Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran arsip dan karya seniman Decenta.
Pelopor dan perintis di bidangnya pada masanya.
Karyanya mewarnai sejumlah proyek penting di negeri ini.
ENAM lelaki dalam poster terlihat bersahaja. Bergaya di depan sepeda ontel dan duduk di sebuah kursi, mereka mengenakan celana cutbray berpadu dengan hem lengan panjang yang digulung. Salah satunya mengenakan kaus oblong saja sambil bersedekap. Itulah para pendiri perusahaan desain PT Decenta yang beranggotakan A.D. Pirous dan Adrian Palar, Priyanto Sunarto, G. Sidharta, T. Sutanto, Sunaryo, serta Priyanto Sunarto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam lelaki itu pernah menangani berbagai proyek desain bangunan di Indonesia yang prestisius. Arsip desain PT Decenta pada sejumlah bangunan penting di berbagai tempat di Indonesia dipamerkan di Galeri Salihara, Jakarta Selatan. Pameran berjudul "Daya Gaya Decenta" yang berlangsung selama 14 Mei-25 Juni 2023 itu dikurasi oleh Chabib Duta Hapsoro dan Asikin Hasan. Pameran ini menampilkan karya cetak saring, dokumentasi proyek desain grafis, dan elemen estetik bangunan dokumentasi Galeri Decenta. Pameran ini membawa pengunjung ke perjalanan tentang seni rupa dan desain di Indonesia, juga menilik kembali sejarah pencarian identitas serta peran seni untuk pembangunan dan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Decenta menjelajahi beraneka ragam hias tradisi Indonesia untuk mengeksekusi berbagai proyek bangunan. Lihatlah foto proyek-proyek gedung yang ditangani Decenta. Gedung Convention Hall (Jakarta Convention Center) misalnya. Proyek inilah yang mempertemukan A.D. Pirous, G. Sidharta, Sunaryo, Sutanto, dan Priyanto Sunarto untuk bekerja sama merancang elemen estetik. Mereka harus menggarap lima pintu gedung ini yang mewakili lima identitas budaya Indonesia dari barat ke timur. Dari proyek inilah Decenta lahir.
Foto dokumentasi elemen estetik Convention Hall, Jakarta (Jakarta Convention Center) yang ditangani oleh Decenta ditampilkan dalam pameran Daya Gaya Decenta di Galeri Salihara, Jakarta, 27 Mei 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Dalam proyek lain, mereka harus menampilkan budaya Indonesia di Pavilion Indonesia Expo di Osaka, Jepang. Logo Paviliun Indonesia untuk acara Expo’70 yang berwujud seperti burung garuda berwarna merah itu dirancang oleh T. Sutanto. Adapun lewat A.D. Pirous, seniman kaligrafi ternama, Decenta ikut mengelola Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Ke-12 pada 1981 di Banda Aceh. Karya Pirous berwujud goresan kaligrafi Surat Al-Ikhlas berbahan kaca berukuran 3 x 60 meter mewarnai pembukaan acara MTQ tersebut. Karya lain berupa pintu kayu jati dan prasasti berperada emas pada batu granit berpahat nama Bung Karno yang dibuat dengan teknik pahat di makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur, pada 1979.
Ada pula Masjid Jami Husnul Khatimah di Pulau Laut, Kalimantan Tengah (1985). Bagian fasad masjid itu dihiasi kaligrafi dari bahan tembaga dengan teknik las, scraf, dan dipatina. Di Cirebon, Jawa Barat, gedung Bank Ekspor Impor serta pelindung dari sinar matahari dan relief pada pintu utama juga hasil desain para seniman Decenta.Pusat belanja tak luput dari ide desain Decenta. Gedung Batik Keris di Jakarta didesain Decenta berwujud kaca patri pada atap rotunda gedung. Juga gereja. Fasad dan ruang utama Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus, Mangga Besar, didesain dengan kaca patri. Lihatlah pula foto dokumentasi hiasan puncak pada kemuncak joglo di kompleks makam Astana Giribangun.
Foto pusat perbelanjaan Batik Keris, DKI Jakarta tahun 1983 yang berwujud kaca patri dalam pameran Daya Gaya Decenta di Galeri Salihara, Jakarta, 27 Mei 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Duo kurator Asikin dan Chabib membagi materi pameran dalam ruang-ruang dan bidang dinding yang berbeda warna. Sejumlah arsip foto, dokumentasi, serta struktur organisasi diperlihatkan dalam pameran ini. Juga ada sejumlah flyer, arsip administrasi, serta foto-foto pendiri Decenta dalam sejumlah pose dan suasana kerja. Terlihat jadul tapi menunjukkan daya kekuatan kreasi dan kreativitas para seniman Decenta. Termasuk dalam penciptaan dan penjelajahan pada teknik cetak saring yang dikenalkan oleh G. Sidharta. Fasilitas laboratorium fotografi, bengkel, sablon, dan tukang sablon dengan keterampilan mumpuni memberikan para seniman ini keleluasaan.
“Decentalah yang menemukan istilah cetak saring. Itu istilah dari Pak Pirous dan Pak Sidharta," ujar Diddo Kusdinar, pegrafis lulusan Institut Teknologi Bandung yang mengomentari teknik ini. Para seniman ini bebas berkreasi dan bereksperimen dengan teknik, warna yang cemerlang dan solid, atau reproduksi foto yang detail, gradasi multiwarna yang mulus serta pertemuan yang presisi pada lapisan bidang yang rumit. Dengan eksperimen ini, Asikin menjelaskan, anggota Decenta berkesempatan menemukan gaya ungkap baru pada medium lain, seperti lukisan dan patung.
Tengoklah komentar (almarhum) Priyanto, salah satu anggota Decenta yang tertulis di sebidang dinding. “Dengan cetak saring ini kami bisa berfoya-foya dengan warna. Kami gambar di atas orto dan bisa segera ditransfer ke screen. Di sini kami tidak punya bayangan efisiensi, seperti itulah ekstasenya." Dari "kredo" itu bisa disimpulkan para anggota Decenta berusaha mengembangkan seni modern yang diperoleh di ITB. Menarik juga penjelasan A.D. Pirous melalui video mengenai kekayaan visual Nusantara. Mereka berusaha mengolah kekayaan seni tradisi Nusantara dalam seni modern, bukan tradisi yang ditempel-tempelkan, tapi tradisi yang menjadi dasar seni modern.
Logo Pavilion Indonesia Expo '70, Osaka yang dirancang oleh T. Sutanto dalam Pameran Daya Gaya Decenta di Galeri Salihara, Jakarta, , 27 Mei 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Asikin Hasan menjelaskan, ia mengumpulkan materi pameran dari pinjaman koleksi beberapa tokoh yang masih hidup, terutama A.D. Pirous, Sunaryo, dan T. Sutanto. Mereka juga meminjam dari keluarga tokoh yang sudah meninggal, Dewan Kesenian Jakarta, dan beberapa lembaga lain di seni rupa ITB. Pada pertengahan 1980-an, Decenta pecah dan bubar karena banyak faktor.
Setiap anggota juga makin berkembang dari sudut artistik, organisasi, ekonomi, dan sebagainya. Kemudian mereka membuat kelompok atau lembaga baru sendiri-sendiri. Asikin menilai, selama 10 tahun berkarya, Decenta memperlihatkan spektrum yang luas. Hal ini terlihat dari cara mempertahankan diri dengan dua kaki, yakni seni murni (berkarya bebas) dan desain (yang terikat oleh pesanan yang dijalankan dengan pola manajemen modern).
”Perlu diingat pula pada masa itu profesi desainer (grafis) baru muncul,” ujar Asikin. Ada pula pekerjaan-pekerjaan elemen estetik yang melibatkan kerja bersama dengan arsitek dan ahli tata ruang sebuah gedung. Dengan kata lain, Decenta bisa dilihat sebagai perintis di bidang ini pada masanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Decenta, Sebuah Perjalanan".