Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kehutanan dan Sumber Daya Air di Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Pungky Widiaryanto, mengungkap keputusan Pulau Balang tak dimasukkan menjadi bagian IKN. Keputusan itu, menurut dia, bakal berdampak baik untuk populasi dugong dan pesut mahakam di Teluk Balikpapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konferensi pers OIKN pada Senin, 25 Maret 2024, Pungky mengatakan sempat ada wacana untuk memasukkan Pulau Balang menjadi bagian dari IKN untuk memudahkan pemantauan. Perdebatan, kata Pungky, kemudian terjadi untuk pilihan yang sebaliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya, setelah mempertimbangkan aspek administrasi kewilayahan dan pemerintahan, serta adanya permintaan dari Pemerintah Daerah Penajam Paser Utara dan Balikpapan, diputuskan Pulau Balang dikeluarkan dari wilayah IKN. Ini, kata Pungky, membawa plus minus pada pengelolaan pesut dan dugong.
Minusnya, menurut dia, wilayah IKN yang mengelola Teluk Balikpapan menjadi lebih sempit. "Namun, pada satu sisi kami malah lebih fokus untuk mengawasi dampak pembangunan dan menjaga kelestarian keanekaragaman hayati di Teluk Balikpapan, khususnya dugong dan pesut," kata dia.
Sebelumnya, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Rio Rompas menyatakan melihat ancaman deforestasi hutan bukan hanya di kawasan inti IKN, tapi juga ada di wilayah perluasan atau pengembangannya. "Kami menemukan masih ada sekitar 31 ribu hektare atau setengah dari luas Jakarta yang akan berpotensi hilang karena pembukaan IKN,” tuturnya pada 4 Maret 2024.
Selain itu disebutkannya ancaman bahaya lingkungan lain turut menghantui pembukaan kawasan tersebut. Di antaranya adalah sekitar 23 jenis spesies hewan terancam kritis atau critical endangered species.
“Yang paling penting sebenarnya ada habitat orang utan, pesut mahakam, dan bekantan. Itu tiga jenis yang memang akan terdampak langsung," kata Rio sambil menambahkan, "Mereka hidup di wilayah itu dan juga bagian dari spesies endemik di Kalimantan.”.
Jauh sebelum konferensi pers malam ini dan proses pembangunan IKN dilakukan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) telah mengungkap tiga masalah jika megaproyek ibu kota baru tersebut dipaksakan dijalankan. Di antaranya adalah ancaman terhadap flora dan fauna.
Bagi flora dan fauna, terburu-burunya pembangunan IKN akan membuat tekanan terhadap habitat satwa liar yang pada akhirnya akan meningkatkan risiko konflik satwa dan manusia. Adapun terkait pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, wilayah IKN dikatakan Walhi sebagai wilayah yang rentan terhadap pencemaran minyak. Pada kasus sebelumnya, lokasi tersebut adalah yang terdampak dari pencemaran minyak tumpahan Pertamina.