Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Juara pertama penataran

Sebagai pegawai negeri wajib mengikuti berbagai penataran. seluruh materi penataran dapat diikuti dengan baik, tapi tidak diamalkan terutama dalam pola hidup sederhana.

11 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU tidak salah hitung dalam hampir dua dasawarsa terakhir sudah 13 kali aku mengikuti penataran sebagai pegawai negeri. Andaikan tiap penataran itu menempelkan sepotong sayap pada pinggangku, tidak bisa tidak aku sudah sanggup terbang mengapung ke langit yang ke tujuh. Dan andaikan tiap penataran itu menancapkan sepotong tanduk di atas batok kepala, tak bisa tidak aku tak ubahnya seperti rusa gurun yang gagah perkasa. Penataran yang kuperoleh itu, sesuai dengan jamannya masing-masing, mempunyai sebutannya sendiri-sendiri -- seperti halnya nama gang dalam kota besar -- yang satu lebih bagus dari yang lain. Dan seperti halnya kerang di laut, isi mutiara yang terkandung pun berbeda-beda pula. Ada mutiara putih, ada pula mutiara hitam, dan ada pula berwarna kelabu sehingga tidak mudah mengenalnya dalam waktu cepat. Bagiku seorang pegawai negeri, apa pun warnanya tidaklah menjadi persoalan benar, karena yang penting penataran adalah penataran, harus kuikuti hingga ke ujungnya benar scbagah1lana layaknya aturan dunia. Ada penataran bernama coaching, indoktrinasi Manipol, kader Revolusi, kader Nasakom, Trikora dan Dwikora, Berminggu bahkan berbulan kuikuti dengan tekun lengkap dengan latihan baris berbaris sambil melempar granat, merayap di atas gundukan tanah bagai kepiting batu. Semua ajaran, pidato serta ceramah, kuikuti semua dengan tekun hingga bola mata berair, kutelan dengan semangat hingga untuk kencing pun rasanya tidak ada waktu. Jangan dikira malam harinya aku terbaring semau-maunya, karena sebelum tergolek tidur kukaji kembali bunyi ajaran lembar demi lembar tak terlewat koma dan titiknya. CIPAYUNG Misalnya waktu aku peroleh coaching indoktrinasi Manipol dari Dr. H. Ruslan Abdulgani di Cipayung awal tahun 1960-an. Ada barangkali setengah jam aku terlongo-longo sehingga nyaris titik air liur, tak habis pikir bagaimana mungkin ada makhluk sepandai beliau. Seluruh masalah dunia baik kebajikan maupun kejahatannya, kemelut negeri Afrika yang hampir tak tertandai di peta, diteliti sampai sekecil-kecilnya. Kuhirup habis amanat Bung Karno di depan Majelis Umum PBB "Membangun Dunia Baru" berikut pembagian jagad menjadi dua bagian menurut ukuran dosa dan kebajikannya tak ubahnya seperti membelah sebuah kue tarcis dengan sekali penggal. Bagai lidah api datang menyambar, hangat revolusi membakar sekujur tubuh hingga ujung kuku, sehingga sehabis indoktrinasi ingin rasanya aku menjungkirbalikkan isi dunia berikut perabot dan piring mangkuk yang ada di atasnya, kemudian menatanya kembali menurut keinginanku seraya memenggal batang leher semua bajingan sambil membagi rata sesuap nasi pada tiap orang tanpa kecuali. Oleh perjalanan misteri sang waktu yang sukar diperhitungkan, sementara aku masih tetap sebagai pegawai negeri raya terus naik derajat menurut jenjang peraturan, segala rupa coaching dan indoktrinasi dan upgrading Manipol angsur berangsur kujauhi seperti sumber penyakit kusta. Apa yang pernah kuperoleh tempo hari kurahasiakan jauh-jauh di dalam kalbu sebisa mungkin tak diketahui orang termasuk isteri sendiri. Pernahkah aku menjadi Manipolis? Oh samasekali tidak. Mendengar namanya pun rasanya tak pernah. Aku bersih dan suci bagai seorang bayi terjulur dari rahim, pegawai negeri tulen ciptaan langit, terjauh dari ajaran revolusi, tak pernah beranjak dari meja kantor kecuali membuang hajat besar. Terus-terang, sikap yang kuambil ini bukanlah datang mendadak melainkan lewat renungan bulan berbulan, dengan tujuan satu keselamatan diri dan tetap terpakai sebagai pegawai negeri hingga badan rapuh dan datang pensiun. Apa yang lebih penting buat seorang pegawai negeri ketimbang pensiun? Jika harimau mati meninggalkan belang, pegawai negeri mati meninggalkan pensiun. Belakangan ini, tanpa kuduga sebelumnya, datang lagi keharusan mengikuti penataran. Lamanya dua minggu dan tanpa pandang bulu. Kepala kantor, kepala bagian, kepala gudang, bagian umum maupun bagian khusus, tak ada kecualinya musti mengikuti penataran. Bagiku yang sudah terbiasa oleh urusan macam ini, tugas kenegaraan itu kuterima tanpa kikuk sedikit pun. Empat belas hari lamanya mulai pagi hingga matahari terbenam aku peroleh pelajaran dan pidato dan ceramah dan diskusi dan bahan-bahan penataran yang kupanggul pulang dengan riang gembira. BON PALSU Oleh ketekunan yang sukar dilukiskan, kukenal lebih baik bagaimana mustinya mempraktekkan hidup berkonstitusi. bagaimana mengamalkan Pancasila dalam hubungan kantor dan hidup sehari-hari, bagaimana tidak berkorupsi, bagaimana menjauhi bon bon palsu dan bagaimana tidak menerima peserta tender lewat pintu belakang. Pancasila, yang telah kukenal belasan tahun, menjadi dekat di hatiku begitu rupa, lebih dekat dari kedua daun telingaku sendiri. Akan halnya pidato lahirnya Pancasila oleh Bung Karno bulan Juni 1945 tidak jadi mata acara di penataran, tidaklah menjadi pikiranku benar, karena mengurusi perkara macam itu tidak akan ada ujung pangkalnya. Kesulitan sesungguhnya bukan timbul di saat penataran, melainkan justru sesudahnya. Membuat "paper" kuselesaikan sambil bersiul, apalagi judul yang kupilih teramatlah mudahnya: perataan pendapatan hingga ke ujung gunung. Pidato di muka peserta kulakukan seraya mengerenyutkan dahi sejadi-jadinya, sehingga tanpa mendengarkan isi sekalipun, sudah menunjukkan berat bobotnya. Dengan demikian siapa pun mudah menerka bahwa aku menjadi juara pertama penataran, dan siap menatar eselon lebih bawah di manapun mereka berada. Yang kumaksud kesulitan hanyalah menyangkut perkara hidup sederhana. Sebab hanya setan yang bisa membantu bagaimana kubisa menghalau 10 mobil dari garasi, menenggelamkan ke bumi 5 rumah gaya Spanyol, membungkus ratusan hektar tanah sehingga petani tidak meleleh air liurnya. Sebagaimana kalian maklum, tabiat mereka itu suka heran. Selebihnya tidak ada persoalan. Kumasuk kantor dengan baju safari pelbagai warna, dada busung dan senyum kebapakan sehingga bawahan memandangku seperti juragan teladan, mulus bagai sebuah lukisan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus