Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Salah Kaprah Hutan Adat

Memasukkan hutan adat ke skema perhutanan sosial melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. Peraturan pemerintah tentang hutan adat perlu dibuat.

28 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Kehutanan terhadap UUD 1945 telah berumur 10 tahun.

  • Pemerintah dinilai melanggar putusan Mahkamah Konstitusi 35/2012 dengan memasukkan hutan adat ke skema perhutanan sosial.

  • Pemerintah juga dinilai tidak menjalankan mandat Undang-Undang Kehutanan membuat peraturan pemerintah tentang pengelolaan hutan adat.

SELASA, 16 Mei lalu, tepat 10 tahun Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Permohonan itu diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu. Dalam putusan nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan pada 16 Mei 2013 itu, MK menyatakan Undang-Undang Kehutanan yang memasukkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara bertentangan dengan UUD 1945.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemohon meminta pengujian Pasal 1 ayat 6; Pasal 4 ayat 3; Pasal 5 ayat 1, 2, 3, dan 4; serta Pasal 67 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Kehutanan. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan tersebut, yakni untuk Pasal 1 ayat 6; Pasal 4 ayat 3; serta Pasal 5 ayat 1, 2, dan 3. MK menolak permohonan untuk Pasal 5 ayat 4 dan Pasal 67 yang di antaranya menyatakan pengukuhan keberadaan masyarakat adat ditetapkan dengan peraturan daerah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto mengatakan langkah yang ditempuh institusinya setelah adanya putusan MK nomor 35/2012 itu adalah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak. "Kemudian terus mengalami perbaikan dan penyempurnaan untuk bisa melakukan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat hukum adat," kata Bambang melalui jawaban tertulis, Ahad, 21 Mei lalu.

Menurut Bambang, regulasi yang mengatur hutan adat tercantum dalam Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Pemerintah tentang Perhutanan Sosial. Menurut dia, berbagai terobosan telah dilakukan Kementerian untuk mempercepat penetapan hutan adat. “Salah satunya melalui penyederhanaan produk hukum daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat menjadi cukup satu peraturan daerah untuk satu kabupaten/kota yang kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan kepala daerah,” tuturnya. 

Ihwal permohonan penetapan status hutan adat yang belum dilengkapi keputusan pengakuan masyarakat hukum adat dan penetapan peta wilayah adatnya oleh pemerintah daerah, menurut Bambang, Kementerian dapat memfasilitasi identifikasi dan pemetaan wilayah adat melalui pembentukan tim terpadu yang melibatkan pemerintah daerah dan instansi terkait. "Jadi tetap dilakukan verifikasi lapangan dan hasilnya ditetapkan menjadi wilayah indikatif hutan adat dengan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan," ujarnya.

Selain membuat regulasi, Bambang mengatakan, Kementerian telah bersinergi dengan instansi lain. Perihal pembentukan peraturan daerah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, Bambang menyebutkan pihaknya rutin berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri yang berwenang mengawasi penerbitan peraturan daerah. "Untuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, kita terus berkoordinasi soal pendaftaran tanah ulayat dan sertifikat komunal yang ada dalam kebijakan Kementerian ATR/BPN," ucapnya.

Menurut Bambang, sejak penyerahan surat keputusan pengakuan hutan adat pertama oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2016, telah terbit sebanyak 108 surat keputusan pengakuan hutan adat. Ia menyebutkan luasnya telah mencapai sekitar 153.322 hektare. "Surat keputusan itu meliputi 52.167 keluarga di 17 provinsi dan 36 kabupaten/kota,” katanya. “Untuk indikatif hutan adat ada 17 provinsi dan 30 kabupaten/kota dengan luas keseluruhan 952.862 hektare."

Saat ini, Bambang menambahkan, tim terpadu penetapan hutan adat KLHK sedang memverifikasi hutan adat di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. "Akan terus berlanjut untuk melakukan percepatan terhadap wilayah-wilayah yang sudah siap produk hukumnya, seperti Kabupaten Pidie di Aceh, Mentawai di Sumatera Barat, dan Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat. Untuk wilayah timur ada Kabupaten Sorong, Tambrauw, dan Maybrat."

Pengajar pada Departemen Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Yance Arizona, mengatakan kebijakan pemerintah memasukkan hutan adat ke skema perhutanan sosial telah melanggar putusan MK nomor 35/2012. Menurut dia, dalam skema perhutanan sosial, statusnya adalah hutan negara yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. "Sedangkan hutan adat itu, MK sudah sangat jelas dalam putusan nomor 35/2012 melepaskan hutan adat dari hutan negara," kata Yance melalui sambungan telepon Kamis, 25 Mei lalu.

Yance, yang meraih gelar PhD bidang hukum dan masyarakat Universiteit Leiden, Belanda, pada 2022, mengatakan, sejak terbit putusan MK nomor 35/2012, pemerintah tidak pernah menjalankan mandat Undang-Undang Kehutanan membuat peraturan pemerintah mengenai pengelolaan hutan adat. KLHK, dia melanjutkan, malah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2015 dengan memasukkan hutan adat ke kategori hutan hak. "Seharusnya bukan membuat peraturan baru, tapi mengubah peraturan yang lama tentang hutan hak," tutur Yance.

Menurut dia, jika serius melindungi hutan adat, pemerintah harus menyusun suatu regulasi dengan metode omnibus. Yance mengatakan aturan khusus itu mengoreksi pengaturan masyarakat adat yang tersebar di beberapa regulasi sektoral. "Yang saya bayangkan itu seperti model kodifikasi Undang-Undang Pemilu, bukan omnibus law model Undang-Undang Cipta Kerja,” katanya. “Dia jadi satu undang-undang tersendiri untuk jadi rujukan semua sektor."

Dalam perumusannya, Yance melanjutkan, tawaran regulasi baru itu tidak mengubah undang-undang sektoral seperti metode yang diterapkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut Yance, regulasi baru yang lebih melindungi masyarakat adat itu harus menarik pasal-pasal terkait yang tersebar di Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perkebunan, serta Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. "Itu jadi rujukan semua sektor untuk menjamin hak masyarakat adat," ucapnya.

Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia Agung Wibowo mengatakan pemerintah tidak pernah serius menjalankan putusan MK nomor 35/2012 sebagai sebuah semangat melindungi hak masyarakat adat. Sejak hutan adat dipisahkan dari status hutan negara, menurut Agung, pemerintah malah menyamakan hutan adat dengan entitas bisnis yang juga masuk kategori hutan hak. Menurut Agung, permasalahan makin bertambah ketika terbit Undang-Undang Cipta Kerja.  

Agung menyebutkan terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial sebagai konsekuensi lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja telah menghapus mandat resolusi konflik dalam penetapan hutan adat yang melibatkan pihak negara. "Penyelesaian konflik tidak lagi masuk regulasi penetapan hutan adat sehingga pemerintah menghindari penetapan bagi wilayah adat yang masih ada tumpang-tindih izin," kata Agung melalui sambungan telepon, Rabu 24 Mei lalu.

Menurut dia, tanpa adanya konflik lahan pun masyarakat telah kesulitan mendapatkan hak pengelolaan hutan adat. Agung menyebutkan penetapan hutan adat dengan lampiran dokumen seperti pembuatan peraturan daerah serta adanya peta wilayah dan institusi berupa paguyuban bakal memberatkan bagi masyarakat adat. "Bahkan harus berhadapan dengan skema verifikasi teknis, yakni ada orang KLHK datang ke lapangan bertanya kepada masyarakat adat seperti masih memungut hasil hutan. Biasanya itu jadinya seperti intimidasi," tuturnya.

Agung mengatakan pihaknya pernah menyelenggarakan rapat koordinasi nasional percepatan penetapan hutan adat dengan melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, KLHK, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat pada 24 Januari 2018. Berbagai pihak yang hadir, dia melanjutkan, telah menandatangani berita acara tentang pembahasan dan telaah teknis peta-peta potensi hutan adat. Dalam kesepakatan tersebut terdapat data luas potensi hutan adat per wilayah, yakni Sumatera 449.709 hektare, Jawa-Bali-Nusa Tenggara 117.944 hektare, Kalimantan 3.633.246 hektare, Sulawesi 859.533 hektare, dan Maluku-Papua 1.145.383 hektare. 

"Total target potensi hutan adat dalam kesepakatan rapat koordinasi hutan adat tersebut adalah seluas 6.205.815 hektare,” kata Agung. Menurut Agung, disepakati pula dalam rapat koordinasi itu perlunya tindak lanjut untuk menyegerakan percepatan penetapan hutan adat. “Tapi itu tidak pernah dilakukan, malah pemerintah menjadikan hutan adat masuk skema perhutanan sosial yang rawan ditumpangi ketika ada proyek strategis nasional," ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus