Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Reboisasi itu kewajiban siapa ?

Pemegang hph dengan masalah reboisasi. dalam hph ada tpi (tebang pilih indonesia), thpa (tebang habis dengan permudaan alam) dan thpb (tebang habis dengan permudaan buatan). (ling)

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR setiap hari headline suratkabar mengumandangkan ulah para pemegang HPH. Juga pernyataan geram dan galak para pejabat pemerintah. Sedikit contoh: HPH membangkang.. . HPH melalap habis . . . HPH tidak melaksanakan . . . HPH akan dicabut . . . HPH ongkang-ongkang . . . Muncullah citra pemegang HPH sebagai pengusaha (kebanyakan sipit dan asing), yang rakus, mengelak segala tanggungjawab, dan menguras habis kekayaan bangsa tanpa menghiraukan peraturan yang berlaku. Ternyata sebagian besar gambaran semacam itu berasal dari masa awal eksploitasi hutan belasan tahun lalu. Ketika itu pihak swasta asing maupun pribumi dibiarkan seenaknya mengolah hutan di Indonesia, menyebabkan banyak terjadi ekses. Usaha pengolahan hutan merupakan paling empuk dan, menurut kalangan pengusaha, dapat menghasilkan keuntungan sampai 25% lebih. Setelah bisnis minyak bumi, hasil hutan merupakan sumber devisa nomor dua bagi Indonesia. Antri Pemegang HPH, walaupun tanpa kerja dan investasi, bisa memperoleh $10 per m3 ekspor dengan cara mengontrakkan konsesinya. Dengan mengekspor sekitar 200.000 m3, misalnya, sebuah perusahaan perantara ini menghasilkan 1 sampai 1,5 milyar rupiah. Tapi kini keadaannya mulai dibenahi. Jatah hutan produksi seluas 40 juta ha sudah habis dikapling antara hampir 400 pemegang HPH. Peminat baru yang antri masih puluhan. Satu gagal, sepuluh peminat baru siap menggantikan. Seleksi mulai dilakukan. Kini kendali peraturan ditarik ketat. Syahdan Desember lalu Presiden Soeharto memperingatkan para pemegang HPH agar mengindahkan semua ketentuan yang termaktub dalam HPH itu, atau menghadapi sanksi haknya itu dicabut. Dan keluarlah peraturan mutakhir tentang Simpanan Wajib. Yaitu pemegang HPH diwajibkan membayar $ 4 per m3 produksi guna mengumpulkan dana untuk reboisasi dan kelestarian hutan. Pungutan yang kesekian ini diberi nama Simpanan Wajib Permudaan dan Penanaman Sulaman Hutan. Menurut Menteri Negara PPLH, Emil Salim, 10% dari SW ini akan digunakan untuk mengontrol pelaksanaan reboisasi oleh pihak HPH. Sisanya dapat diambil kembali bila ternyata kewajibannya sudah dilaksanakan. Bila tidak, dana ini dipergunakan pemerintah -- atau pihak ketiga yang ditunjuk pemerintah -- untuk melaksanakan tugas reboisasi ini. Bagimana sebenarnya "pembangkangan" para pemegang HPH terhadap masalah reboisasi ini? Dalam SK Dirjen Kchutanan No. 35 tahun 1972, terdapat 3 sistem silvikultur yang dapat digunakan pemegang HPH untuk mengolah konsesinya Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Pemegang HPH diperbolehkan memilih salah satu sistem itu. Ternyata kebanyakan memilih sistem penebangan selektif yang mirip TPI. Artinya, hanya akan ditebang tegakan yang punya nilai komersial di pasaran, memenuhi persyaratan ukuran dan kualitas untuk mencapai harga tertentu. Dalam sistem TPI ini antara lain tidak boleh ditebang pohon jenis komersial yang diameter batangnya -- diukur setinggi dada -- kurang dari 50 cm. Dan minimal harus ditinggalkan 25 pohon dalam 1 ha dengan diameter 35 cm ke atas. Ini dalam kenyataan berwujud supaya dalam 1 ha bisa ditebang hanya 4 atau 5 pohon. Di samping itu masih ada pembatasan lain yang dikenal sebagai Jatah Tebangan Tahunan atau AAC (Annual Allowable Cut). AAC ini membatasi jumlah pohon masak tebang untuk satu area blok. Dengan sistem TPI itu, permudaan akan terjadi secara alamiah dalam waktu 35 tahun, Karena itu pemegang HPH selama ini tidak merasa berkewajiban untuk mengadakan reboisasi terhadap area penebangannya. Kewajiban menanam kembali hanya berlaku terhadap koridor dan tempat pengumpulan kayu. Pihak PPLH dalam suatu jumpa pers tahun lalu pernah menjelaskan bahwa masalah replanting atau reboisasi belumlah merupakan keharusan bagi para pemegang HPH. Meskipun ada ketentuan terbatas dalam Perjanjian Hutan (Forestry Agreement), perincian kewajiban itu sendiri belum jelas. Menanam pohon tidak semudah menanam singkong. Memang ada jenis pohon seperti gamal, sungkai, sonokeling dan bambu yang ditanam dengan cara stek. Tapi sebagian besar pohon jenis komersial -- seperti meranti, agatis, ramin, dan kayu hitam -- dipermuda dengan cara menanam biji. Justru ini membutuhkan ketrampilan teknis dan ketekunan yang ternyata sangat kurang dijumpai di kalangan pemegang HPH. Banyak pemegang HPH menyerahkan tugas ini kepada dinas kehutanan setempat dengan memberi dana tertentu. Seorang direktur perusahaan pemegang HPH di Kal-Tim mengaku ia tidak melakukan reboisasi, tapi selama ini memberi dana sebanyak Rp 200 per m3 kepada dinas kehutanan. Pengusaha lain di Kal-Tim menjelaskan bahwa ia juga tidak melaksanakan reboisasi karena, menurutnya, itu adalah kewajiban pemerintah. "Kami kan sudah membayar sejumlah dana untuk itu (sekitar $ 1 per m3)," katanya. Dari Riau terbetik berita bahwa dinas kehutanan provinsi itu pernah menganjurkan, melalui surat edaran, agar setiap pemegang HPH menyetor Rp 8 juta kepada PT Silva Riau Lestari, yang akan melaksanakan pembibitan. PT ini berkantor di dinas kehutanan dan memakai pegawai dinas itu juga. Ditaksir selama 2 tahun ini PT itu sudah menerima sekitar $ 300 juta. Ternyata sampai saat ini tak jelas rimbanya dana ini. Anggota DPRD Riau, Thamrin Nasution, pun merasa heran. "Tak sebatang bibit yang saya lihat," katanya. Dan ketua MPI Riau, Rahadi pun mengatakan, "entah sudah dibibitkan, entah di mana lokasinya." Kepala Dinas Kehutanan Riau, Ir. Sumarsono, dalam hal ini tidak bersedia memberi keterangan. Umumnya para pengusaha tidak keberatan terhadap Simpanan Wajib yang baru ini untuk reboisasi. "Asalkan jangan seperti nasibnya Simpanan Wajib untuk mendirikan industri," cerita pengusaha di Kal-Tim tadi. Ia menjelaskan bahwa saat ini ia sudah siap untuk mendirikan industri pengolahan kayu, namun dana yang selama ini terkumpul sebagai simpanan tidak bisa diambilnya. Di Riau, Rahadi menceritakan bahwa potongan selama ini sudah cukup memberatkan. "Pokoknya, dari setiap m3 yang diekspor, sekitar 35% berupa potongan," keluhnya. Potongan baru ini cukup berat, katanya, karena tak tahu kapan boleh diambil, seperti halnya Simpanan Wajib Pembangunan Industri yang Rp 2.000 per m3.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus