapapun, hasil CGI memberikan optimisme baru bagi pemulihan ekonomi. Yang jelas, pasar tidak bereaksi apa pun, kurs rupiah tetap buruk, sementara bursa efek pun tidak menunjukkan peningkatan yang berarti.

Membahas hasil sidang CGI bisa melihatnya pada dataran ekonomis teknis, bisa juga mengulas melalui pendekatan ekonomi dan politik. Barangkali kita perlu mengawali dengan membahasnya secara lebih "asyik", yaitu pembahasan politik ekonomi.

Bagi pemerintahan Gus Dur, khususnya Presiden Abdurrahman Wahid, berita CGI ini jelas merupakan variasi yang menyenangkan dalam perbandingannya dengan berita-berita yang berturut-turut muncul dan memberi kesan amat negatif pada Presiden, seperti pertemuannya di Hotel Borobudur untuk memenuhi undangan seorang terpidana bernama Tommy Soeharto. Juga penangkapan Suwondo, yang boleh jadi akan menguak lebih jauh kasus Buloggate, pada umumnya diartikan negatif bagi kredibilitas yang sudah sangat sedikit tersisa dari Presiden Abdurrahman. Karena itu, wajar bila Presiden—sebagaimana biasa tengah berada di luar negeri—mengomentari kesuksesan pertemuan CGI sebagai hal yang menggembirakan.

Tetapi, benarkah hal ini sesuatu yang menggembirakan? Untuk mengetahui hal itu, mau tidak mau kita harus masuk pada dataran pemikiran yang bersifat teknis, yang menyangkut dua komponen besar, yaitu masalah bujet dan fiskal serta masalah utang luar negeri, yang kendati saling berkaitan, masing-masing mempunyai implikasi-implikasi tersendiri yang amat jauh akibatnya bagi bangsa kita.

Di dalam rencana anggaran 2001, APBN mengalami defisit yang jumlahnya diperkirakan Rp 52 triliun lebih. Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah membutuhkan pinjaman luar negeri sebesar hampir Rp 36 triliun. Dengan penerimaan utang baru sebesar US$ 4,8 miliar, dan dengan asumsi bahwa nilai tukar rata-rata US$ 1 sama dengan Rp 7.300, jumlah tersebut akan tercapai, bahkan terlampaui, bila diperhitungkan pula adanya unsur grant atau hibah sebesar US$ 500 juta lebih. Tetapi di sinilah letak permasalahannya. Kita hanya menitikberatkan masalah likuiditas keuangan negara, yang menurut ekonom Danareksa Rino Effendi berbeda dengan masalah solvabilitas keuangan negara. Artinya, tentu saja kalangan IMF dan World Bank memberikan bantuannya sebagai pinjaman karena adanya kepentingan mereka untuk tetap melihat keuangan Indonesia berjalan dan tidak terhenti. Tetapi, pada saat yang sama kita harus melihat bahwa dari sisi stok utang, sesungguhnya utang kita terus bertambah. Bahkan secara netto, penerimaan APBN dari utang luar negeri tidaklah sebesar Rp 36 triliun, melainkan hanya Rp 20 triliun, mengingat sisanya harus dipakai untuk membayar pokok utang luar negeri atau amortisasi.

Kalau dikatakan bahwa dari sisi bujet hasil CGI membuat anggaran "aman", dari sisi utang sesungguhnya posisi negara RI sebagai negara yang melaksanakan ekonomi utang makin buruk. Betapa tidak, Indonesia adalah negara dengan utang terbesar di dunia, dengan jumlah berada di antara US$ 140 miliar dan US$ 145 miliar, yang lebih kurang 130 persen dari PDB. Selain itu, di dalam negeri perusahaan-perusahaan yang mengalami masalah keuangan gawat memiliki utang kepada sistem perbankan nasional sebesar US$ 45 miliar. Biaya rekapitalisasi perbankan pun akan terus membengkak, yang membuat utang pemerintah RI dalam bentuk obligasi meningkat dan diperkirakan bahkan bisa mendekati Rp 700 triliun.

Kalau kita melihat angka-angka tersebut, pertanyaan paling sederhana yang muncul adalah apa strategi pemerintah untuk menurunkan beban utang dengan menggunakan metode apa pun yang tersedia, seperti utang terhadap PDB atau utang terhadap ekspor. Celakanya, Menteri Rizal Ramli tidak menyebut-nyebut hal itu. Justru ia mengatakan untuk meminta utang baru dengan jangka yang lebih panjang dengan bunga yang mendekati 0 persen. Yang tidak dijawab oleh Menteri Rizal adalah apakah pembuatan utang baru itu membuat utang lama menjadi ringan. Jawabannya pastilah tidak, karena utang lama tersebut sama sekali tidak "diapa-apakan" dan tidak ada satu pun rencana yang masuk akal untuk mengurangi beban utang.

Satu-satunya yang didengar oleh kita sebagai hal yang konkret adalah yang disebut Rencana Miyazawa—hal yang juga mempunyai keterbatasan karena jaminan pemerintah Jepang untuk obligasi pemerintah itu masih dipegang oleh pihak Jepang. Skema di luar negeri yang dikenal seperti Brady Bonds tidaklah disebut-sebut di sini, dan pihak AS tampaknya tidak tertarik untuk mempertimbangkan hal seperti itu bagi Indonesia, atas alasan-alasan politik. Hubungan Indonesia-AS makin buruk, sebagian karena ulah AS sendiri seperti keberpihakannya pada Israel dalam kasus Palestina, tetapi juga menyangkut faktor-faktor lain yang tidak selamanya Indonesia bersih dari kekurangan. Kini AS bukan negara yang bisa diharapkan untuk membantu keluar dari lilitan utang—hal yang secara geopolitik memang lebih layak dilaksanakan oleh Jepang.

Tetapi, bagaimana pendapat orang tentang keseriusan Indonesia dalam menangani masalah utang? Bila indikatornya adalah berapa orang yang berangkat ke CGI (estimasi rendah 32 orang dan estimasi tinggi 40 orang), jelas pergi ke Tokyo masih merupakan upaya hura-hura. Boleh saja pemerintahan kini menyebut bahwa mereka hanya "cuci piring" akibat utang-utang yang dibuat Orde Baru. Tetapi bila piring dicuci oleh seseorang yang memakai "three pieces suit", pantas bila orang yang memeriksa tukang cuci piring bertanya-tanya, apakah si pencuci piring ini profesional atau orang yang iseng-iseng mengotorkan jari tangan untuk mencuci padahal pikirannya akan pergi ke sebuah pesta. Dengan perkataan lain, sulit bagi pemerintahan sekarang untuk mengembangkan budaya keprihatinan kepada bangsanya bila mereka sendiri tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa kita selayaknya prihatin karena krisis yang berkepanjangan tak kunjung menunjukkan arah ke tempat adanya setitik cahaya di ujung terowongan.

Bagaimana kita menyikapi persoalan yang dihadapi anggaran kita dan menghubungkan kita dengan keberhasilan memperoleh utang baru? Kita melihat betapa luasnya fleksibilitas anggaran, mengingat asumsi-asumsi yang mendasarinya betul-betul bisa dipertanyakan. Apakah itu kurs rupiah yang Rp 7.300, sementara kurs sekarang ada pada level Rp 8.900, ataukah harga minyak per barel yang diasumsikan sebesar US$ 22, sementara harga saat sekarang di atas US$ 32 per barel, jelas seluruh hitung-hitungan tentang berapa nilai rupiah pinjaman luar negeri, berapa pembayaran pokok utang, berapa penerimaan migas, dan berapa subsidi BBM adalah subject to change dalam arti yang seluas-luasnya.

Karena itu, fungsi anggaran sebagai fungsi alokasi dan distribusi bisa berubah-ubah setiap saat, sehingga bukan mustahil bahwa kalaupun target pajak yang begitu ambisius tidak terlaksana, secara total penerimaan dalam negeri bisa saja tetap tertolong. Perbedaan US$ 8 per barel serta perbedaan kurs sebesar Rp 1.500 per US$ 1 jelas bisa menghasilkan perbedaan perolehan rupiah yang amat berarti. Untuk mudahnya, kita hitung selisihnya sebesar 8 x 365 (jumlah hari) x Rp 1.500 (selisih kurs) x 1,46 juta (produksi barel per hari) x 85 persen (perhitungan kasar penerimaan pajak migas), yang mendekati Rp 5,5 triliun. Ini berarti penerimaan RAPBN 2001 dari penerimaan sumber daya alam (SDA) bukanlah Rp 53 triliun, melainkan Rp 58,5 triliun, sehingga penerimaan pajak dalam negeri yang tidak sesuai dengan sasaran dapat saja dikompensasi dari penerimaan pajak migas yang kini disebut sebagai penerimaan bukan pajak. Dengan perkataan lain, begitu banyak faktor ketidakpastian sehingga membaca APBN kini memerlukan kehati-hatian yang cukup serius, melebihi masa-masa lampau, terutama pada masa Orde Baru ketika berbagai asumsi hampir-hampir mendekati akurasi, baik itu kurs rupiah, perkiraan inflasi, maupun harga migas.

Yang menarik dari berbagai laporan tentang sidang CGI adalah backgrounder yang dibuat oleh lembaga-lembaga seperti World Bank dan IMF, ketika lembaga-lembaga tersebut tampaknya tidaklah terlalu gembira dengan prestasi pemerintah yang ada. Laporan Bank Dunia berjudul Indonesia: Accelerating Recovery in Uncertain Times, October 13, 2000 sangat menekankan perlunya memperbaiki pemerintahan (improving governance) sebagai syarat mutlak bagi keberhasilan pemulihan—hal yang tampaknya antara lain mewujud dari kritik yang muncul di sidang CGI menyangkut penundaan divestment BCA dan Bank Niaga. Memang sangat tidak masuk akal penjelasan pemerintah bahwa divestment tersebut semata-mata dilakukan agar Indonesia dapat memperoleh harga yang lebih baik. Ini sama dengan mengatakan, "Biarlah kami perlukan utang Anda, tetapi kami belum berniat menjual mobil kami, kendati penjualan mobil tersebut akan mengurangi defisit rumah tangga. Siapa tahu tahun depan harga mobil lebih baik." Bila ada orang yang mampu menjamin bahwa harga saham ataupun private placement lebih baik tahun depan, jelas orang tersebut luar biasa ahli di pasar modal, mungkin lebih ahli dari Robert Rubin, mantan Menteri Keuangan AS itu.

Yang pasti, kondisi keterpurukan kita tidaklah berubah kalaupun kita memperoleh bantuan CGI itu. Kenapa? Semata-mata karena kunci recovery tetaplah keberhasilan restrukturisasi utang-utang dan rekapitalisasi perbankan. Sementara itu, di sini pemerintahan Gus Dur, baik ketika di bawah Menteri Kwik Kian Gie maupun kini di bawah Menteri Rizal Ramli, hanyalah menambah kontroversi di masyarakat. Tentunya ini bukan kesalahan kedua menteri koordinator itu semata, tapi terutama bersumber dari sumbernya kekuasaan itu sendiri, yaitu sang Presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum