Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bogor - Pesatnya pengembangan wilayah dan pembangunan kawasan industri yang dilakukan pemerintah disebut mempercepat kemusnahan satwa liar. Terutama laju populasi manusia yang kian pesat dan adanya perubahan iklim yang memperburuk situasi. Tak mengherankan bila jumlah spesies tanaman ditemukan telah lenyap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Temuan ini dipaparkan oleh Direktur Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dolly Priatna. Sebuah organisasi nonprofit yang mendukung restorasi, pelindungan, dan konservasi spesies yang terancam punah seperti harimau sumatera atau gajah sumatera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sudah ada contoh yang kita liat secara kasat mata, saat ini Indonesia saja sudah kehilangan dua jenis satwa penting," kata Dolly di Universitas Pakuan Bogor pada Selasa, 14 Mei 2024. Satwa penting yang dia maksud yakni punahnya harimau bali dan harimau jawa.
Dia menduga hal ini terjadi akibat alih fungsi lahan dan hutan. Ditambah adanya pembangunan dengan pesat--tidak hanya berakibat pada satwa besar--juga mengancamm satwa kecil dan spesies dengan taksonomi rendah. Khususnya satwa dengan distribusi terbatas dan rentan punah.
“Saat ini pun ada ratusan bahkan ribuan satwa tersebut terancam punah. Mengingat banyak dari satwa tersebut memiliki habitat spesifik dan bergantung pada kondisi lingkungan. Sementara kondisi lingkungan saat ini sudah banyak yang rusak."
Potensi kepunahan satwa makin meningkat lantaran adanya perubahan iklim. Kata dia, diperkirakan pada 2050, terjadi penurunan atau kemusnahan satwa liar yang mencapai 37 persen dari kondisi habitat saat ini. Studi ini sempat dipaparkan oleh Jatna Supriatna, seorang profesor pada Departemen Biologi Universitas Indonesia.
Dolly menyebut, pemerintah perlu mengambil langkah taktis untuk menghindari prediksi kepunahan tersebut. Di antaranya perlu dukungan dan kolaborasi pelbagai pemangku kepentingan. Misalnya melalui perencanaan tata kelola lahan dengan mengidentifikasi habitat strategis yang perlu dilindungi.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dolly Priatna ditemui di sela-sela Pameran Biodiversitas Kini dan Nanti yang digelar dalam rangka memperingati Hari Keanekaragaman Hayati Internasional di Universitas Pakuan Bogor, Selasa 14 Mei 2024. FOTO/M SIDIK PERMANA
Di samping itu, juga diperlukan peningkatan keterhubungan habitat satwa dengan pembangunan koridor-koridor alam. “Jangan dilupakan sektor swasta pun harus ikut memainkan peran penting dengan mendukung dari sisi investasi, khususnya untuk area-area yang berada di dalam konsesi,” ujar Dolly.
Dia mencontohkan, kegiatan yang dilakukan oleh organisasinya di Sumatera dan Kalimantan. Yakni berupaya melibatkan masyarakat adat agar ikut berpartisipasi dalam mengelola hutan. "Juga meningkatkan pendapatan masyarakat desa melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari dan berkelanjutan, sehingga masyarakat akhirnya bertanggung jawab dalam pelaksanaan operasional, pengelolaan kegiatan konservasi, restorasi.
Pakar Biologi Konservasi Universitas Indonesia Jatna Supriatna mengatakan, pemanasan global pada tingkat yang diperkirakan saat ini mendorong 15 hingga 37 persen spesies hidup menuju kepunahan pada 2050. Kata dia, para peneliti di dunia pun memperingatkan bahwa dunia tengah di ambang kemusnahan massal.
"Manusia menjadi menjadi penyebab ancaman kepunahan massal keenam yang akan terjadi di Bumi. Krisis kepunahan sama buruknya dengan krisis perubahan iklim dan hal ini tidak disadari,” ucap Jatna.
M. SIDIK PERMANA