Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Kecaman bertambah terhadap pemagaran laut yang disusul terbitnya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, dan sejumlah lokasi lain di pesisir utara Jawa. Kecaman terkini datang dari profesor kelautan di Universitas Airlangga (Unair), Muhammad Amin Alamsjah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amin menilai pembuatan pagar laut mencederai keadilan sosial. Selain itu, kasus-kasus tersebut juga berpotensi merusak tatanan ekologis dan ekonomi masyarakat pesisir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menegaskan, pemasangan pagar laut dan penerbitan HGB bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Pasal itu berbunyi ‘Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’.
“Artinya, wilayah laut tidak dapat dimiliki secara pribadi atau perusahaan,” kata Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unair itu lewat keterangan tertulis yang dibagikan pada Minggu, 26 Januari 2025.
Amin juga menyatakan bahwa pembangunan pagar laut berisiko menimbulkan kerusakan ekosistem perairan. Menurutnya, pembatasan pagar laut dapat mempercepat sedimentasi, mengurangi carrying capacity (jumlah populasi maksimal) di wilayah perairan, dan merusak nursery ground atau daerah asuhan dari organisme kecil atau belum dewasa. “Dampak jangka panjangnya yakni merusak nursery ground dari benih ikan dan mengancam habitat biota laut seperti terumbu karang dan padang lamun,” tuturnya
Amin menambahkan, ancaman juga mengintai para nelayan yang sehari-hari menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut. Sebab, pagar laut membuat akses mereka terbatas dan harus mencari wilayah baru untuk melaut. Paada akhirnya, kawasan pesisir yang menjadi sumber penghidupan nelayan tradisional bisa terdegradasi. "Akibatnya, produktivitas perikanan menurun, dan mata pencaharian masyarakat terganggu,” katanya menambahkan.
Laut Pemersatu Bangsa
Amin memastikan bahwa tindakan privatisasi laut yang sewenang-wenang akan menciptakan konflik kepentingan. Hal ini bertentangan dengan fungsi laut sebagai media pemersatu bangsa dan penyokong kesejahteraan masyarakat secara kolektif.
Terlebih, dia menekankan, wilayah laut harus dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan segelintir pihak. Ketika pengelolaannya melanggar hukum atau merugikan masyarakat luas, negara seharusnya memiliki kewenangan untuk membatalkan kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, kasus pagar laut di Tangerang dan Bekasi dimintanya menjadi pengingat bahwa laut bukan hanya sekadar ruang fisik, namun juga sumber kehidupan bagi jutaan masyarakat Indonesia. "Maka, pelanggaran terhadap tatanan kelautan harus dihentikan. “Negara wajib mengambil tindakan tegas untuk membatalkannya,” kata Amin.
Ke depan, Amin menyarankan agar perlindungan laut harus menjadi prioritas nasional. Sebab, Indonesia sebagai negara maritim memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa lautan tetap menjadi berkah bagi seluruh rakyatnya, bukan hanya milik segelintir pihak.