Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ironi Sang Jenderal

Menteri Dalam Negeri Inggris Jack Straw setuju Pinochet diekstradisi ke Spanyol. Namun bekas diktator Cile ini tak akan menyerah begitu saja.

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tua, renta, dan terhina. Begitulah nasib buruk yang kini harus dilakoni Jenderal Augusto Pinochet Ugarte. Setelah House of Lords, lembaga hukum tertinggi di Inggris, menolak status kekebalan bekas diktator Cile itu, Menteri Dalam Negeri Inggris Jack Straw mengabulkan permintaan ekstradisi atas Pinochet dari Spanyol. Ini adalah sebuah keputusan yang tidak terlalu mengejutkan mengingat Jack Straw semasa kuliahnya dikenal sebagai mahasiswa berhaluan kiri yang pernah berunjuk rasa menentang Pinochet. Penghinaan pertama yang harus dituai Pinochet setelah keputusan Straw ini adalah penggelaran penyidikan awal di pengadilan rendah Inggris di London. Padahal, pengadilan ini biasanya berurusan dengan para kriminal--baik yang kakap maupun yang teri--muncikari, serta pelacur. Namun Pinochet harus rela menjalaninya karena ini adalah peluang untuk menyelamatkan dirinya. Penyidikan awal yang dimaksudkan untuk membuktikan tuduhan ini oleh pengacara Pinochet sekaligus dimanfaatkan sebagai ajang pengajuan banding. Ekstradisi memang tidak serta-merta bisa dilakukan. Bila House of Lords nantinya mengesahkan permintaan ekstradisi ini, barulah Pinochet bisa dibawa ke Spanyol. Proses ini diperkirakan oleh para pakar hukum di Inggris akan memakan waktu sekitar dua tahun. Saat ini, dari rumah peristirahatannya di pinggir Kota London, bisa jadi Pinochet menyesali keputusannya tahun 1990 untuk turun dari tampuk kekuasaan. Bayangkan saja, pernyataan-pernyataan yang dikeluarkannya mencerminkan keyakinan Pinochet. "Tak ada selembar daun pun bisa berpindah bila tidak atas izinku," tutur Pinochet pada 1981. Tujuh tahun kemudian ia mengklaim bahwa dirinya telah membersihkan Cile dari kaum Marxis. Bahkan, pada awal kekuasaannya, ia pernah sesumbar, "Satu hari saya akan mati, pengganti saya pun akan mati, namun tak akan pernah ada pemilihan umum." Malang bagi Pinochet, ia terlalu yakin bahwa rakyat Cile masih menginginkan kepemimpinannya ketika ia mengadakan plebisit tahun 1990. Memang ia hanya kalah tipis, tapi ia harus turun dari kursi kepresidenan. Seandainya ia bersikeras menggunakan kekuasaannya untuk bertahan, barangkali ia masih bisa berlenggang kangkung seperti halnya pemimpin rezim militer Kongo, Laurent Kabila, di Prancis. Drama Pinochet memang penuh paradoks. Pertama, ia telah melakukan kudeta berdarah atas pemerintahan Allende, dan setelah itu ribuan orang harus menemui ajal atau hilang karena menentangnya. Namun sistem ekonomi bebas yang diperkenalkannya membuat angka pertumbuhan Cile menjulang di kawasan Amerika Selatan. Bila dibandingkan dengan situasi eknomi masa Allende, perbedaannya bagai bumi dan langit. Resep pembangunan kiri seperti nasionalisasi perusahaan swasta yang diterapkan Allende telah menyebabkan inflasi sampai 500 persen tahun 1973. Pasar gelap meluas, cadangan devisa habis, dan yang tak terelakkan adalah huru-hara yang berkepanjangan. Paradoks kedua adalah ditangkapnya Pinochet di Inggris, negara yang dianggapnya kampung halaman kedua. Maklum, Cile berada di belakang Inggris saat negara itu berperang melawan Argentina berebut Malvinas tahun 1982. Tak mengherankan bila rekan Pinochet, bekas PM Margaret Thatcher, mengecam penangkapan ini dan menyatakan sebagai kesalahan besar. Hal ironis berikutnya, Pinochet, menurut hukum Spanyol, terlalu tua untuk bisa dipenjarakan karena usianya yang sudah melebihi 75 tahun. Akibat langsung dari keputusan Jack Straw itu adalah ditariknya duta besar Cile untuk Inggris sebagai pernyataan protes. Akibat lain adalah tersampaikannya dua pesan penting bagi para penguasa di seluruh dunia. Menurut sebagian ahli hukum Inggris, seperti yang terjadi pada Pinochet, tuntutan yang serupa bisa diajukan kepada Ratu Elizabeth II atas tindakan Inggris di Irlandia Utara, atau kepada Presiden Amerika Serikat Bill Clinton atas pengeboman di Irak. Yusi A. Pareanom Sumber: Associated Press & Washington Post

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus