Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Tokoh Ciganjur

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sangat menarik kolom Arief Budiman pada Majalah TEMPO edisi No. 17/ 23 November 1998 yang bertajuk "Pemimpin, di Mana Kau". Terus terang, referensi saya mungkin tak sehebat Pak Arief. Namun saya ingin mengutarakan beberapa hal yang saya saksikan sepanjang peristiwa sebelum hingga sesudah tragedi Semanggi, agar Pak Arief setidaknya dapat mengetahui sosok para tokoh-Kelompok Ciganjur dari kacamata seorang awam yang mudah-mudahan dapat membuat Pak Arief dapat lebih arif lagi dalam menilai mereka.

  1. Mengenai sosok Gus Dur, Sri Sultan, dan Megawati yang besar karena memiliki kharisma titisan serta Amien Rais yang kental sosok akademisnya memang harus diakui bersama. Saya menaruh perhatian khusus terhadap sepak terjang Amien Rais yang saya nilai memang memiliki warna tersendiri daripada ketiga "temannya". Kalau boleh saya katakan, dengan pikiran, kritik, saran, dan gebrakannya, bahkan keberaniannya dalam "berkata apa adanya" Amien Rais telah membuka cakrawala baru sistem budaya politik bangsa Indonesia, yang sebelumnya terbelenggu dalam penjara kemunafikan, eufemisme, interpretasi monopolistik, bahkan ketakutan dan apatisme dalam menyikapi berbagai masalah bangsa. Sungguh sangat jarang kita menemukan tokoh semenonjol dan sekonsisten sepak terjang Amien sepanjang sejarah Orde "kegelapan" Baru. Saat setiap orang enggan bicara, apalagi mencalonkan diri menjadi presiden; mempertanyakan bentuk negara kesatuan, UUD 1945, Pancasila; dan lain-lain yang selalu disakralkan. Pada saat itu beliau justru melakukan desakralisasi yang kemudian membuka mata seluruh rakyat Indonesia, termasuk saya yang akhirnya beranggapan bahwa segalanya ternyata "tak masalah untuk dibicarakan bahkan didiskusikan''. Dia pun gigih menggugat KKN dan kebijakan-kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dianggap merugikan rakyat dan negara tercinta. Tak cuma itu, dia pun membudayakan demokrasi dan dialog dalam menyelesaikan persoalan dengan siapa pun yang menentangnya (bukannya membungkam dengan kekerasan atau menghindar, seperti yang dilakukan pemimpin lain).
  2. Sebelum peristiwa Semanggi terjadi, saya tidak tahu kalau Ratna Sarumpaet telah berusaha menghubungi keempat tokoh Ciganjur yang kemudian mendapatkan jawaban kurang memuaskan. Menurut pikiran logis saya, kalau benar mereka enggan, pasti karena mereka tidak ingin "memimpin" pergerakan menggagalkan SI MPR dan menggantinya dengan presidium yang dianggap tidak konstitusional dan tidak konsisten dengan deklarasi yang telah mereka telurkan (tidak gampang bagi pemimpin untuk menarik kembali kata-katanya apalagi telah berbentuk "deklarasi").
  3. Ungkapan Amien Rais yang mensyaratkan agar salah satu deklarator Ciganjur bersamanya ke MPR (plus wakil mahasiswa?) bukanlah sebagai tanda bahwa Amien tak sanggup mengambil keputusan sendiri. Menurut pikiran logis saya, beliau tidak ingin dianggap mengkhianati yang lain atau seenaknya jalan sendiri (dan memang tidak etis). Bagaimanapun secara psikologis beliau sudah "terikat" dengan kelompok Ciganjur di mana ditekankan faktor kesetaraan. Kecuali jika Gus Dur, Sri Sultan, dan Megawati sudah memberi mandat kepadanya tentu lain ceritanya.
  4. Meskipun demikian, bukan berarti Amien Rais tidak memiliki kepedulian terhadap situasi yang kian memanas. Jika Pak Arief sempat menyimak Seputar Indonesia RCTI pada Jum’at 13 November malam, dengan segala keterbatasan wewenangnya, Amien Rais berusaha tampil dalam sesi wawancara untuk mengutarakan gagasannya terhadap pemecahan masalah. Antara lain beliau mengimbau kepada pimpinan SI MPR agar tidak arogan, berendah hati, serta mau menunda penutupan sidang beberapa jam untuk menerima sekitar 50 wakil mahasiswa yang sedang berunjuk rasa di luar gedung.

Karena bagaimanapun, setuju atau tidak dengan tujuan mereka, para mahasiswa tersebut bermaksud ingin menyampaikan aspirasi. Jadi, biarlah wakil mereka bertemu langsung dengan wakil rakyat dan mengutarakan unek-unek sepuasnya. Lalu dibuat catatan penting sebagai pertimbangan untuk ditindaklanjuti walaupun tap MPR telah ditelurkan. Untuk itu, massa mahasiswa harus mundur terlebih dulu dan menenangkan diri, lalu menentukan wakil-wakil mereka. Hal ini juga untuk menghindari adanya penyusupan provokator yang dapat mengacaukan situasi. Petugas keamanan pun harus mampu menahan diri. Bagi saya, usul ini sangat bagus kalau dilaksanakan, dan dapat mencegah lebih banyak korban. Sayang, Amien Rais tak memiliki cukup wewenang untuk "mengatur langsung" sebab hal itu hanya bisa dilakukan oleh penguasa resmi (dalam hal ini Presiden Habibie atau Ketua Majelis). Usul dan ungkapannya, meskipun baik, hanyalah sebatas imbauan. Karena itu, ketika di akhir wawancara beliau berniat ingin turun ke lapangan untuk membantu ikut menenangkan massa (meskipun diakuinya tak mudah menenangkan massa yang sedang emosional), saya pesimis sekaligus cemas. Mengapa? Mahasiswa dan masyarakat barangkali masih mau mendengarkannya, tapi bagaimana dengan aparat? Apalagi dalam suasana malam, saat membedakan kawan dan lawan sangat susah. Bisa-bisa musuh politik yang tak menyukainya berupaya mengambil kesempatan itu untuk membunuhnya dan seperti biasa, hukum takkan sanggup menyelesaikannya. Maka tamatlah riwayat Amien Rais. Itulah kecemasan saya yang mungkin pula menjadi kecemasan banyak rakyat Indonesia.

Jadi, menurut saya, tulisan Pak Arief Budiman--yang termasuk salah seorang tokoh yang saya sukai, yang mengesankan seolah-olah Amien Rais tak memiliki kepedulian terhadap situasi genting, tak sepenuhnya beralasan. Karena ungkapan dan niatnya yang tampak bahkan hingga detik-detik terakhir penutupan SI MPR telah mencerminkan upayanya yang keras untuk mengatasi masalah. Tapi apa daya, beliau hanya seorang tokoh oposisi yang berada di luar jalur kekuasaan resmi, yang tentu saja tidak punya wewenang mengatur ABRI apalagi MPR.

Saya setuju dengan Pak Arief bahwa sejarah tragedi Semanggi telah berusaha mengetuk pintu kita dan kita semua tahu, tokoh mana yang telah berupaya keras membukanya. Meskipun tak membuahkan hasil, saya percaya, jutaan mata hati bangsa dan rakyat Indonesia yang arif telah menyaksikan upaya tersebut, sekecil apa pun bentuknya! Salam untuk Pak Arief Budiman!

BAMBANG S. WIJAYA
Jalan M.H. Thamrin No. 48-B
Bau-bau, Buton 93712
Sulawesi Tenggara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus