Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kicauan burung seolah jadi lagu penyambut tamu di Desa Sumberklampok, Buleleng, Bali. Cuit-cuit itu berasal dari puluhan spesies burung di Taman Nasional Bali Barat, yang bersebelahan dengan desa yang berjarak 12 kilometer dari Pelabuhan Gilimanuk ini. Kor semakin merdu oleh iringan nyanyi sekawanan jalak Bali (Leucopsar rothschildi).
Burung khas Pulau Dewata itu sungguh cantik. Bulunya putih bersih, dengan sedikit hitam pada ujung sayap dan ekor. Matanya yang cokelat dikelilingi kelopak biru tua. Bila berkicau, jambulnya tegak menantang langit. Jambul si jantan lebih tinggi ketimbang yang betina. Penduduk lebih mengenalnya dengan sebutan curik.
Namun nasib burung itu tidak seelok perawakannya. Pembangunan pusat wisata dunia itu membuat habitat asli curik—hutan mangrove, hutan pantai, hutan musiman, dan savana—tergerus. Di luar kerangkeng, mereka hanya bisa ditemui di Semenanjung Prapat Agung, Tanjung Berumbun, dan Tanjung Gelap Pahlengkong, wilayah yang termasuk Taman Nasional Bali Barat.
Di hutan seluas 19 ribu hektare itu cuma terdapat 20-25 pasang jalak Bali. Itu pun kebanyakan hasil pelepasliaran dari penangkaran. "Yang murni lahir dan tumbuh di sini diperkirakan tidak lebih dari lima ekor," kata Nana Rukmana, Kepala Resor Pembinaan Populasi Curik Taman Nasional Bali Barat, kepada Tempo di lokasi dua pekan lalu.
Statusnya yang terancam punah dilindungi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. Toh, beleid ini tidak melindungi mereka dari predator alami. Warna bulu curik yang terang membuatnya jadi sasaran empuk elang, pemangsa utama, yang juga menghuni belantara itu. Ini belum menghitung masalah mendapatkan makanan yang dialami curik hasil pelepasliaran, yang sejak lahir terbiasa disuapi manusia.
Untuk mencegah terus anjloknya populasi curik, aktivis lingkungan yang tergabung di Yayasan Seka mengajak warga Desa Sumberklampok jadi penangkar jalak Bali. Letaknya yang tepat di tepi Taman Nasional dianggap tepat sebagai rumah curik, yang tergolong satwa endemik alias hanya bisa berkembang biak di habitat aslinya.
Mereka juga melobi Taman Nasional agar memperlancar izin yang diterbitkan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Bali. Perjanjian menyebutkan warga mendapat pinjaman jalak Bali dengan jaminan sapi. Setelah dua tahun, indukan plus dua anaknya diserahkan kepada pemilik asal, Taman Safari Indonesia. Anakan lain jadi hak penangkar dan bebas diperjualbelikan. Harga pasarannya cukup membuat mata melotot, mencapai Rp 25 juta sepasang.
Sembari menunggu izin, warga menyiapkan kandang dari batako dan berpintu jeruji besi. Kandang 20 meter persegi itu memiliki beberapa sel yang luasnya sekitar 2 x 1 meter, lengkap dengan jerami untuk mengerami telur. Investasinya mencapai enam juta rupiah. Belum termasuk Rp 500 ribu per bulan untuk membeli pakan. "Biaya yang tidak sedikit bagi kami," kata Misnawi, 51 tahun. Petani sayuran ini ditunjuk jadi Ketua Kelompok Manuk Jegeg—atau burung cantik—yang terdiri atas 12 penangkar di Sumberklampok.
Berbulan-bulan dinanti, sang bintang datang Mei lalu. Diantar Gubernur Made Mangku Pastika, 30 pasang jalak Bali tiba di Sumberklampok. Dua belas pasang diserahkan kepada warga, tiga pasang ke yayasan, dan sisanya ditempatkan di Taman Nasional. Warga tumpah ruah ke jalan. "Seperti menunggu anak hilang yang pulang ke rumah," kata Istiyarto Ismu, pengurus Yayasan Seka.
Curik termasuk burung yang produktif. Mereka bisa bereproduksi sejak usia delapan bulan dan memiliki harapan hidup sampai 20 tahun. Dalam setahun, mereka bertelur dua sampai tiga kali. Seperti aktivis antipoligami, burung ini setia kepada pasangan. Tapi, jika pasangannya mulai mandul, curik akan melirik calon lain.
Namun teori tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Cikal misalnya. Kelahirannya di tanah leluhurnya tidak berujung manis. Sejak kakinya patah saat dipasangi cincin, nafsu makannya hilang. Dia menolak semua asupan favorit, seperti pisang kepok dan telur semur merah. Anakan yang dipelihara Ismu ini hanya bertahan 30 hari. Akhir bulan lalu, dia mati di kandang milik Yayasan Seka di Sumberklampok. Dari total delapan anakan, hanya separuhnya yang bertahan hidup.
Abdulkadi, 60 tahun, tercatat sebagai penangkar paling produktif dengan tiga anakan. Pernah menjadi pemburu dan penjual jalak Bali sejak 1974 sampai 1980-an, dia berbagi pengalaman. Menurut dia, curik bisa menghasilkan dua atau tiga butir sekali bertelur. Masa pengeramannya sekitar empat pekan, tapi kerap menyisakan telur sonder hasil. Begitu menetas, dia melanjutkan, anakan harus segera dipisahkan dari induknya. Sebab, mereka bukan tipe orang tua yang patut digugu. Entah kenapa, induk suka mematuk-matuk anaknya. "Sering sampai mati," kata Abdulkadi. Dia memilih mengungsikan anakannya di Yayasan Seka, yang memiliki inkubator, kotak berbentuk microwave dan dilengkapi penghangat. Di tempat itu, anakan diberi pakan sedikit demi sedikit saban jam.
Rahabid, 38 tahun, tidak mau kalah berbagi tip. Menurut dia, jalak Bali sangat mudah terganggu kehadiran manusia. Saat Tempo mengintip dari balik jeruji kandang, mereka langsung jumpalitan tanda panik. "Saya sampai tidak ganti baju 20 hari supaya mereka bisa mengenali saya," katanya. Dari 15 pasang yang ada di Sumberklampok, baru tiga pasang yang berhasil bertelur. Nana Rukmana dari Taman Nasional Bali Barat berjanji akan menambah pasangan indukan bagi penangkar yang sukses dalam pengembangbiakan.
Di luar desa itu, ada 13 penangkar lain yang mengantongi izin dari Badan Konservasi. Semuanya berbentuk yayasan atau lembaga, termasuk Kebun Binatang Bali. Cuma satu individu terselip, yaitu Mario Blanco, putra pelukis legendaris Antonio Blanco.
Mario mengembangbiakkan curik sejak 2005, dan memiliki 80 ekor yang dipelihara di rumahnya di Ubud. Ini jumlah yang lebih banyak daripada populasi asli jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat, yang terpaut jarak sekitar 150 kilometer. Burung-burung itu ditempatkan dalam sangkar berukuran 10 x 2 meter dan tinggi tiga meter. Pasangan yang sudah kawin ditempatkan di kandang tersendiri. Sisanya dibiarkan ngeriung sembari cari jodoh. Rumah yang juga diramaikan oleh merak, cucakrowo, kakatua, dan nuri itu jadi tempat berguru para penangkar Sumberklampok. "Jalak Bali memang harus dimasyarakatkan," ujar pria 49 tahun ini.
Mario tergolong nekat karena memelihara jalak Bali tanpa izin. Dia baru mengantongi izin penangkaran dua tahun lalu. Sebelum itu, dia kerap kena razia dan koleksi burung langkanya disita petugas Badan Konservasi. "Tapi barang sitaan malah dititipkan di sini. Barangkali karena cara pemeliharaan saya lumayan," katanya terkekeh.
Mario jadi satu-satunya orang yang memiliki izin edar, dokumen wajib dalam setiap transaksi dan pemindahtanganan burung ini. Para penangkar di Sumberklampok baru akan mengurus izin edar dua tahun mendatang, setelah mereka mengembalikan indukan yang dipinjam dari Taman Safari Indonesia. Baru tibalah masa panen. "Selain ikut pelestarian, kami ingin memperoleh manfaat ekonomi," kata Misnawi dari Manuk Jegeg. Bayangan fulus terbentang di matanya. Curik yang berkicau di belakangnya seperti mengiyakan ucapan sang majikan.
Reza Maulana, Wayan Agus (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo