JONATHAN Kwitny, wartawan The Wall Street Journal di New York,
baru-baru ini mengadakan perjalanan ke Afghanistan selama hampir
dua minggu. Di sana dia sempat ditahan oleh penguasa setempat
dan kemudian diusir dari negara itu. Berikut ini ringkasan dari
laporan perjalanannya:
Sekarang ini ada dua Afghanistan. Yang pertama, adalah
Afghanistan yang selama berabad-abad hidup di pedalaman,
terkebelakang dan begitu kotor karena tak adanya sistem saluran
pembuangan kotoran. Bangsa ini adalah pemeluk agama yang taat
dan sangat mendalam dengan tradisinya yang ramah dan dermawan.
Afghanistan yang kedua, mulai membentuk diri ketika pemerintahan
Komunis yang pertama mengambil alih kekuasaan di Kabul pada
April 1978. Yan kemudian disusul dengan invasi Soviet akhir
Desember lalu. Ini adalah bangsa yang tertarik dengan slogan
pejabat-pejabat Komunis. Dan kelihatannya berhasil 'mencuci
otak' pemuda komunis Afghanistan, tentara dan polisi.
Saya menemukan kedua macam Afghanistan itu selama perjalanan
saya.
Melalui pedalaman negara ini yang selalu dingin saya melihat
berseliwerannya kafilah unta dan suku pengembara yang tinggal di
tenda-tenda. Ini merupakan kontras dengan kebisingan deru tank
dan kendaraan meriam Soviet yang juga melintasi wilayah itu.
Semua ini menimbulkan kesan bahwa perlawanan mereka betul-betul
lemah. Kalaupun ada kemampuan mereka melawan tank Soviet itu tak
lebih dari kata-kata yang heroik.
Penyelundup
Hashim duduk di atas tempat tidurnya di sebuah hotel kecil di
Herat. Dia sedang asyik mengamati 3 buah foto orang-orang yang
akan diselundupkan ke Iran. Setelah mengamati si pembawa foto
dan foto itu sendiri dia akhirnya menyatakan persetujuannya
untuk menyelundupkan orang-orang tersebut. Dalam waktu 3 hari
mereka akan berkumpul dengan 4 orang Afghanistan lainnya, yang
juga anggota gerakan bawah tanah, di sebuah kota dekat
perbatasan Iran.
Sebagai orang yang mengatur usaha penyelundupan itu Hashim
meminta bayaran sebanyak 5010 Afghani (sekitar $ 116).
Pembayarannya sendiri sebenarnya hanya 5000 Afghani (mata uang
Afghanistan). Cuma uang yang 10 Afghani itu harus ada untuk
dibelah dua. Sebelah dipegang oleh Hashim dan sebelah lagi
dipegang oleh orang yang diselundupkan itu. Begitu memasuki
perbatasan Iran, orang tersebut harus mengirimkan kembali
belahan yang satu kepada Hashim sebagai pertanda bahwa semuanya
berjalan lancar.
Dia berharap agar orang-orang yang diselundupkan ini kelak akan
memperbanyak jumlah kaum gerilya dalam melawan Soviet. Namun dia
sadar juga bahwa sebagian dari mereka itu hanya ingin menetap di
Iran karena tahu bahwa hidup di sana jauh lebih baik. "Mereka
akan lebih mudah mendapatkan senapan mesin di sana," kata
Hashim dan teman-temannya.
Begitupun mereka kadang-kadang marah karena Ayatullah Khomeini
tak mau memberi mereka senjata yang lebih kuat, misalnya senjata
penembak pesawat terbang. "Saya tak tahu mengapa orang Amerika,
Prancis dan Jerman tak mau menolong orang Islam dengan tank.
Kami tak memiliki tank. Hanya dengan senjata serupa ini tentu
saja sulit melawan orang Rusia," kata Hashim.
Sepuluh tahun yang lalu, Gholan Dustaghir, waktu itu berumur 11
tahun, mempunyai seorang guru di desanya di Ghaarkali, dekat
Kandahar bagian selatan Afghanistan. Guru itu adalah seorang
anggota Partai Khalq, atau Partai Komunis Afghanistan. Sang guru
rupanya tak menyukai nama anak itu, yang berarti 'budak nabi'.
Dia kemudian memanggilnya dengan nama Meerwise yang berarti
'komandan', yang diambil dari nama seorang pahlawan Afghanistan
zaman dulu. Hal yang sama juga terjadi pada teman-teman
sekelasnya.
Dia seorang mahasiswa yang juga bekerja untuk partai dan
pemerintah, dengan tugas mengantarkan pesan-pesan kepada
militer. Oleh gubernur provinsi itu Meerwise ditugasi menjadi
guide saya untuk meninjau keadaan yang baik-baik di Herat.
Ketika saya minta dia untuk dibawa ke wilayah lain, Meerwise
menolak karena menurut dia wilayah itu sangat berbahaya buat
saya. "Rakyat di situ tak suka kepada orang asing," ujarnya.
"Mereka tidak berpendidikan, miskin dan mereka juga tidak tahu
apa yang terjadi. Semua orang muda menerima revolusi, sementara
yang tua tak menyukai. Mereka mendapat kesan bahwa setiap orang
yang ikut revolusi adalah kafir. Tapi satu hal yang ingin saya
katakan, bahwa Republik Rakyat Demokratik Afghanistan dan
seluruh pendukung revolusinya mendasarkan perjuangannya untuk
memajukan rakyat Afghanistan," kata Meerwise.
Menurut cerita dia, gurunya yang dulu itu sekarang menjadi
pejabat senior partai di Kabul dan dalam waktu dekat ini akan
menjadi salah seorang anggota sentral komite yang berkuasa.
Ajibnur, seorang pemuda yang tinggal di sebuah desa antara Kabul
dengan Kandahar, ingin menjadi pejuang. Sebagian besar pejuang
di desanya pergi setelah pesawat MIG dan helikopter bersenjata
milik Rusia membom daerah itu Mei yang lalu. Banyak di antara
mereka yang mati. Sisanya menjadi gerilya dan pergi ke
gunung-gunung. Dalam bulan November ketika salju turun di
pegunungan mereka umumnya pergi ke kamp pengungsi di Pakistan.
Dan bila musim bunga datang mereka kembali ke Afghanistan dengan
membawa peralatan perang.
Di salah satu masjid besar yang penuh dengan ornamen di salah
satu kota terbesar di Afghanistan saya sempai bertemu dengan
seorang ulama yang berjanggut hitam. Dia adalah salah seorang
pemimpin agama terkemuka. Dengan ditemani kolega saya orang
Inggris yang bisa berbahasa Parsi kami sempat omong-omong.
Bahasa Parsi cukup luas digunakan di Afghanistan. Namun
ketika ulama itu melirik ke arah seorang militer yang berada
tak jauh dari kami, dia sempat juga gugup. Sementara di
belakangnya ratusan orang sedang memenuhi masjid untuk
bersembahyang maghrib.
Apa yang dipikirkan ulama itu mengenai Rusia? "Tak seorang pun
yang suka dengan Rusia," tuturnya. Bagaimana dengan pemerintah ?
Ketika Komunis pertama kali mengambil alih pemerintahan,
katanya, ia telah menanyai mereka apakah ini lebih dekat dengan
Islam atau dengan Rusia. Sampai sekarang ulama itu masih
menunggu jawaban. Tapi ketika ditanyakan apakah keadaan kota ini
sudah aman, dia menjawab, dalam bahasa Parsi, bahwa keadaan
tidak tenang, semuanya berjalan dalam keadaan tidak
menggembirakan dan terbuka kemungkinan akan terjadinya
kerusuhan. Apakah rakyat siap untuk bertempur? "Lihatlah wajah
mereka semuanya kelihatan marah," jawab ulama itu.
Kemudian dia pinjam pena saya dan menuliskan di secarik kertas:
"Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk pertanyaan anda."
Apakah anda takut? "Ya saya takut," kata ulama itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini