HAMPIR setiap hari headline suratkabar mengumandangkan ulah para
pemegang HPH. Juga pernyataan geram dan galak para pejabat
pemerintah. Sedikit contoh: HPH membangkang.. . HPH melalap
habis . . . HPH tidak melaksanakan . . . HPH akan dicabut . . .
HPH ongkang-ongkang . . . Muncullah citra pemegang HPH sebagai
pengusaha (kebanyakan sipit dan asing), yang rakus, mengelak
segala tanggungjawab, dan menguras habis kekayaan bangsa tanpa
menghiraukan peraturan yang berlaku.
Ternyata sebagian besar gambaran semacam itu berasal dari masa
awal eksploitasi hutan belasan tahun lalu. Ketika itu pihak
swasta asing maupun pribumi dibiarkan seenaknya mengolah hutan
di Indonesia, menyebabkan banyak terjadi ekses.
Usaha pengolahan hutan merupakan paling empuk dan, menurut
kalangan pengusaha, dapat menghasilkan keuntungan sampai 25%
lebih. Setelah bisnis minyak bumi, hasil hutan merupakan sumber
devisa nomor dua bagi Indonesia.
Antri
Pemegang HPH, walaupun tanpa kerja dan investasi, bisa
memperoleh $10 per m3 ekspor dengan cara mengontrakkan
konsesinya. Dengan mengekspor sekitar 200.000 m3, misalnya,
sebuah perusahaan perantara ini menghasilkan 1 sampai 1,5 milyar
rupiah.
Tapi kini keadaannya mulai dibenahi. Jatah hutan produksi seluas
40 juta ha sudah habis dikapling antara hampir 400 pemegang HPH.
Peminat baru yang antri masih puluhan. Satu gagal, sepuluh
peminat baru siap menggantikan. Seleksi mulai dilakukan. Kini
kendali peraturan ditarik ketat.
Syahdan Desember lalu Presiden Soeharto memperingatkan para
pemegang HPH agar mengindahkan semua ketentuan yang termaktub
dalam HPH itu, atau menghadapi sanksi haknya itu dicabut. Dan
keluarlah peraturan mutakhir tentang Simpanan Wajib. Yaitu
pemegang HPH diwajibkan membayar $ 4 per m3 produksi guna
mengumpulkan dana untuk reboisasi dan kelestarian hutan.
Pungutan yang kesekian ini diberi nama Simpanan Wajib Permudaan
dan Penanaman Sulaman Hutan. Menurut Menteri Negara PPLH, Emil
Salim, 10% dari SW ini akan digunakan untuk mengontrol
pelaksanaan reboisasi oleh pihak HPH. Sisanya dapat diambil
kembali bila ternyata kewajibannya sudah dilaksanakan. Bila
tidak, dana ini dipergunakan pemerintah -- atau pihak ketiga
yang ditunjuk pemerintah -- untuk melaksanakan tugas reboisasi
ini.
Bagimana sebenarnya "pembangkangan" para pemegang HPH terhadap
masalah reboisasi ini? Dalam SK Dirjen Kchutanan No. 35 tahun
1972, terdapat 3 sistem silvikultur yang dapat digunakan
pemegang HPH untuk mengolah konsesinya Tebang Pilih Indonesia
(TPI), Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) dan Tebang
Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Pemegang HPH diperbolehkan
memilih salah satu sistem itu. Ternyata kebanyakan memilih
sistem penebangan selektif yang mirip TPI. Artinya, hanya akan
ditebang tegakan yang punya nilai komersial di pasaran, memenuhi
persyaratan ukuran dan kualitas untuk mencapai harga tertentu.
Dalam sistem TPI ini antara lain tidak boleh ditebang pohon
jenis komersial yang diameter batangnya -- diukur setinggi dada
-- kurang dari 50 cm. Dan minimal harus ditinggalkan 25 pohon
dalam 1 ha dengan diameter 35 cm ke atas. Ini dalam kenyataan
berwujud supaya dalam 1 ha bisa ditebang hanya 4 atau 5 pohon.
Di samping itu masih ada pembatasan lain yang dikenal sebagai
Jatah Tebangan Tahunan atau AAC (Annual Allowable Cut). AAC ini
membatasi jumlah pohon masak tebang untuk satu area blok.
Dengan sistem TPI itu, permudaan akan terjadi secara alamiah
dalam waktu 35 tahun, Karena itu pemegang HPH selama ini tidak
merasa berkewajiban untuk mengadakan reboisasi terhadap area
penebangannya. Kewajiban menanam kembali hanya berlaku terhadap
koridor dan tempat pengumpulan kayu.
Pihak PPLH dalam suatu jumpa pers tahun lalu pernah menjelaskan
bahwa masalah replanting atau reboisasi belumlah merupakan
keharusan bagi para pemegang HPH. Meskipun ada ketentuan
terbatas dalam Perjanjian Hutan (Forestry Agreement),
perincian kewajiban itu sendiri belum jelas.
Menanam pohon tidak semudah menanam singkong. Memang ada jenis
pohon seperti gamal, sungkai, sonokeling dan bambu yang ditanam
dengan cara stek. Tapi sebagian besar pohon jenis komersial --
seperti meranti, agatis, ramin, dan kayu hitam -- dipermuda
dengan cara menanam biji. Justru ini membutuhkan ketrampilan
teknis dan ketekunan yang ternyata sangat kurang dijumpai di
kalangan pemegang HPH. Banyak pemegang HPH menyerahkan tugas ini
kepada dinas kehutanan setempat dengan memberi dana tertentu.
Seorang direktur perusahaan pemegang HPH di Kal-Tim mengaku ia
tidak melakukan reboisasi, tapi selama ini memberi dana sebanyak
Rp 200 per m3 kepada dinas kehutanan.
Pengusaha lain di Kal-Tim menjelaskan bahwa ia juga tidak
melaksanakan reboisasi karena, menurutnya, itu adalah kewajiban
pemerintah. "Kami kan sudah membayar sejumlah dana untuk itu
(sekitar $ 1 per m3)," katanya.
Dari Riau terbetik berita bahwa dinas kehutanan provinsi itu
pernah menganjurkan, melalui surat edaran, agar setiap pemegang
HPH menyetor Rp 8 juta kepada PT Silva Riau Lestari, yang akan
melaksanakan pembibitan. PT ini berkantor di dinas kehutanan dan
memakai pegawai dinas itu juga. Ditaksir selama 2 tahun ini PT
itu sudah menerima sekitar $ 300 juta. Ternyata sampai saat ini
tak jelas rimbanya dana ini.
Anggota DPRD Riau, Thamrin Nasution, pun merasa heran. "Tak
sebatang bibit yang saya lihat," katanya. Dan ketua MPI Riau,
Rahadi pun mengatakan, "entah sudah dibibitkan, entah di mana
lokasinya." Kepala Dinas Kehutanan Riau, Ir. Sumarsono, dalam
hal ini tidak bersedia memberi keterangan.
Umumnya para pengusaha tidak keberatan terhadap Simpanan Wajib
yang baru ini untuk reboisasi. "Asalkan jangan seperti nasibnya
Simpanan Wajib untuk mendirikan industri," cerita pengusaha di
Kal-Tim tadi. Ia menjelaskan bahwa saat ini ia sudah siap untuk
mendirikan industri pengolahan kayu, namun dana yang selama ini
terkumpul sebagai simpanan tidak bisa diambilnya.
Di Riau, Rahadi menceritakan bahwa potongan selama ini sudah
cukup memberatkan. "Pokoknya, dari setiap m3 yang diekspor,
sekitar 35% berupa potongan," keluhnya. Potongan baru ini cukup
berat, katanya, karena tak tahu kapan boleh diambil, seperti
halnya Simpanan Wajib Pembangunan Industri yang Rp 2.000 per m3.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini