"SAYA menjadi gamang, setiap kali mendarat di jalur 23," keluh seorang pilot F-28 Garuda Indonesia, tentang lapangan udara Polonia, Medan. Menurut dia, bangunan yang berbentuk bulat dan plastis yang bernama Istana Plaza itu terlalu tinggi. "Kalau cuaca buruk, pesawat bisa membentur plaza tersebut," kata penerbang yang sudah delapan tahun jadi pilot Garuda. Penerbang pesawat yang lebih besar, A-300/Airbus, juga berpendapat sama. Istana Plaza membuat kikuk penerbang-penerbang yang tinggal landas atau yang akan mendarat dari jalur 23 (ujung timur). "Kalau kebetulan mesin pesawat sebelah kanan mati di saat mau mendarat," ujar si pilot Airbus, "pesawat oleng ke kanan dan akan menubruk bangunan itu." Demikian pula bila mesin pesawat sebelah kiri mati saat lepas landas, nasib pesawat akan sama," katanya. Istana Plaza terletak hanya 638 m dari ujung landasan sebelah timur, jalur 23 itu. Menurut UU no. 83/1958 (tentang penerbangan) dan Keppres no. 61/1983 (tentang Konvensi Chicago yang antara lain berbunyi "dilarang membahayakan penerbangan dengan cara apa pun," yang sejak 1950 dianut Indonesia), kawasan di jalur 23 dan jalur 03 di ujung barat tidak dibenarkan adanya bangunan tinggi. Memo dan protes bukannya tidak ada semenjak bangunan itu dibuat 30 Januari 1984. Menurut IMB, plaza itu boleh dibangun bertingkat 7, dengan tinggi 3,7 m tiap tingkat. Tetapi Soeharso, Pelaksana Harian Kakanwil Ditjen Perhubungan Udara Wilayah I, akhir Mei 1984 menyurati Elson, pemilik plaza tersebut, untuk tidak membangun lebih dari tiga lantai. Tahun berikutnya, Ir. Arnis Djuri, Kepala Dinas Bangunan Kota Madya Medan, melayangkan suratnya ke Elson agar tidak membangun melebihi 15,836 m, seperti yang sudah ditentukan oleh badan penerbangan sipil, ICAO (International Civil Aviation Organization). Ketika pembangunan plaza sudah sampai tingkat 6, Elson menerima surat dari administrator pelud Polonia agar tiang-tiang beton untuk lantai 6 dipotong. "Akhirnya, saya membangun setinggi sekarang," ujar Elson, 33, ayah tiga orang anak. Tinggi bangunan bertingkat 5 itu, menurut ukuran Elson, tinggal 23,5 m. Mungkin dengan perkiraan persyaratan itu sah, tanggal 8 Desember lalu, plaza itu diresmikan Wali Kota Medan Agus Salim Rangkuti. Padahal, Oktober lalu, Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin tiba di Polonia untuk mengecek dengan membawa sendiri pesawat kalibrasi milik Departemen Perhubungan. Percaya bahwa hal ini akan beres, Roesmin hanya membuat surat pemberitahuan kepada seluruh penerbangan internasional agar kewaspadaan ditingkatkan karena di ujung landasan ada "gunung" buatan. Karena pihak plaza rupanya tak menanggapi, teguran tentang "gunung" yang membahayakan itu ditingkatkan. Rupanya, Elson, yang bertubuh tinggi besar itu, menyatakan bahwa hal itu sulit dilakukan. Gedung yang kabarnya memakan biaya Rp 5 milyar itu mempunyai sebuah bioskop dan arena boling. Jumlah tokonya ada 46 buah dan, kabarnya, 90% telah laku terjual. "Satu meter saja dipotong," ujar Elson, "seluruh bangunan tak akan berguna lagi." Ini karena mesin listrik, kamar, dan mesin pendingin terletak di atap bangunan. "Apakah investor seperti saya, harus rugi?" tukas Elson lagi. Elson juga bercerita bahwa plaza miliknya tadinya merupakan pekuburan orang kulit putih. Oktober 1976, Pemda Medan memberi hak kepada CV Katamso untuk memindahkan pekuburan tersebut ke Desa Sidomulyo, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang. Akhir 1983, tanah seluas 7 ribu m2 itu dijual kepada Elson, sebagai Direktur Utama PT Sukaraja Indah. "Pokoknya, cukup mahal," ujar Elson, ketika ditanya berapa dia beli. Pastikah Istana Plaza dipenggal? Rangkuti, yang memberi IMB dan pernah berucap dengan nada emosional untuk memindahkan saja pelud Polonia, kepada Monaris Simangunsong dari TEMPO cuma berkata singkat, "Saya tak mau mengomentari lagi." Minggu-minggu ini Pemda, pihak Perhubungan Udara dan Gubernur Sumatera Utara Kaharuddin Nasution sibuk berapat tentang plaza Elson yang juga mempunyai usaha kelompok bank swasta: Keputusan yang pasti memang belum ada, tapi Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam telah minta Gubernur Sumatera Utara Kaharuddin Nasution untuk mengusut pemberian IMB. Hingga kini, memang belum ada kasus kecelakaan pesawat terbang karena mencuatnya si plaza. Sesekali, A-300 Garuda atau Singapore Airlines mendarat dari jalur 23. "Kalau cuaca baik, penerbang bisa dengan jelas melihat landasan," kata Soeharsono. Setelah Soekarno-Hatta di Jakarta atau Ngurah Rai di Bali, Polonia di Medan termasuk pelabuhan udara internasional yang cukup ramai karena pesawat dari Singapura Penang, dan Kuala Lumpur juga mendarat di sana. Lapangan terbang Polonia semula milik Baron Michalsky yang berasal dari Polandia. Orang-orang Belanda kemudian menyebutnya Polonia. Tahun 1880, konsesi perkebunan sang baron berpindah ke Deli Maatschappij, yang mengusahakan tembakau. Lewat sebuah penelitian, pemerintah Hindia Belanda kemudian menyetujui membangun lapangan udara di sana. Tahun 1928, lapangan terbang yang mempunyai landasan 800 m didarati oleh enam buah pesawat KLM. Di zaman pendudukan Jepang, landasan diperpanjang menjadi 1.200 m. Setelah itu landasan sempat diperpanjang sampai dua kali. Terakhir tahun 1981 panjang landasan menjadi 2.500 m. Demi keselamatan penerbangan, Istana Plaza tampaknya perlu dikorbankan. Memindahkan lapangan terbang ke tempat lain sangat mustahil. Selain mahal, untuk mempersiapkan lahannya saja memerlukan waktu 15 tahun. Sementara ini, Polonia, seperti kata Roesmin Noerjadin, tetap dipertahankan sampai tahun 2000. Toti Kakiailatu Laporan Monaris Simangunsong (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini