Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di proyek lahan gambut, bukan hanya alam yang menjerit, hajat hidup penduduk setempat ikut "diterjang" proyek tersebut. Proyek itu telah menjadikan warga Desa Batanjungkapuas, Kalimantan Tengah, sebagian dari lokasi proyek itu, kehilangan mata pencarian. Sejumlah tatah (kolam ikan dewasa) dan beje (kolam pembibitan) milik mereka terpotong kanal.
Nasib baik menghampiri masyarakat Batanjungkapuas pada era reformasi ini. Gugatan mereka ke Pengadilan Negeri Kapuaskuala, yang dilakukan Juli lalu, akhirnya dimenangkan oleh hakim, Senin dua pekan lalu. Dari sembilan menteri yang mereka tuduh bertanggung jawab terhadap bencana itu, empat di antaranya, yakni Menko Ekuin/Ketua Bappenas, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Menteri Keuangan diwajibkan membayar ganti rugi Rp 2 miliar.
Proyek ambisius inisiatif bekas presiden Soeharto itu dimulai tahun 1995, ketika pemerintah berkeinginan memenuhi swasembada pangan. Maklum, produksi pangan di Jawa dan pulau-pulau lain diperkirakan tidak cukup memenuhi pemintaan beras nasional. Maka disulaplah lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah itu menjadi areal persawahan yang bisa ditanami padi.
Namun proyek besar itu ternyata tidak disiapkan dengan perencanaan yang matang. Salah satu bentuk perencanaan yang mentah itu adalah soal pengairan. Untuk mengairi lahan gambut itu dibangunlah kanal air utama sepanjang 122 kilometer dari rencana total sepanjang 750 kilometer dan lebar 25 meter. Tapi, karena luasnya lahan, tidak semua petak lahan bisa terairi.
Selain itu, penebangan pohon untuk pembangunan kanal itu menjadikan gerusan air tidak tertahan. Akibatnya, beberapa bagian lahan gambut berubah menjadi danau. "Idealnya, saluran irigasi itu mengikuti kedalaman gambut. Nah, ini dibuat lurus saja, sehingga ketika ada lapisan gambut yang dalam, irigasi jebol," kata Rusdian Lubis, Direktur Amdal Bapedal. Selain itu, kanal yang dibangun di bawah permukaan batas air lahan gambut menyebabkan air tersedot. Akibatnya lahan menjadi kering-kerontang.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (amdal) proyek ini memang tidak disiapkan dari awal. Menurut Rusdian Lubis, amdal regionalnya baru dibuat enam bulan setelah proyek berjalan. Rekomendasi yang dikeluarkan Bapedal agar proyek ini dibatasi 100 ribuan hektare saja tampaknya juga tidak digubris.
Nilai ekonomis proyek raksasa itu pun dipersoalkan. Sebab, dari Rp 2,5 triliun uang yang dipakai untuk membiayai proyek itu, hasilnya tidak kelihatan. Saat ini, menurut Koensatwanto, Kepala Biro Pengairan dan Irigasi Bappenas, baru 35 ribu hektare lahan yang dimanfaatkan oleh 12.500 kepala keluarga transmigran sebagai lahan tanam. Tiap transmigran mendapat 2 hektare tanah pertanian dan seperempat hektare untuk halaman. Secara keseluruhan jumlah itu terlalu kecil untuk duit Rp 2,5 triliun.
Di samping itu, kondisi tanah yang asam menjadikan lahan gambut bukan merupakan lahan yang subur bagi pertanian, apalagi untuk tanaman pangan. Ada memang cara untuk mengurangi keasaman, yakni dengan menabur bubuk kapur. Namun paling tidak dibutuhkan 30 ton kapur untuk menetralkan asam per 1 hektare lahan. Bisa dibayangkan berapa lagi duit yang mesti dikeluarkan untuk mendatangkan kapur untuk sejuta hektare lahan.
Melihat keadaan ini, wajar memang bila banyak pihak menghendaki proyek itu segera dihentikan. Paling tidak, menurut Emmy Hafidz dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, pemerintah harus menutup lahan yang kedalaman gambutnya di atas setengah meter. Soalnya, di lahan yang gambutnya lebih tebal pasti sulit ditanami tanaman pangan.
Selain itu, pengembalian keadaan lahan gambut ke bentuk asalnya memakan waktu paling tidak 40 tahun. Soal itu pasti tidak penting bagi mereka yang diuntungkan oleh proyek tersebut.
Arif Zulkifli, I G.G. Maha Adi, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo