Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Racun Sungai Di Kalimantan

Kilang-kilang kayu di Kalimantan di tuding sebagai biang keladi pencemaran air sungai, karena membuang obat pengawet kayu secara sembrono. Para pengusaha belum mengindahkan PP No.7/1973 tentang pestisida.(ling)

11 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KILANG kayu (sawmill) yang banyak tumbuh di Kalimantan telah dituding sebagai biang keladi pencemaran sungai. Air sungai Mahakam, misalnya, tak lagi jernih. Jangankan meminumnya, untuk dipakai mandi saja orang di hilirnya kadang-kadang enggan. Kendati demikian, masih banyak penghuni tepian Mahakam terpaksa memanfaatkan air sungai itu untuk minum. Tak ada pilihan lain Sumur di sana yang digali sampai kedalaman 5 meter, masih tampak kotor airnya. Sedang air PAM (Perusahaan Air Minum) belum terjangkau rakyat kecil. Akibatnya, Puskesmas di Samarinda sering dibanjiri penderita sakit lambung. Air Mahakam membelah ibukota Kal-Tim itu. Diduga penyebab penyakit, seperti dikemukakan dr Soepangat Ps, Kepala DKK Samarinda kepada Aan Reamur Gustam dari TEMPO, "obat pengawet kayu dari sawmil." Sembrono Kilang kayu di tepi Mahakam memang kini sudah berjumlah 22. Paling mencemaskan Soepangat adalah kilang kayu yang didirikan sebelah hulu Samarinda -- yang sebenarnya bertentangan dengan rencana induk kotamadya. Sejak April lalu mulai beroperasi pula di sebelah hulu Samarinda pabrik kayu lapis (plywood) milik PT Sumber Mas Timber. Masih ada sebuah lagi pabrik baru berdiri belakangan ini. Belum terdengar reaksi para pengusaha kilang kayu maupun kayu lapis terhadap sinyalemen dr Soepangat. Dr Herman Haeruman Js, staf ahli Menteri Negara PPLH, pernah mensinyalir hal yang sama di Sungai Kapuas, Kal-Bar. Maret 1977, ahli kehutanan itu meresahkan dalam suatu laporan penelitiannya tentang cara pengawetan kayu ramin oleh kilang di sana. PT sumi Indah Raya, misalnya, menggunakan larutan 200 liter Na PCP (natrium pentachlorophenol), BHC (benzena hexachlorida) dan borax yang diencerkan dengan air, untuk merendam tiap 10 m3 kayu gergajiannya. Bahan pengawet kayu ramin itu berbahaya, karena sifatnya persistent (tak mudah terurai), akumulatif, dan cenderung menempel pada partikel lumpur. Na PCP-nya mudah larut ke air sehingga, kalau dibuang atau merembes ke sungai dapat meracuni ikan. Juga kesehatan atau bahkan nyawa para pekerja di kilang kayu dapat terganggu, apabila bahwa pengawet itu diperlakukan dengan kurang hati-hati. Dr Haeruman dkk menganjurkan agar para pengusaha dan buruh kayu betul-betul memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 7/1973 tentang Pestisida. Misalnya para pekerja harus dilengkapi dengan alat pengaman, dan sisa obat pengawet itu supaya dibuang jauh dari sungai dalam bak beton, agar tak dapat merembes ke sungai lewat lapisan tanah. Ketua Komisi Pestisida, Soenardi, dalam suatu wawancara TEMPO pernah pula mengemukakan bahwa merosotnya produksi udang galah di muara Kapuas -- serta musnahnya beberapa jenis ikan tertentu -- disebabkan oleh penggunaan PCP secara semberono oleh para pengusaha kayu. Malah beberapa buruh kayu sudah tewas karena PCP yang dapar mengendap dalam tubuh lewat kulit, hidung atau mulut. Para pengusaha kayu pertengahan 1975 beralih ke pestisida BHC teknis (gamma) yang dinilai mereka lebih aman. Padahal di negara tetangga Filipina, misalnya, pemakaian BHC sudah dilarang di dekat sungai atau danau untuk mencegah pemusnahan populasi ikan dan udang. Pembantu TEMPO G.Y. Adicondro yang 2 kali berkunjung ke Kal-Sel dan Kal-Teng tahun ini, mendapat laporan bahwa tahun lalu obat pengawet ramin terhirup oleh seorang buruh kilang kayu PT Guntur di dekat Buntoi, Kahayan Hilir. Buruh itu meninggal. Harian Banjarmasin Post, 19 Juni, memberitakan pula tentang buruh kilang kayu PT Kaboli di bilangan Kuala Kapuas, Kal-Teng, yang mati akibat obat pengawet ramin. BP mengungkapkan juga bahwa nelayan di muara S. Katingan merosot tangkapannya akibat pencemaran sungai oleh kilang kayu. Daerah Pegatan Mendawai yang dulunya terkenal sebagai penghasil ikan kering, terasi, petis dan ebi (udang papai), kini jauh merosot produksi hasil-hasil laut dan sungainya. Ratusan kilang kayu di hilir Barito yang setahunnya menelan jutaan m3 dolok ramin merupakan sumber pencemaran sungai yang potensiil juga. Puluhan juta liter cairan pencelup ramin -- sebelum dan sesudah digergaji -- dibuang mereka secara semberono. Sebelum sampai di penggergajian, dolok-dolok (logs) kayu ramin yang dihanyutkan dari hulu itu sudah disemprot atau dilabur lebih dahulu dengan cairan pengawet kreosot. Cairan kimia itu hanya menutupi permukaan batang kayu, dan segera tercuci ke air setelah rakit-rakit kayu itu dihanyutkan ke hilir. Meskipun daya bunuhnya tak sehebat Na YCP atau BHC, toh larutan kreosot itu dapat mengganggu kehidupan ikan (dan nelayan sungai).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus