Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kafilah unta dan deru tank

Wartawan ws journalny, menulis tentang afghanistan dan penyelundupan orang ke iran. dipedalaman yang banyak orang miskin. (ln)

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JONATHAN Kwitny, wartawan The Wall Street Journal di New York, baru-baru ini mengadakan perjalanan ke Afghanistan selama hampir dua minggu. Di sana dia sempat ditahan oleh penguasa setempat dan kemudian diusir dari negara itu. Berikut ini ringkasan dari laporan perjalanannya: Sekarang ini ada dua Afghanistan. Yang pertama, adalah Afghanistan yang selama berabad-abad hidup di pedalaman, terkebelakang dan begitu kotor karena tak adanya sistem saluran pembuangan kotoran. Bangsa ini adalah pemeluk agama yang taat dan sangat mendalam dengan tradisinya yang ramah dan dermawan. Afghanistan yang kedua, mulai membentuk diri ketika pemerintahan Komunis yang pertama mengambil alih kekuasaan di Kabul pada April 1978. Yan kemudian disusul dengan invasi Soviet akhir Desember lalu. Ini adalah bangsa yang tertarik dengan slogan pejabat-pejabat Komunis. Dan kelihatannya berhasil 'mencuci otak' pemuda komunis Afghanistan, tentara dan polisi. Saya menemukan kedua macam Afghanistan itu selama perjalanan saya. Melalui pedalaman negara ini yang selalu dingin saya melihat berseliwerannya kafilah unta dan suku pengembara yang tinggal di tenda-tenda. Ini merupakan kontras dengan kebisingan deru tank dan kendaraan meriam Soviet yang juga melintasi wilayah itu. Semua ini menimbulkan kesan bahwa perlawanan mereka betul-betul lemah. Kalaupun ada kemampuan mereka melawan tank Soviet itu tak lebih dari kata-kata yang heroik. Penyelundup Hashim duduk di atas tempat tidurnya di sebuah hotel kecil di Herat. Dia sedang asyik mengamati 3 buah foto orang-orang yang akan diselundupkan ke Iran. Setelah mengamati si pembawa foto dan foto itu sendiri dia akhirnya menyatakan persetujuannya untuk menyelundupkan orang-orang tersebut. Dalam waktu 3 hari mereka akan berkumpul dengan 4 orang Afghanistan lainnya, yang juga anggota gerakan bawah tanah, di sebuah kota dekat perbatasan Iran. Sebagai orang yang mengatur usaha penyelundupan itu Hashim meminta bayaran sebanyak 5010 Afghani (sekitar $ 116). Pembayarannya sendiri sebenarnya hanya 5000 Afghani (mata uang Afghanistan). Cuma uang yang 10 Afghani itu harus ada untuk dibelah dua. Sebelah dipegang oleh Hashim dan sebelah lagi dipegang oleh orang yang diselundupkan itu. Begitu memasuki perbatasan Iran, orang tersebut harus mengirimkan kembali belahan yang satu kepada Hashim sebagai pertanda bahwa semuanya berjalan lancar. Dia berharap agar orang-orang yang diselundupkan ini kelak akan memperbanyak jumlah kaum gerilya dalam melawan Soviet. Namun dia sadar juga bahwa sebagian dari mereka itu hanya ingin menetap di Iran karena tahu bahwa hidup di sana jauh lebih baik. "Mereka akan lebih mudah mendapatkan senapan mesin di sana," kata Hashim dan teman-temannya. Begitupun mereka kadang-kadang marah karena Ayatullah Khomeini tak mau memberi mereka senjata yang lebih kuat, misalnya senjata penembak pesawat terbang. "Saya tak tahu mengapa orang Amerika, Prancis dan Jerman tak mau menolong orang Islam dengan tank. Kami tak memiliki tank. Hanya dengan senjata serupa ini tentu saja sulit melawan orang Rusia," kata Hashim. Sepuluh tahun yang lalu, Gholan Dustaghir, waktu itu berumur 11 tahun, mempunyai seorang guru di desanya di Ghaarkali, dekat Kandahar bagian selatan Afghanistan. Guru itu adalah seorang anggota Partai Khalq, atau Partai Komunis Afghanistan. Sang guru rupanya tak menyukai nama anak itu, yang berarti 'budak nabi'. Dia kemudian memanggilnya dengan nama Meerwise yang berarti 'komandan', yang diambil dari nama seorang pahlawan Afghanistan zaman dulu. Hal yang sama juga terjadi pada teman-teman sekelasnya. Dia seorang mahasiswa yang juga bekerja untuk partai dan pemerintah, dengan tugas mengantarkan pesan-pesan kepada militer. Oleh gubernur provinsi itu Meerwise ditugasi menjadi guide saya untuk meninjau keadaan yang baik-baik di Herat. Ketika saya minta dia untuk dibawa ke wilayah lain, Meerwise menolak karena menurut dia wilayah itu sangat berbahaya buat saya. "Rakyat di situ tak suka kepada orang asing," ujarnya. "Mereka tidak berpendidikan, miskin dan mereka juga tidak tahu apa yang terjadi. Semua orang muda menerima revolusi, sementara yang tua tak menyukai. Mereka mendapat kesan bahwa setiap orang yang ikut revolusi adalah kafir. Tapi satu hal yang ingin saya katakan, bahwa Republik Rakyat Demokratik Afghanistan dan seluruh pendukung revolusinya mendasarkan perjuangannya untuk memajukan rakyat Afghanistan," kata Meerwise. Menurut cerita dia, gurunya yang dulu itu sekarang menjadi pejabat senior partai di Kabul dan dalam waktu dekat ini akan menjadi salah seorang anggota sentral komite yang berkuasa. Ajibnur, seorang pemuda yang tinggal di sebuah desa antara Kabul dengan Kandahar, ingin menjadi pejuang. Sebagian besar pejuang di desanya pergi setelah pesawat MIG dan helikopter bersenjata milik Rusia membom daerah itu Mei yang lalu. Banyak di antara mereka yang mati. Sisanya menjadi gerilya dan pergi ke gunung-gunung. Dalam bulan November ketika salju turun di pegunungan mereka umumnya pergi ke kamp pengungsi di Pakistan. Dan bila musim bunga datang mereka kembali ke Afghanistan dengan membawa peralatan perang. Di salah satu masjid besar yang penuh dengan ornamen di salah satu kota terbesar di Afghanistan saya sempai bertemu dengan seorang ulama yang berjanggut hitam. Dia adalah salah seorang pemimpin agama terkemuka. Dengan ditemani kolega saya orang Inggris yang bisa berbahasa Parsi kami sempat omong-omong. Bahasa Parsi cukup luas digunakan di Afghanistan. Namun ketika ulama itu melirik ke arah seorang militer yang berada tak jauh dari kami, dia sempat juga gugup. Sementara di belakangnya ratusan orang sedang memenuhi masjid untuk bersembahyang maghrib. Apa yang dipikirkan ulama itu mengenai Rusia? "Tak seorang pun yang suka dengan Rusia," tuturnya. Bagaimana dengan pemerintah ? Ketika Komunis pertama kali mengambil alih pemerintahan, katanya, ia telah menanyai mereka apakah ini lebih dekat dengan Islam atau dengan Rusia. Sampai sekarang ulama itu masih menunggu jawaban. Tapi ketika ditanyakan apakah keadaan kota ini sudah aman, dia menjawab, dalam bahasa Parsi, bahwa keadaan tidak tenang, semuanya berjalan dalam keadaan tidak menggembirakan dan terbuka kemungkinan akan terjadinya kerusuhan. Apakah rakyat siap untuk bertempur? "Lihatlah wajah mereka semuanya kelihatan marah," jawab ulama itu. Kemudian dia pinjam pena saya dan menuliskan di secarik kertas: "Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk pertanyaan anda." Apakah anda takut? "Ya saya takut," kata ulama itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus