Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sedap malam di tengah sawah

Dukuh lumpangbolong, bangil, jawa timur, berubah wajah. semenjak penduduknya beralih menjadi petani bunga, kehidupan di desa tersebut meningkat. 35 hektar sawah ditanami bunga.(ling)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUKUH Lumpangbolong, 7 km dari Kota Bangil Jawa Timur, berubah wajah. Dahulu, dukuh ini terkenal sebagai sarang tukang santet. Kini, dunia hitam itu agaknya sudah menjadi bagian masa lalu. Sekarang, yang diperbincangkan justru keharuman. Bukan dalam arti kiasan, tetapi harum semerbak bunga mawar, bunga melati, dan bunga sedap malam. Kehidupan penduduk di dukuh itu, yang berpenduduk 1375 jiwa, terbilang makmur. Rumah tembok berjejer rapi, semuanya dilengkapi pesawat televisi. Lingkungan desa pun bersih, tak ada sampah berceceran. Awal "kemakmuran" dimulai sekitar tahun 1970, ketika seorang petani punya ide yang, waktu itu, dinilai menyimpang. Kadir, 45, mengajak penduduk'meninalkan tanaman padi untuk diganti dengan bunga. Masyarakat Jawa, menurut Kadir, tak bisa lepas dari tradisi berbunga-bunga, baik untuk sesajen maupun berziarah. Dalam pengamatan Kadir belum pernah ada perkebunan bunga secara khusus, kecuali tanaman bunga hias. Menyanjung bunga, Kadir pun menjelek-jelekkan padi. "Menanam padi tak bisa meningkatkan taraf hidup. Berpuluh tahun menanam padi, sepetak rumah pun tak dapat dibeli, selalu menyewa," katanya. Ia berhasil mengajak petani lainnya menanam bunga. Hasilnya, "hanya dalam waktu dua tahun, saya berhasil membeli dua hektar sawah, punya tabungan Rp 2,5 juta, dan bisa membangun rumah tembok," katanya bangga. Keuntungan bertanam bunga jauh berlipat dibandingkan bertanam padi. Menurut Kadir, lulusan SGA Malang ini, satu hektar sawah cuma menghasilkan empat ton gabah dengan harga Rp 320 ribu. "Separuh dari jumlah itu wntuk biaya pembelian bibit, pupuk, dan upah," katanya. "Lagi pula, panen padi menunggu setiap tiga bulan." Jika sawah ditanami bunga, setiap hari bisa dipanen, setelah tanaman itu berumur tiga bulan. Dari satu hektar sawah, kata Kadir, bisa dipetik 2.800 bunga yang harga setempat Rp 10 per bunga. Ini berarti Rp 28.000 sehari atau Rp 840 ribu sebulan. Kemudian bunga sedap malam, yang menjadi tanaman tumpang sari, panen dua hari sekali, menghasilkan 8 keranjang. Harga setempat Rp 1.000 per keranjang. Berarti, ada tambahan Rp 120 ribu sebulan. Penghasilan kotor dari kedua bunga itu sudah Rp 960 ribu. "Dipotong biaya pupuk, upah penyiangan, dan upah memetik, keuntungan bersih di atas Rp 500 ribu. Itu masih hasil minimal," kata Kadir. Sebab, katanya, sejak dua tahun lalu, perkebunan bunga itu ditumpang sari lagi dengan bunga melati. Pemasaran bunga juga lancar. Setiap hari ada truk pedagang yang mengangkut bunga itu ke Pasar Kembang, Surabaya, untuk kemudian disebar ke berbagai kota, termasuk kota di Jawa Tengah. Pedagang bunga memilih Lumpangbolong, karena transportasi yang lancar dan bunga tersedia dalam jumlah yang besar. Kualitas bunga itu sendiri sama saja dengan di tempat lain. "Kalau menjelang Jumat Legi, tahun Imlek, dan Lebaran, setiap hari sampai 20 pedagang bolak-balik ke Surabaya membawa bunga dari sini," kata Atmari, petani yang lain. Yang agak mengherankan, penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang bertugas di Desa Dermo - yang mewilayahi Dukuh Lumpangbolong- tak menaruh perhatian. "PPL tak cermat membaca kondisi. Mereka menyuluh tentang padi, padahal yang ditanam di sini bunga," kata lurah Dermo, W. Rahardjo. Yang terjadi, akhirnya, urusan merawat dan mengembangkan bunga itu berdasarkan pengalaman saja. "Syukur, tak ada petani yang gagal," kata Rahardjo yang sudah 17 tahun menjadi lurah. Tidak tanggapnya PPL setempat memang disayangkan Ir. Nurbanah, dari Biro Informasi Pertanian Provinsi Jawa Timur. Apalagi, mengingat bahwa 35 hektar lahan pertanian di dukuh itu, yang dulunya sawah, kini semuanya ditanami bunga. Kalau PPL aktif, diharapkan bisa membimbing petani bunga. Misafnya jika tanaman itu terkena penyakit. Adalah penyakit bunga itu yang selama ini dikeluhkan para petani. Seperti dikatakan Atmari, penyakit yang belum diketahui penyebabnya sering menyerang tanaman sehingga kuncup bunga jadi gagal. Penyakit yang biasanya datang bulan Mei sampai Juni itu tak diketahui namanya. "Karena tak ada pembimbing ahli, pokoknya kita semprot dengan insektisida," kata Atmari. Sementara itu, Nurbanah menduga bahwa penyakit itu disebabkan kutu daun. "Bisa disemprot dengan pembasmi hama, yang komposisi obatnya bisa dijelaskan oleh PPL itu," ujar Nurbanah. . Kalau tanaman tak diganggu penyakit, petani sebenarnya cukup merawat dengan memberi pupuk urea sekali dalam tiga bulan, dengan sekali peremajaan tanaman dalam empat tahun. Pada saat peremajaan itu, menurut Kadir, sebaiknya lahan ditanami palawija sebagai tanaman sela. "Tanah juga bisa bosan dan jenuh," kata Kadir memberi alasan. Tetapi pengetahuannya itu, lagilagl, cuma berdasarkan pengalamannya selama ini. Dibanding lingkungan sekitar, kondisi tanah di Lumpangbolong tak ada istimewanya. Tanah itu umumnya gembur dan tidak berkapur. "Ini memang cocok untuk bunea. Hanya saja, bunganya mudah rontok dan tidak secerah bunga di daerah ketinggian," kata Nurbanah. Namun, bunga yang mudah rontok itu justru memikat pedagang bunga karena tanpa tangkai, jumlah yang diangkut bisa banyak. Lagi pula, bunga itu memang bukan untuk hiasan, tetapi bunga tabur, yakni untuk sesajen dan ditabur-taburkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus