Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M. Zen sibuk membolak-balik berkas setebal 61 halaman. Itulah berkas putusan Mahkamah Agung tertanggal 3 April 2009 yang menolak permohonan kasasi yang diajukan Yayasan terhadap penanganan kasus semburan lumpur Lapindo. ”Kami akan mengajukan peninjauan kembali,” kata Patra, Selasa pekan lalu.
Dalam gugatan yang diajukan pada 2006, Yayasan menggugat Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Badan Pengelola Migas, Gubernur Jawa Timur, Bupati Sidoarjo, dan Lapindo Brantas Inc. Tapi gugatan itu kandas. Dalam putusannya pada 27 November 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan pemerintah dan Lapindo sudah optimal menangani semburan lumpur. Putusan ini kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 13 Juni 2008.
Dalam permohonan peninjauan kembali yang akan dikirim pekan depan ini, Yayasan meminta hakim memeriksa ulang perkara tersebut dengan memperhatikan fakta hukum di lapangan, yakni masih ada korban lumpur yang haknya belum dipulihkan. ”Kami harap Ketua Mahkamah Agung yang menjadi ketua majelisnya,” ujar Patra. Yayasan, kata Patra, juga akan mengajukan bukti baru (novum) berupa hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tentang penggunaan dana penanggulangan lumpur.
Perjuangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggugat mereka yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya bencana di Sidoarjo itu juga kandas di meja hijau. Yang digugat antara lain PT Lapindo Brantas, PT Energi Mega Persada, Medco Energi, Santos Brantas Energy, Presiden, dan Bupati Sidoarjo. Menurut Walhi, mereka yang digugat ini telah melakukan perbuatan hukum yang mengakibatkan semburan lumpur dan kerusakan lingkungan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Desember menolak gugatan tersebut. Majelis menyatakan lumpur yang muncrat itu disebabkan oleh fenomena alam. Di tingkat banding, lagi-lagi hakim menyatakan para tergugat itu tak bersalah. ”Kami tak melihat ada harapan mendapatkan keadilan dari pengadilan,” kata Manajer Hukum dan Advokasi Walhi Iki Dulagin.
Sementara gugatan perdata sudah meluncur ke atas, dan kalah, lain lagi nasib pidananya. Sampai kini, berkas penyidikan Lapindo dalam status ”hilir-mudik” antara Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Kejaksaan Tinggi. Sudah empat kali berkas penyidikan tersebut dikembalikan jaksa ke polisi. ”Alasannya kurang lengkap,” kata juru bicara Polda Jawa Timur, Komisaris Besar Pudji Astuti. Pengembalian terakhir, ujar Pudji, pada 6 April lalu dengan catatan polisi mendalami keterangan saksi ahli. ”Padahal hasil penyidikan sudah lengkap dan disimpulkan bahwa peristiwa semburan lumpur tersebut karena kesalahan manusia,” kata Pudji. Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 13 tersangka. Salah satunya General Manager PT Lapindo Imam P. Agustino.
Untuk menyingkap kasus ini, polisi telah memeriksa 60 saksi, termasuk para pelaksana lapangan, aparat pemerintah Sidoarjo, dan BP Migas. Polisi juga meminta keterangan 21 ahli berbagai ilmu, dari geologi, minyak, pengeboran, hingga gempa.
Kendati hasil penyidikan mereka selalu dikembalikan kejaksaan, Pudji menyatakan polisi tak akan menghentikan penyidikan kasus ini. ”Kami akan berupaya maksimal,” ujarnya. ”Kalau perlu, menambah jumlah saksi.”
Di Jakarta, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga menyatakan penyebab semburan itu merupakan masalah pokok yang mesti dijawab. ”Apakah karena human error atau bencana alam,” ujarnya.
Menurut Ritonga, jika bukti yang menyatakan semburan itu akibat kesalahan manusia tidak kuat, para tersangka kelak akan bebas di pengadilan. ”Kami tidak mau mereka bebas,” ujarnya. Kalau ini terjadi, ujar Ritonga, ”Bisa saja Lapindo juga dibebaskan membayar ganti rugi.”
Sementara kejaksaan masih berkutat menuntut polisi menyiapkan bukti bencana itu lantaran ulah manusia, lain lagi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisi hakulyakin biang keladinya kesalahan manusia. ”Itu disebabkan human error, bukan bencana alam,” kata ketua tim ad hoc penyelidikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat, Kabul Supriyadhie.
Timnya, kata Kabul, akan membuktikan ada-tidaknya dugaan pelanggaran hak asasi berat dalam peristiwa semburan lumpur tersebut. Bila nanti ditemukan unsur pelanggaran hak asasi berat, ujar Kabul, hasil penyelidikan tim diserahkan ke kejaksaan. ”Kemudian bergulir ke pengadilan,” katanya.
Kepada Tempo, Vice President Relations PT Lapindo Brantas Yuniwati Teryana menyatakan Lapindo sepenuhnya menyerahkan penyelesaian kasus ini ke aparat hukum. ”Itu bukan domain kami,” kata Yuniwati.
Rini Kustiani, Rohman Taufiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo