Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Petaka 13 Turunan

Robert Knoth, fotografer Belanda, merekam nasib para korban bencana nuklir Chernobyl. Sampai sekarang ternyata masih berdampak.

19 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masa belia Annya Pesenko habis untuk berbaring di ranjang rumahnya. Gadis kelahiran Gomel, Belarus, pada 1990 itu sangat kurus, sehingga kepalanya terlihat lebih besar daripada tubuhnya. Setiap 15 menit ibunya, Valentina Pesenko, harus mengubah posisi tidur Annya agar tak mengalami cedera otot. Tangan Valentina juga rajin memijat-mijat kaki putrinya yang lunglai supaya peredaran darah tetap lancar.

Annya lahir empat tahun setelah reaktor nuklir Chernobyl di Ukraina, yang berbatasan dengan Belarus, meledak pada 26 April 1986. Radiasi beracunnya menyebar mencapai rumah Annya di wilayah selatan Belarus. Pada 1994, gadis berambut ikal kemerahan itu mencoba jadi anak yang baik dengan menyuap makanannya sendiri, tapi suapannya sering meleset dan jatuh ke meja makan.

Karena sangat khawatir, Valentina membawa Annya ke dokter, yang kemudian memastikannya menderita tumor otak. Kanker itu diangkat lewat operasi, tapi Annya tak pernah pulih sepenuhnya. Annya mendapat sertifikat korban bencana Chernobyl bernomor 000358 dan berhak memperoleh perlakuan khusus dari pemerintah Belarus.

”Sertifikat Nomor 000358: 25 Tahun Setelah Chernobyl” adalah judul pameran foto karya Robert Knoth di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung, yang berlangsung hingga 28 September 2011. Sebagian besar dari 54 fotonya tampil dalam format hitam-putih, yang menguatkan kesuraman hidup para korban. Kisah hidup Annya mendapat porsi terbesar. Robert membuat tiga esai foto, yang diambilnya pada 2005, 2010, dan 2011, yang masing-masing terdiri atas 9-12 foto. Kameranya menangkap perkembangan hidup Annya yang berangsur membaik walau dia masih lemah dan harus sering berbaring. Kini tubuh penggemar musik pop Rusia yang bercita-cita menjadi disc jockey itu mulai berisi. Pada bidikan terbarunya, Robert merekam Annya yang tersenyum di kursi roda dikelilingi rekan-rekannya. Foto suasana saat wisuda sekolah itu tampil berwarna.

Menurut kurator pameran, Malcolm Smith, Robert merasa akrab dengan Annya. Kedekatannya itulah yang membawa fotografer asal Belanda tersebut rela bolak-balik mendokumentasikan hidup para korban nuklir Chernobyl. ”Radiasi nuklir masih di dalam badan selama 13 generasi,” kata Malcolm. Saat ini ribuan orang di Belarus, Ukraina, Kazakstan, dan Rusia menderita berbagai penyakit serius akibat pencemaran nuklir, seperti kanker otak, rahim, dan tiroid, penyakit tulang, atau keterbelakangan mental. Robert menyambangi wilayah yang tercemar itu dari dekat sejak 1999.

Robert juga merekam korban yang tak selamat dan harus mati lebih dini, seperti sepasang janin cacat. Dia memotretnya di Institut Riset Kedokteran Radiasi. Institut itu banyak mengumpulkan janin dan jasad anak cacat. Radiasi nuklir telah menyebabkan mutasi genetis dan cacat lahir yang serius. Karena itu, kata Malcolm, banyak pasangan muda di sana yang takut menikah dan terpaksa melakukan aborsi.

Karya Robert, kata Malcolm, bukan ingin menebar horor. Gambar-gambarnya yang alami dan menantang tidak terlihat mengeksploitasi penderitaan korban. Kedekatan fotografer dengan obyek fotonya berhasil mengungkap masalah sosial dan lingkungan yang dahsyat itu dengan hangat, tidak dengan nafsu menggebu-gebu. Di tengah masyarakat kontemporer yang terus dibanjiri gambar-gambar kekerasan dan bencana karya para jurnalis di Internet dan media massa utama, Robert menawarkan keintiman sebagai kekuatan foto-fotonya, ”Serta rasa hormat yang ia tunjukkan kepada mereka,” ujar Malcolm.

Selain ingin membuktikan dampak nuklir Chernobyl yang masih berlangsung sampai hari ini, Robert menggambarkan semangat hidup, harapan, dan sisi manusiawi para korban. Di Muslumovo, Rusia, misalnya, kaum remaja menggelar pesta disko setiap Sabtu malam untuk lari sesaat dari masalah tinggal di lingkungan yang tercemar dan miskin. Sebagian anak muda di Desa Narodichi, Ukraina, pada 2005 bahkan mengambil risiko berenang di sungai yang masih tercemar. Pemerintah setempat menyatakan desa itu masuk zona 2, yang artinya tidak boleh dihuni karena wilayahnya tercemar, tapi masyarakatnya terlalu miskin untuk pindah.

Fotografer kelahiran Rotterdam, Belanda, berusia 48 tahun itu memulai karier sebagai jurnalis foto pada 1993. Sepanjang 1990-an, ia meliput banyak daerah konflik di Afrika, Asia, dan Balkan. Karya-karyanya mulai dikenal setelah dimuat di beberapa media massa internasional, seperti New York Times, Der Spiegel, Sydney Morning Herald, dan Sunday Telegraph Magazine. Karyanya beberapa kali meraih penghargaan, termasuk World Press Photo Award pada 2000 dan 2006.

Selain mengerjakan proyek foto tentang bencana nuklir Chernobyl, Robert Knoth memantau konflik di Afganistan dan Pakistan sejak 1996. Kini ia juga menyambangi daerah-daerah yang terkena dampak ledakan reaktor nuklir Fukushima di Jepang pada Maret lalu.

Walaupun peristiwa Chernobyl terjadi 25 tahun silam, dampaknya kini masih berlangsung. Bagi Indonesia, pameran foto hasil kerja sama ITB dengan Greenpeace Asia-Pasifik ini penting karena pemerintah belum membatalkan rencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir.

Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus