UNTUK pertama kalinya Universitas Sumatera Utara, Medan,
menerapkan sistem pesantren dalam mata pelajaran agama Islam.
Perubahan itu dilakukan karena cara mengajar di kelas yang
diberikan selama dua semester dianggap tidak efektif.
Lebih-lebih ketika, tahun 1980, waktu kuliahnya diperpendek
menjadi satu semester. "Itu menyebabkan materi kuliah agama tak
sepenuhnya bisa diberikan," kata Abdullah Yakub, koordinator
Pendidikan Agama Islam USU. Selain itu, kuliah agama dianggap
berbeda dengan mata kuliah yang lain. "Kuliah agama tidak untuk
ditelan begitu saja," kata Abdullah. Maksudnya, agama tak hanya
untuk diketahui saja, tapi mesti juga dipraktekkan.
Agaknya, alasan itulah yang menjadikan titlk tolak lahirnya
program pesantren kilat selama sebelas malam itu. Dan yang
pertama kali merasakan program baru ini ialah 68 mahasiswa
Fakultas Pertanian tingkat persiapan, pada 20-30 November lalu.
Mengambil tempat di Masjid Al Jihad, Medan, kegiatan pesantren
berlangsung dari magrib hingga lewat subuh. Kegiatan malam ini
meliputi penjabaran Al Quran, Al Hadis, Tauhid, Syari'ah,
Ibadah, Sejarah Islam, dan Retorika. Memang cukup berat, apalagi
pada siang hari para mahaslswa itu tetap kuliah seperti biasa.
Jadwal kuliah malam itu disusun cukup ketat. Selesai salat isya,
para santri diharuskan mengikuti kuliah hingga pukul 23.00.
Sesudah itu ada kesempatan tidur sebentar. Menjelang subuh,
sekitar pukul 3.00 mereka dibangunkan untuk melaksanakan salat
tahajud. Acara ini pernah gagal, gara-gara tak seorang pun yang
terbangun pada jam yang ditentukan. "Bangun tengah malam rasanya
berat sekali," ucap Hadian Mulia Siregar, 19 salah seorang
peserta. Sesudah tahajud, menunggu salat subuh, para santri
berzikir, memuji kebesaran Allah, di samping membaca kitab suci
Al Quran. Setelah itu, seperti biasa, mereka kembali ke bangku
kuliah. "Karena sama-sama menahan kantuk di siang hari, rasanya
persaudaraan di antara kami semakin erat," kata Emi Arbaib, 19,
rekan Hadian, menyebut manfaat pesantren singkat ini.
Selain jam tidur yang sempit, kewajiban berat lain yang
dirasakan rata-rata santri berusia di bawah 20 tahun itu adalah
keharusan puasa sunah pada hari Senin dan Kamis. "Di kampus ada
saja yang genit. Salah-salah puasa awak bisa batal," kata Hadian
sambii tertawa.
Memang tak ada jaminan pesantren kilat yang makan biaya Rp 350
ribu ini mampu mengubah pribadi seseorang. Tapi, kata Emi
Arbaib, "sekarang saya tahu, cewek Muslim pun boleh berdisko,
asal dilakukan dengan sesama cewek. Yang penting, jangan pamer."
Hafni Zahara, rekan Emi, melihat bahwa salat, selain sebagai
media ibadah, juga bermanfaat untuk kesehatan. "Karena
gerakannya seperti senam dan bisa meredakan sress," kaanya.
Namun, yang jelas, menurut Abdullah Yakub, pada sistem pesantren
itu pengupasan ilmu agama lebih banyak bersifat analistis. Para
santri diberi kesempatan mengadakan tanya jawab dan mengadu
nalar melalui diskusi yang sehat, yang sulit diberikan pada
jam-jam kuliah biasa.
Toh para peserta pesantren kilat itu menganggap waktu yang cuma
11 hari itu belum cukup. "Jadi penganut muslimn 'kan tak hanya
untuk sebelas hari " kata Emi Arbaib. Sementara itu, Abdullah
tak buru-buru mengakui hasil pesantrennya bakal berhasil.
"Serupa saja dengan penataran P4, 'kan belum menjamin orang jadi
Pancasilais," kata lulusan IAIN Sunan Kalijaga itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini