Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUK soal lingkungan hidup, jarang terdengar hakim berpihak pada tuntutan rakyat. Meski lingkungannya tercemar, toh pemerintah ataupun pengusaha yang digugat selalu berada di atas angin. Contoh yang paling kontroversial adalah vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Medan terhadap PT Inti Indorayon Utama, pada Agustus 1989.
Semula, pabrik bubur kertas dan rayon di Sosorladang, Porsea, Sumatra Utara itu digugat warga masyarakat lantaran waduk lagoon-nya yang berisi limbah pabrik jebol dan mencemari Sungai Asahan. Ternyata, pengadilan menolak gugatan warga. Alasannya, pencemaran itu tak terbukti.
Dengan dalil senada, pada Maret 1997 Pengadilan Negeri Lubukpakam, Deliserdang, Sumatra Utara, pada Maret 1997, juga menolak gugatan 263 petani dan buruh kecil terhadap PT Sari Morawa. Padahal, perusahaan pembuat kertas sembahyang Cina itu telah mencemari Sungai Seibelumai.
Ternyata, pada Senin dua pekan lalu, Pengadilan Negeri Kapuaskuala, Kalimantan Tengah, bersikap berani. Majelis hakim yang diketuai Rosalie R. Suan memenangkan gugatan warga terhadap proyek lahan gambut sejuta hektare. Pemimpin megaproyek itu, Gubernur Kalimantan Tengah, serta empat orang menteri--Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Menteri Keuangan-- diharuskan membayar ganti rugi Rp 2 miliar kepada 49 penggugat.
Syahdan, sejak Juli 1996, 49 petani di Desa Batanjung, Kapuas, mengaku sangat dirugikan oleh proyek lahan gambut. Sebab, kolam ikan dan kolam pembibitan ikan mereka digusur tanpa pembayaran ganti rugi. Setelah proyek berjalan, sumber penghasilan mereka itu juga menjadi kekurangan air. Itu sebabnya mereka menuntut ganti rugi Rp 3,2 miliar--tapi dikabulkan Rp 2 miliar oleh hakim.
Persoalannya, akankah keempat menteri serta gubernur dan pemimpin proyek mematuhi vonis hakim. Mungkin mereka naik banding. Para pejabat itu hanya pembantu presiden. Megaproyek tersebut lahir lantaran adanya keputusan presiden. Melalui Keppres No. 82 dan 83/1995, plus Keppres No. 74/1998, Presiden Soeharto menghibahkan--bukan pinjaman--dana reboisasi Rp 527,2 miliar kepada Ari Sigit dan Sudono Salim untuk pengembangan lahan gambut.
Dengan demikian, mestinya presiden yang bertanggung jawab atas kerugian masyarakat. Untuk soal ini, Dr. Albert Hasibuan, Ketua Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara, berpendapat bahwa perkara proyek lahan gambut mengandung dua aspek. Pertama, tanggung jawab pelaksanaan proyek, yang tetap ada pada pemerintah. Yang kedua, tanggung jawab Soeharto semasa menjadi presiden. Karena keppres untuk proyek gambut diduga berunsur penyalahgunaan kekuasaan dan merugikan keuangan negara, tanggung jawab Soeharto bisa dituntut melalui Kejaksaan Agung.
Happy S. dan Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo