KILANG kayu (sawmill) yang banyak tumbuh di Kalimantan telah
dituding sebagai biang keladi pencemaran sungai. Air sungai
Mahakam, misalnya, tak lagi jernih. Jangankan meminumnya, untuk
dipakai mandi saja orang di hilirnya kadang-kadang enggan.
Kendati demikian, masih banyak penghuni tepian Mahakam terpaksa
memanfaatkan air sungai itu untuk minum.
Tak ada pilihan lain Sumur di sana yang digali sampai kedalaman
5 meter, masih tampak kotor airnya. Sedang air PAM (Perusahaan
Air Minum) belum terjangkau rakyat kecil. Akibatnya, Puskesmas
di Samarinda sering dibanjiri penderita sakit lambung. Air
Mahakam membelah ibukota Kal-Tim itu. Diduga penyebab penyakit,
seperti dikemukakan dr Soepangat Ps, Kepala DKK Samarinda kepada
Aan Reamur Gustam dari TEMPO, "obat pengawet kayu dari sawmil."
Sembrono
Kilang kayu di tepi Mahakam memang kini sudah berjumlah 22.
Paling mencemaskan Soepangat adalah kilang kayu yang didirikan
sebelah hulu Samarinda -- yang sebenarnya bertentangan dengan
rencana induk kotamadya.
Sejak April lalu mulai beroperasi pula di sebelah hulu Samarinda
pabrik kayu lapis (plywood) milik PT Sumber Mas Timber. Masih
ada sebuah lagi pabrik baru berdiri belakangan ini.
Belum terdengar reaksi para pengusaha kilang kayu maupun kayu
lapis terhadap sinyalemen dr Soepangat. Dr Herman Haeruman Js,
staf ahli Menteri Negara PPLH, pernah mensinyalir hal yang sama
di Sungai Kapuas, Kal-Bar. Maret 1977, ahli kehutanan itu
meresahkan dalam suatu laporan penelitiannya tentang cara
pengawetan kayu ramin oleh kilang di sana. PT sumi Indah Raya,
misalnya, menggunakan larutan 200 liter Na PCP (natrium
pentachlorophenol), BHC (benzena hexachlorida) dan borax yang
diencerkan dengan air, untuk merendam tiap 10 m3 kayu
gergajiannya.
Bahan pengawet kayu ramin itu berbahaya, karena sifatnya
persistent (tak mudah terurai), akumulatif, dan cenderung
menempel pada partikel lumpur. Na PCP-nya mudah larut ke air
sehingga, kalau dibuang atau merembes ke sungai dapat meracuni
ikan. Juga kesehatan atau bahkan nyawa para pekerja di kilang
kayu dapat terganggu, apabila bahwa pengawet itu diperlakukan
dengan kurang hati-hati.
Dr Haeruman dkk menganjurkan agar para pengusaha dan buruh kayu
betul-betul memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 7/1973
tentang Pestisida. Misalnya para pekerja harus dilengkapi dengan
alat pengaman, dan sisa obat pengawet itu supaya dibuang jauh
dari sungai dalam bak beton, agar tak dapat merembes ke sungai
lewat lapisan tanah.
Ketua Komisi Pestisida, Soenardi, dalam suatu wawancara TEMPO
pernah pula mengemukakan bahwa merosotnya produksi udang galah
di muara Kapuas -- serta musnahnya beberapa jenis ikan tertentu
-- disebabkan oleh penggunaan PCP secara semberono oleh para
pengusaha kayu. Malah beberapa buruh kayu sudah tewas karena PCP
yang dapar mengendap dalam tubuh lewat kulit, hidung atau mulut.
Para pengusaha kayu pertengahan 1975 beralih ke pestisida BHC
teknis (gamma) yang dinilai mereka lebih aman. Padahal di negara
tetangga Filipina, misalnya, pemakaian BHC sudah dilarang di
dekat sungai atau danau untuk mencegah pemusnahan populasi ikan
dan udang.
Pembantu TEMPO G.Y. Adicondro yang 2 kali berkunjung ke Kal-Sel
dan Kal-Teng tahun ini, mendapat laporan bahwa tahun lalu obat
pengawet ramin terhirup oleh seorang buruh kilang kayu PT Guntur
di dekat Buntoi, Kahayan Hilir. Buruh itu meninggal. Harian
Banjarmasin Post, 19 Juni, memberitakan pula tentang buruh
kilang kayu PT Kaboli di bilangan Kuala Kapuas, Kal-Teng, yang
mati akibat obat pengawet ramin.
BP mengungkapkan juga bahwa nelayan di muara S. Katingan merosot
tangkapannya akibat pencemaran sungai oleh kilang kayu. Daerah
Pegatan Mendawai yang dulunya terkenal sebagai penghasil ikan
kering, terasi, petis dan ebi (udang papai), kini jauh merosot
produksi hasil-hasil laut dan sungainya.
Ratusan kilang kayu di hilir Barito yang setahunnya menelan
jutaan m3 dolok ramin merupakan sumber pencemaran sungai yang
potensiil juga. Puluhan juta liter cairan pencelup ramin --
sebelum dan sesudah digergaji -- dibuang mereka secara
semberono.
Sebelum sampai di penggergajian, dolok-dolok (logs) kayu ramin
yang dihanyutkan dari hulu itu sudah disemprot atau dilabur
lebih dahulu dengan cairan pengawet kreosot. Cairan kimia itu
hanya menutupi permukaan batang kayu, dan segera tercuci ke air
setelah rakit-rakit kayu itu dihanyutkan ke hilir.
Meskipun daya bunuhnya tak sehebat Na YCP atau BHC, toh larutan
kreosot itu dapat mengganggu kehidupan ikan (dan nelayan
sungai).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini