WHAT'S in it for me? Ini adalah pertanyaan yang sering dikemukakan kaum buruh dalam hubungannya dengan peningkatan produktivitas. Pertanyaan ini pun muncul dalam Seminar Produktivitas dan Media Massa yang diselenggarakan TEMPO beberapa saat yang lalu. Tetapi, mengapa dipertanyakan ? Karena orang selalu beranggapan bahwa peningkatan produktivitas berarti tambah pekerjaan. Peningkatan produktivitas, padahal, tidak selalu berarti tambahan beban pekerjaan untuk seseorang. Secara definitif, peningkatan produktivitas berarti peningkatan kuantum produksi. Dan itu tak perlu mengharuskan seseorang bekerja lebih keras sampai jungkir balik kalau masih ada kemungkinan improvement lain, seperti: sarana, alat, dan prosedur kerja. Ambillah satu jenis pekerjaan sepele: meraut pensil. Waktu pengerjaan dan mutu hasilnya sangatlah ditentukan oleh alat yang dipergunakan seseorang. Bila ia memakai pisau dapur yang tumpul, dapat dipastikan bahwa hasilnya buruk, dan pekerjaan itu mungkin terpaksa berulang-ulang dilakukan karena gagal. Bila ia memakai pisau peraut yang tajam, hasilnya lebih baik dan penyelesaiannya pun lebih cepat. Tetapi, sudah lama ada peraut pensil yang begitu murah harganya, dan nyaris tak memerlukan keterampilan khusus untuk menghasilkan rautan yang bagus dalam waktu cepat. Jadi, untuk meningkatkan produktivitas dalam hal raut-meraut, orang memang tak perlu bekerja lebih keras. Ia hanya memerlukan sebuah alat yang sederhana. Di Singapura, misalnya, orang sudah jarang menggunakan buku petunjuk telepon karena dengan memutar 103 ia punya 95% kemungkinan pertanyaannya dijawab dalam 10 detik. Sekali lagi, terbukti, kita memang tak perlu bekerja lebih keras untuk bisa meningkatkan produktivitas. Dalam mengupayakan peningkatan produktivitas tenaga kerja, kita sering lupa memperhitungkan bahwa tenaga kerja itu adalah manusia. Kita lebih sering terpukau dengan angka-angka dan ukuran-ukuran yang kaku. Seorang pernah mengatakan kepada saya, "Peningkatan produktivitas tenaga kerja hanya dapat dicapai kalau karyawan loyal terhadap perusahaannya. Dan tentu tidak adil menuntut karyawan loyal bila para pimpinannya tidak loyal terhadap bawahannya." Sebuah pertanyaan: apakah Anda akan gusar dan memarahi sekretaris Anda yang pergi ke toilet dan tinggal di dalam sana selama 15 menit? Anda punya jawabnya. Tetapi, tahukah Anda apa yang sebenarnya dilakukannya di sana? Apakah ia memang memerlukan waktu 15 menit, atau hanya sekadar mengulur waktu? Bila ia sedang haid, mungkin ia memang memerlukan waktu sepanjang itu. Tetapi, kalau tidak, mengapa tetap saja 15 menit? O, ternyata karena ia perlu membedaki hidungnya dan memperbaiki lipstiknya. Nah, Anda lantas marah, 'kan? Itu mungkin keliru. Pertama, Anda tentu lebih senang melihatnya rapi dan menarik, begitu juga tamu-tamu Anda. Kedua, ia justru akan lebih bersemangat kerja setelah yakin bahwa ia tampil at her best. Lalu, apa artinya 15 menit kalau itu membuatnya senang dan percaya diri untuk melakukan pekerjaannya, daripada sejam bersungut-sungut karena ia dilarang pergi ke toilet lebih dari dua menit. Lima belas menit itu ternyata justru diperlukannya untuk meningkatkan produktivitas. Dan, bukankah itu sungguh manusiawi? Ukuran dan pertimbangan kemanusiaan inilah yang selalu harus diperhitungkan dalam upaya peningkatan produktivitas tenaga kerja. Lihat: Dalam sebuah los yang luas, ribuan pekerja wanita duduk berjajar rapi, bekerja melinting rokok. Suara di los itu seperti jutaan burung berkeciap. Kadang-kadang terdengar ta wa genit. Mereka memang tidak dilarang bicara. Bayangkan saja, wanita di lingkungannya, tidak ada hal yang tak pantas dipercakapkan. Mulut mereka terus bekerja, tetapi tangan pun tak berhenti bekerja. Kalau mereka tiba-tiba dilarang berbicara agar produktivitasnya meningkat, yang akan terjadi mungkin justru kebalikannya. Manusia mana yang suka bekerja bila pekerjaan itu tidak membuatnya gembira, atau bila ia tak tahu mengapa itu harus dilakukannya. Dalam sebuah inspeksi ke Gelanggang Renang Ancol, Ir. Ciputra tampak gusar melihat banyak tanaman yang tegak begitu saja di atas tanah yang telanjang dan kotor. "Mengapa tanah itu tidak ditutup dengan tanaman paku-pakuan?" tanya Ciputra. Staf yang ditanya hanya mengangkat bahu. "Anda tahu apa gunanya paku-pakuan yang saya maksud itu?" tanya Ciputra. Staf itu menjawab bahwa paku hanya merupakan unsur dekorasi. "Bukan hanya itu," kata Ciputra. "Ia juga berfungsi untuk menahan agar debu dan tanah tidak beterbangan." Sekarang stafnya mengangguk-angguk. Kalau saja ia mengetahui fungsi itu sebelumnya, la tentu sudah sejak dulu menyuruh semua tanah yang telanjang di bawah pohon-pohon itu ditanami paku-pakuan. Dan itulah savoir faire - tahu cara mengerjakan sesuatu dengan benar - unsur penting dalam produktivitas. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini