Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Tulisan Arsitek yang Lain

Buku alternatif arsitektur. Sudut pandang pribadi, berbicara tentang filsafat dan hakikat.

19 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur
Penulis: Avianti Armand
Penerbit: PT Gramedia Pusaka Utama
Tahun: 2011
Tebal: 243 halaman

Tepat seperti judulnya, buku Arsitektur yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur adalah esai-esai arsitektur yang "lain". Baik masalah-masalah maupun gaya penulisannya berbeda. Avianti Armand membahas arsitektur secara luas—bukan sekadar gaya dan dekorasi bangunan. Penulis juga memasukkan wawasan filosofi dan hakiki dalam porsi besar. Misalnya, jendela bukan dibahas motif, gaya, dan bahannya, melainkan sebagai batas interior dan eksterior. Beragam peristiwa teramati akibat fungsi jendela.

Membaca tulisan Avianti, yang juga arsitek praktek, terasa aneh bila dibandingkan dengan gaya penulisan arsitektur arus besar di media cetak. Umumnya mereka menulis arsitektur lebih konkret, seperti tren rumah minimalis, tip hunian green, penggunaan bahan-bahan alam, atau tentang pencahayaan hemat energi. Foto-foto berwarna nan cantik selalu melengkapi tulisan arsitektur "yang kita kenal".

Kumpulan esai Avianti tidak "konkret", lagi pula topiknya luas. Bahasannya bergerak dari rumah ibadah, kota, monumen, hingga kecentilan orang kaya urban. Dapur bersih dan dapur kotor, untuk membedakan tempat memasak menu Barat oleh nyonya rumah dengan menu sehari-hari oleh pembantu, merupakan sindiran lucu dari si penulis—yang juga tak bisa menolak permintaan kliennya si pemilik uang berlebih. Usia produktif dapur bersih itu segera berakhir setelah si pemilik bosan dengan les memasak ke mantan koki hotel bintang lima dan memamerkan "keahliannya" kepada tetamu yang diundang ke dapur bersihnya.

Sebagai kumpulan tulisan—sebagian besar tulisan Avianti sudah diterbitkan di majalah gaya hidup U Mag—masing-masing bagian tidak berhubungan. Mungkin justru karena tidak menyambung itulah kita bisa memiliki jeda untuk merenungkan dan mencerna makna masing-masing bagian. Setelah membahas arsitek Indonesia yang moncer di luar negeri tapi tak dikenal di negeri sendiri ("Arsitek Indonesia = Arsitek Dunia?"), bagian berikutnya adalah tentang deskripsi Jakarta 2046, sebuah kota di ambang kehancuran akibat ketidakhirauan orang dalam membangun ("2046"); lalu "melejit" dengan bahasan "Kosong". "Memang sulit memahami yang kosong. Tak semua orang mengerti bahwa dalam sebuah bejana, yang hampa itulah yang berarti—bukan tanah liat yang melingkupinya," tulisnya.

Benang merah yang bisa ditarik dari esai-esainya adalah kegelisahan dan sikap pribadi penulis. Sedangkan inti kritik yang dia sampaikan sebenarnya sudah menjadi pembahasan hangat para arsitek, baik di milis arsitek maupun dalam diskusi-diskusi. Seperti "pengebirian" makna arsitektur, kota yang amburadul, pengimitasian (kitsch) yang menggelikan, pemaknaan karya-karya besar terdahulu, hingga kegalauan akan integritas profesi arsitek ditulis dengan gaya dan subyektivitas Avianti.

Kegelisahan Avianti bisa dipahami karena arsitek yang bersikap seperti itu cukup banyak. Mereka mungkin gerah melihat pengetahuan publik berarsitektur terbatas pada brosur-brosur pameran properti dan majalah arsitek populer. Pemahaman sebatas model rumah minimalis modern bercorak green dan cluster townhouse eksklusif. Atau orang kagum pada gedung Mahkamah Konstitusi yang bergaya neoklasik tapi berkolom ganjil—seharusnya genap—yaitu sembilan buah, demi merepresentasikan jumlah hakim, sembilan orang. Hingga terjadi, seperti ditulis Avianti, rumah bergaya Mediterania di Puncak.

Avianti—dan cukup banyak arsitek muda yang hidup di zaman kesalahan menjadi kebiasaan—mengkritik salah kaprah dan penurunan derajat arsitektur. Kritik sebenarnya sudah diserukan oleh yang lama berarsitek. Arsitek senior Han Awal, misalnya, tetap memiliki kegelisahan terhadap arsitektur negerinya. Keprihatinan Han terhadap gedung Dewan Perwakilan Rakyat berkubah hijau yang dirancang koleganya, Sujudi, senapas dengan kekhawatiran Avianti terhadap stadion Gelora Bung Karno. Han, 80 tahun, tetap risau dengan rencana pembangunan gedung baru DPR yang tak menghormati karakter gedung pendahulunya, seperti Avianti yang menyesalkan turun pamor nya stadion yang pernah perkasa itu.

Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus