SPLENDID SYMBOLS: TEXTILE AND TRADITION IN INDONESIA Oleh: Mattiebelle Gittinger Penerbit: Oxford University Press, Singapura, 1985, 240 halaman SEORANG gadis di Pulau Solor mula-mula mengenal motif ikat yang boleh ditenun dan dikenakan dari bibi pihak ibu, kemudian dilanjutkan dengan nasihat bibi dari pihak ayah. Setelah itu, barulah ia disebut pantas sebagai wanita yang utuh. Mengenakan motif kain di luar garis keturunan sama saja dengan mengaku diri maling, pencuri milik orang lain, dan bisa ditelanjangi orang itu. Seorang wanita Batak yang hamil untuk pertama kalinya dihadiahi sepotong ulos ni tondi - "kain jiwa" berisikan kekuatan dari jiwa sahala, garis keturunannya. Bila datang saat melahirkan atau kekuatan tubuhnya terancam, ulos itu, yang diselimutkan di tubuh wanita tersebut, akan melindunginya. Diharapkan kekuatan yang dipancarkan sepotong kain itu terus sampai ke anak cucu. Pesan-pesan tersirat itulah yang ditelaah Gittinger, spesialis mengenai tekstil Asia Tenggara. Berangkat dari koleksi Museum Tekstil Washington, ditambah koleksi berbagai museum di Amerika Serikat serta Eropa Barat, dan kolaborasi dengan para kolektor pribadi, yang semuanya orang Barat, buku ini merupakan pelengkap- katalog pameran di Asia House Gallery, New York, dan Museum Tekstil Washington, pada 1979. Suatu hal yang mengagumkan, mungkin sekaligus mengharukan kita, adalah spektrum kultural tekstil di Nusantara kita yang begitu luas ternyata bisa dijaring jala yang ditebarkan Gittinger dengan tekun di tempat yang tidak kita duga. Dari Inggris, Swiss, Jerman, dan Belanda, ia berhasil mereproduksi foto-foto langka, bahkan sebagian dari material pameran yang terbaik. Misalnya, koleksi selimut Pua, dari Dayak Iban, yang menjadi milik Universitas Arkeologi dan Antropologi Cambridge, Inggris, merupakan tenunan teknik ikat lungsi yang memiliki detail mengejutkan. Terselip di antara figur buaya, manusia dengan hiasan kepala, deretan tubuh tanpa kepala, yang terpenggal kena kayau, tertera di situ secara eksplisit suatu hal yang Jarang kita temui. Dari situ terlihat, buku ini cenderung berat pada kain tenunan tangan, yang dianggap Gittinger sebagai asal muasal segala bentuk tekstil di tanah air kita. Menarik dicatat, argumentasi Gittinger tentang beberapa motif geometris pada batik, seperti gringsing dan kaung, yang perletakan horisontal dan vertikalnya dalam komposisi begitu tepat dan seakan ada pengulangan matematis, bisa dipastikan berasal dari teknik presisi, yaitu tenunan dengan jatuh setiap benang sangat diperhitungkan. Ia pun tampak sangat akrab dengan teknik tenun yang kompleks, yaitu peralihan dari benang lungsi yang vertikal dan pakan yang horisontal menentukan pola apa yang akan terjadi pada sehelai kain. Batik pola kehidupan, ragidup, atau ulos yang paling disucikan dari tanah Batak, dijelaskan dengan sangat mendetail. Lima langkah tenunan, misalnya, dibutuhkan hanya untuk menjalin sebidang panel putih di tengahnya. Mungkin karena itu, pembahasan mengenai batik menjadi sangat teknis. Padahal, kekuatan batik justru pada simbolisme dalam corak dan warna, hal yang sering digarap Iwan Tirta secara luas. Dan, itulah yang membedakan batik Indonesia dari batik Cina, India, bahkan dari batik Malaysia sekalipun. Dan, dari buku ini bisa terbayangkan betapa semua contoh terbaik dari tekstil kita, terutama tenunan dengan teknik ikat - teknik pencelupan yang membuat bagian-bagian benang pakan atau lungsi mengalami penolakan warna, karena diikat serat, biasanya serat batang pisang, sebelum ditenun kini tak lagi di tangan kita (figur 125 dan 127). Di akhir pengantar buku, Gittinger menuliskan kekhawatirannya mengenai kehidupan modern yang terus menggerus tradisi kehidupan pembuat tekstil - umumnya, wanita. Dengan datangnya tawaran-tawaran baru, yang membawa jaminan baru pula, tekstil hasil kerajinan tangan, yang dipintal dan ditenun dengan tangan, serta dicelup dengan pewarna alami, akan ke mana? Karena, sekarang saja, kalaupun masih ada, benang produksi pabrik dan pewarna sintetis sudah mengubah tekstur dan warna kain ikat. Kini timbul yang lebih mendasar: tekstil tradisional sebagai dasar dari falsafah saling memberi dalam ritus sosial, kemudahan yang ditukar dengan kemudahan dalam upacara saling menyerahkan kain, masihkah dapat menyampaikan pesannya? Kekurangan buku ini, terbitan ulang dari Singapura, kalaupun ada, ialah halaman berwarna yang mentah. Padahal, warna dalam tekstil merupakan unsur yang cukup penting? Apalagi kita toh bukan sedang membaca hasil riset antropologis tentang tekstil dan hubungannya dalam masyarakat. Ananda Moersid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini