DUKUH Lumpangbolong, 7 km dari Kota Bangil Jawa Timur, berubah
wajah. Dahulu, dukuh ini terkenal sebagai sarang tukang santet.
Kini, dunia hitam itu agaknya sudah menjadi bagian masa lalu.
Sekarang, yang diperbincangkan justru keharuman. Bukan dalam
arti kiasan, tetapi harum semerbak bunga mawar, bunga melati,
dan bunga sedap malam.
Kehidupan penduduk di dukuh itu, yang berpenduduk 1375 jiwa,
terbilang makmur. Rumah tembok berjejer rapi, semuanya
dilengkapi pesawat televisi. Lingkungan desa pun bersih, tak ada
sampah berceceran.
Awal "kemakmuran" dimulai sekitar tahun 1970, ketika seorang
petani punya ide yang, waktu itu, dinilai menyimpang. Kadir, 45,
mengajak penduduk'meninalkan tanaman padi untuk diganti dengan
bunga. Masyarakat Jawa, menurut Kadir, tak bisa lepas dari
tradisi berbunga-bunga, baik untuk sesajen maupun berziarah.
Dalam pengamatan Kadir belum pernah ada perkebunan bunga secara
khusus, kecuali tanaman bunga hias.
Menyanjung bunga, Kadir pun menjelek-jelekkan padi. "Menanam
padi tak bisa meningkatkan taraf hidup. Berpuluh tahun menanam
padi, sepetak rumah pun tak dapat dibeli, selalu menyewa,"
katanya. Ia berhasil mengajak petani lainnya menanam bunga.
Hasilnya, "hanya dalam waktu dua tahun, saya berhasil membeli
dua hektar sawah, punya tabungan Rp 2,5 juta, dan bisa membangun
rumah tembok," katanya bangga.
Keuntungan bertanam bunga jauh berlipat dibandingkan bertanam
padi. Menurut Kadir, lulusan SGA Malang ini, satu hektar sawah
cuma menghasilkan empat ton gabah dengan harga Rp 320 ribu.
"Separuh dari jumlah itu wntuk biaya pembelian bibit, pupuk, dan
upah," katanya. "Lagi pula, panen padi menunggu setiap tiga
bulan."
Jika sawah ditanami bunga, setiap hari bisa dipanen, setelah
tanaman itu berumur tiga bulan. Dari satu hektar sawah, kata
Kadir, bisa dipetik 2.800 bunga yang harga setempat Rp 10 per
bunga. Ini berarti Rp 28.000 sehari atau Rp 840 ribu sebulan.
Kemudian bunga sedap malam, yang menjadi tanaman tumpang sari,
panen dua hari sekali, menghasilkan 8 keranjang. Harga setempat
Rp 1.000 per keranjang. Berarti, ada tambahan Rp 120 ribu
sebulan. Penghasilan kotor dari kedua bunga itu sudah Rp 960
ribu. "Dipotong biaya pupuk, upah penyiangan, dan upah memetik,
keuntungan bersih di atas Rp 500 ribu. Itu masih hasil minimal,"
kata Kadir. Sebab, katanya, sejak dua tahun lalu, perkebunan
bunga itu ditumpang sari lagi dengan bunga melati.
Pemasaran bunga juga lancar. Setiap hari ada truk pedagang yang
mengangkut bunga itu ke Pasar Kembang, Surabaya, untuk kemudian
disebar ke berbagai kota, termasuk kota di Jawa Tengah. Pedagang
bunga memilih Lumpangbolong, karena transportasi yang lancar dan
bunga tersedia dalam jumlah yang besar. Kualitas bunga itu
sendiri sama saja dengan di tempat lain. "Kalau menjelang Jumat
Legi, tahun Imlek, dan Lebaran, setiap hari sampai 20 pedagang
bolak-balik ke Surabaya membawa bunga dari sini," kata Atmari,
petani yang lain.
Yang agak mengherankan, penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang
bertugas di Desa Dermo - yang mewilayahi Dukuh Lumpangbolong-
tak menaruh perhatian. "PPL tak cermat membaca kondisi. Mereka
menyuluh tentang padi, padahal yang ditanam di sini bunga," kata
lurah Dermo, W. Rahardjo. Yang terjadi, akhirnya, urusan merawat
dan mengembangkan bunga itu berdasarkan pengalaman saja.
"Syukur, tak ada petani yang gagal," kata Rahardjo yang sudah 17
tahun menjadi lurah.
Tidak tanggapnya PPL setempat memang disayangkan Ir. Nurbanah,
dari Biro Informasi Pertanian Provinsi Jawa Timur. Apalagi,
mengingat bahwa 35 hektar lahan pertanian di dukuh itu, yang
dulunya sawah, kini semuanya ditanami bunga. Kalau PPL aktif,
diharapkan bisa membimbing petani bunga. Misafnya jika tanaman
itu terkena penyakit.
Adalah penyakit bunga itu yang selama ini dikeluhkan para
petani. Seperti dikatakan Atmari, penyakit yang belum diketahui
penyebabnya sering menyerang tanaman sehingga kuncup bunga jadi
gagal. Penyakit yang biasanya datang bulan Mei sampai Juni itu
tak diketahui namanya. "Karena tak ada pembimbing ahli, pokoknya
kita semprot dengan insektisida," kata Atmari. Sementara itu,
Nurbanah menduga bahwa penyakit itu disebabkan kutu daun. "Bisa
disemprot dengan pembasmi hama, yang komposisi obatnya bisa
dijelaskan oleh PPL itu," ujar Nurbanah. . Kalau tanaman tak
diganggu penyakit, petani sebenarnya cukup merawat dengan
memberi pupuk urea sekali dalam tiga bulan, dengan sekali
peremajaan tanaman dalam empat tahun. Pada saat peremajaan itu,
menurut Kadir, sebaiknya lahan ditanami palawija sebagai tanaman
sela. "Tanah juga bisa bosan dan jenuh," kata Kadir memberi
alasan. Tetapi pengetahuannya itu, lagilagl, cuma berdasarkan
pengalamannya selama ini.
Dibanding lingkungan sekitar, kondisi tanah di Lumpangbolong tak
ada istimewanya. Tanah itu umumnya gembur dan tidak berkapur.
"Ini memang cocok untuk bunea. Hanya saja, bunganya mudah rontok
dan tidak secerah bunga di daerah ketinggian," kata Nurbanah.
Namun, bunga yang mudah rontok itu justru memikat pedagang bunga
karena tanpa tangkai, jumlah yang diangkut bisa banyak. Lagi
pula, bunga itu memang bukan untuk hiasan, tetapi bunga tabur,
yakni untuk sesajen dan ditabur-taburkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini